"Saya terima nikah Hartina binti Abdul maharnya seperangkat alat salat dibayar tunai ...." Ucapan sakral dari Ferdi disyahkan oleh pihak saksi.
Hartina merasa lega telah menjadi istri dan pujaan hati suaminya. Bunga-bunga cinta telah mekar di hati ibunya Guntur. Berbeda dengan Guntur sendiri, kebahagiaan ibunya, menjadi firasat buruk baginya.
Lama dia terdiam di bangku yang sudah reot. Wajahnya tertunduk melihat lantai semen kasar yang berlubang karena dimakan usia. Perasaan bocah itu sungguh tiada yang tahu. Pun dengan ibunya sendiri.
"Gun, ayo, makan," ajak pak kadus yang sedari tadi memperhatikan.
"Aku nggak lapar, Pak." Terpaksa berbohong demi menyembunyikan kepedihan hatinya.
"Lapar nggak lapar, kamu harus tetap makan. Nanti perut kamu sakit lagi. Udah, jangan keras kepala. Ayok," desak pak kadus.
Guntur menyandarkan tubuhnya ke dinding, lalu meletakkan tangan kanannya ke atas kepala yang mendongak pada langit-langit rumah.
Tantenya yang memahami perasaan keponakannya itu, juga menghampiri dengan perkataan yang lemah lembut.
"Gun ... ajak adikmu makan, Nak. Kasian mereka, dari tadi nungguin kamu, lho. Tante tau kalau kamu terluka dengan ijab kabul tadi. Tapi kamu juga harus ingat, ada masa depan yang belum kelar dilaksanakan. Masih syukur kamu yang sudah bisa sekolah. Lah, Narnia dan Rimba? Jangankan untuk sekolah, uang jajan saja mereka jarang dapatkan. Sementara kamu sudah puas dengan semua itu sewaktu ayahmu masih hidup."
Panjang lebar tantenya mengingatkan kembali masa kecil Guntur. Semua keinginannya terpenuhi kala itu. Berbeda dengan Narnia dan Rimba, jarak usia mereka sangat jauh.
Guntur hanya diam saja. Dia merasa ada benarnya juga dengan ucapan tantenya. Siapa lagi yang menyayangi kedua adiknya kalau bukan dirinya. Bukan karena tidak percaya pada ibunya, hanya saja dia berpikir kalau ibunya nanti memiliki kesibukan dengan mengurus ayah tiri mereka. Jelas kedua adiknya akan sedikit merasa diasingkan.
***
Pagi ini adalah hari pertama mereka sarapan bersama dengan Ferdi. Sudah tersedia segelas teh manis hangat dan sepiring nasi beserta lauknya dalam wadah berbeda. Ibunya mempersiapkan semua itu dengan kasih sayang dan hormat pada suaminya.
Ferdi yang masih tidur dan asyik dengan mimpi indahnya. Dia tidak tahu kalau sarapan sudah tersaji di meja. Enaknya lelaki itu bagaikan raja.
"Ma, mana sarapanku? Aku udah siap, nih, mau berangkat sekolah."
"Ambil sendiri, lah, Gun. Kan, biasanya bisa," celetuk ibunya.
"Owh," jawab Guntur singkat. Cuma kata itu yang bisa dia berikan.
Pagi-pagi hatinya sudah tergores hanya gara-gara tidak disiapkan sarapan. Karena kecewa, dia pergi tanpa pamit dan memakan makanan sedikit pun. Hanya air putih yang diminum, itu pun dingin.
"Dek, Abang pergi dulu, ya. Jangan nakal," pesannya pada Narnia dan Rimba.
"Abang nggak sarapan dulu?" tanya Narnia.
"Sssttttt, jangan keras-keras. Nanti kalau ibu nanya, bilang aja udah. Udah, ah. Takut telat."
Setelah menjawab pertanyaan adiknya, dia menuju sekolah. Meski ada rasa kesal, dia berharap kedua adiknya tetap diperlakukan dengan baik oleh ayah pengganti. Juga dengan sekolahnya, sesuai janji Ferdi dengan alasan yang tidak tahu pasti, terlaksana atau tidak.
Pak Nababan sudah tampak di tiang bendera untuk mengibarkan kain berwarna merah putih. Setiap jam tujuh selalu dilakukan. Tidak lama Pak kasek juga datang dengan mobil berwarna putih.
"Hei, Gun! Bentar," panggil Rheina, putri bungsu pak kadus, sekelas Guntur.
"Ya, Rhei. Tumben manggil." Guntur tersenyum heran.
"Untuk olimpiade, kata wali kelasku, kau yang berangkat. Cieeee ... mantap, Gun."
"Kok, aku nggak tau, ya?"
"Nanti juga dikasi tau sama Pak Nababan. Aku juga taunya pas wali kelas ngomong sama mama."
Suara yang menyerukan masuk berbunyi. Guntur dan Rheina menghentikan obrolan, lalu berlari ke kelas masing-masing.
"Selamat pagi semuanya?"
"Pagi, Pak," jawab murid kelas empat serempak.
"Sepertinya wajah kalian cerah. Kebetulan, hari ini Bapak mau mengumumkan siapa yang akan mengikuti olimpiade matematika pelajaran kelas tiga dan empat antar sekolah. Yang terpilih adalah ... Guntur."
Semua bertepuk tangan. Guntur hanya bisa memberi senyuman terpaksa karena menahan lapar. Dia merasa ada yang melilit di perutnya. Uang jajan juga tidak ada.
"Gun, kamu sudah siap bertarung dua hari lagi? Kita bisa ulangi pelajaran dari kelas tiga. Saya yakin kamu bisa."
"I-iya, Pak. Saya siap."
"Baiklah, anak-anak. Kita lanjutkan pelajaran baru."
Pak Nababan menerangkan tema pembahasan. Beliau guru yang sangat cerdas dalam memberikan pelajaran agar mudah dimengerti. Beliau pula yang selalu menjadi guru teladan se-kabupaten. Sekolah mereka juga sering mendapatkan penghargaan dari prestasi murid dan Pak Nababan sendiri.