RUMAH REOT (Cita-cita dalam angan)

Sri Wahyuni Nababan
Chapter #14

Haruskah Guntur Percaya?


Pak Nababan berusaha menegur murid andalannya, kenapa tidak pulang ke rumah. Berlahan dia berjalan menuju Guntur agar tidak terkejut.


"Gun, kok, belum pulang?"


"Owh, iya, Pak. Saya masih betah di sini." Tatapan mata Guntur terlihat lesu.


"Kamu sakit? Mari ikut Bapak," ajak Pak Nababan. Guru yang lain ikut menyaksikan pembicaraan mereka.


Guntur tidak menjawab. Hanya sebuah gelengan kepala yang diberikan sebagai jawaban. Tetap diam dan sedikit pun tidak berdilik memperlihatkan wajahnya.


"Guntur ... kamu ada masalah?" tanya Bu guru.


Tidak ada reaksi dari Guntur. Dia memilih diam dan menggerakkan jemarinya ke lantai beranda sekolah membentuk huruf-huruf.


"Terus, kenapa belum pulang?"


"Nggak pa-pa, Bu."


Karena Guntur tidak juga beranjak dari duduknya. Maka sebagian guru pulang karena sudah lapar. Terkecuali Pak Nababan, masih ingin tahu tentang cerita Guntur. Ada sesuatu yang dia rasakan aneh dan mengganjal pikiran Guntur.


"Gun, saya tau kamu punya masalah. Ceritakan saja. Siapa tau saya bisa membantu memberikan solusi."


Guntur menarik kembali napas berat. Sulit rasanya mengeluarkan semua uneg-uneg dalam pikirannya. Baginya, tidak perlu ada yang tahu. Dengan usia sepuluh tahun, sudah harus berjuang menghadapi lika-liku dan tantangan hidup begitu berat.


"Saya benci ibu, Pak." Dia membuka bicara.


Pak Nababan balik diam dan memahami ucapan muridnya. Keheranan menyelimuti pikirannya. Terasa aneh bila seorang ibu yang baru sembuh sudah dibenci oleh anaknya. Beliau yakin, kalau ini bukan cerita biasa.


"Benci, Pak. Saya nggak mau pulang."


Bibir Pak Nababan dirapatkan sebagai tanda bahwa ini begitu berat.


"Gun ... apa pun masalahmu, pulanglah. Kalau nggak mau cerita, ya, sudah. Saya bisa maklum. Tapi, apa alasanmu membenci ibumu?"


"Saya masih teringat waktu ibu pergi dengan Om Ferdi. Dan mereka kecelakaan. Biaya pengobatan saya yang ngusahain. Bukan orang yang membawa ibu celaka. Bukan mau mengupat, Pak. Tapi, saya nggak mau kalau ibu tetap berhubungan dengan Om Ferdi nantinya."


"Owh, jadi ceritanya kamu masih menyimpan dendam? Guntur ... sudahlah, maafkan saja ibumu. Mungkin dia khilaf."


"Itu bukan khilaf, Pak. Apa ibu lupa waktu dicelakai oleh Om Ferdi sampai pingsan? Apa ibu lupa waktu Om Ferdi hampir saja memukulku? Apa ibu lupa kalau Om Ferdi telah membuat aku dan kedua adikku ketakutan karena ancamannya?"


Guntur menangis terisak-isak. Ucapannya terdengar parau dan air matanya membasahi pipi. Pak Nababan tidak tega melihat kondisi Guntur yang masih menaruh dendam.


Lihat selengkapnya