"Gun, dari mana, sih? Kok, baru pulang jam segini," tegur ibunya saat berpapasan di jalan.
"Tadi cari butut, Bu. Tapi enggak ada. Ya, aku pulang aja."
Mereka pulang bersamaan. Kedua bocah penurut yang ada di rumah itu kegirangan melihat orang yang mereka sayangi telah pulang. Lalu ibu mereka memberikan martabak martabak yang dibawa. Narnia dan Rimba berebut karena jarang dinikmati.
"Bu, aku boleh nanya, nggak?" tanya Guntur dengan suara berbisik.
"Nanya apa? Kamu ini, kek, ngomong dengan orang lain aja. Ya, nanya aja, Gun." Ibunya merapikan rumah yang sedikit berantakan.
"Kok, Ibu nggak beli beras, sih? Lauk juga cuma telor dadar doang. Kan, uang ada, Bu," tandasnya.
"Ya, besok aja Ibu beli. Tadi nggak sempat."
"Kalau Ibu nggak sempat, napa nggak nyuruh aku? Aku bisa, kok," tawarnya.
"Udahlah, besok Ibu aja yang beli. Bawel amat, sih."
"Bukan bawel, Bu. Hanya ingin mengingatkan kalau Narnia dan Rimba butuh asupan makanan yang lezat. Apalagi sekarang mereka lagi masa pertumbuhan. Parahnya, beras di kaleng juga kosong. Terus gimana dengan nanti malam?"
"Kamu bisa diam nggak, sih? Kamu pikir Ibu ini orang setres yang nggak memikirkan anaknya? Ha?!" Hartina malah marah.
Narnia dan Rimba yang tengah asyik menikmati makanan itu, sontak terkejut dan melihat ibu mereka dengan suara tinggi. Rimba mulai ketakutan. Sepertinya dia masih trauma dengan kejadian kemarin.
"Bu, aku nggak bilang kalau Ibu setres. Cuma heran aja kalau uang tiga ratus ribu rupiah itu belum juga ibu gunakan."
"Sekarang kau udah bisa, ya, ngajarin Ibu. Mentang-mentang sudah sekolah, sombong!"
"Bu ... semua ini nggak ada hubungannya dengan sekolah. Ini datangnya dari hatiku. Apa aku salah menegur Ibu? Enggak, kan, Bu?"
"Ya, jelas, salah! Kau sedikit pun tidak menjaga perasaan Ibu. Tau sendiri kan, Ibu capek. Semua itu untuk apa? Hidup kalian, kan?!"
"Ibu, masih simpan uangnya? Sini biar kubelikan beras, Bu. Biar nanti malam kita bisa makan."
"Uang apa lagi, Gun?" Wajah ibunya terlihat kaku.
"Ya, uang yang kukasi kemarin, Bu," tagih Guntur.