Aku memang datang lebih awal di tempat yang kami sepakati, tapi aku tidak langsung menuju tempatnya; sebuah restoran cepat saji, di meja yang paling dekat dengan jendela. Aku duduk di bangku depan mini market yang berseberangan dengan restoran itu; di antara aku dan restoran itu hanya pelataran parkir yang sepi. Jelas dia belum datang. Aku duduk sambil main Sudoku di androidku.
Lalu, aku lihat hal yang menarik. Seorang pria bersepeda, dengan overall jeans dan topi cap New York Yankees yang diputar terbalik. Dari tampangnya aku bisa menduga dia berusia sekitar akhir tiga puluhan atau awal empat puluhan. Overallnya tampak bersih, kecuali di bagian lututnya, seolah dia sering berlutut di tanah, di balik overall itu ia memakai kaus abu-abu lengan pendek, meski agak longgar tetap menunjukkan otot lengan yang terbiasa bekerja keras. Aku berasumsi otot-otot itu didapatkannya baru-baru ini. Ketika kulihat ia mengunci sepedanya, air wajahnya tampak sebagai seorang pria yang bahagia—yang puas akan hidup. Dan itu membuatku sedikit kesal. Ia masuki restoran itu, memesan makanan dan membawanya ke meja yang merapat ke jendela.
Aku biarkan dia menunggu. Aku selesaikan Sudoku-ku sebelum beranjak. Di 17 Juni 2016, telah 275 papan Sudoku telah kuselesaikan, mode expert; menunjukkan betapa bosan dan membosankannya aku.
Aku masuki restoran itu dan langsung mendekati pria itu. Dia hendak berdiri, tapi aku mencegahnya dengan mengangkat telapak tangan.
“Tidak usah berdiri, Pak Adrian.” Lalu aku tarik kursi dan duduk sambil melanjutkan, “Langsung saja, nih. Kenapa aku?”
Dia tampak sesaat terperangah seolah tidak siap dengan tingkahku yang tiba-tiba. Tanpa adab dan sopan santun. Tapi kemudian dia tersenyum lebar yang membuatku muak.
“Maksudnya kenapa saya meminta Anda yang menuliskannya?” tanyanya.
“Ya, itu. Jodie memang agen saya, tapi dia juga teman saya. Apa Anda menekannya sampai-sampai dia meminta saya begitu rupa untuk menjadi ghost writer Anda?”
Pria itu mengangkat kedua tangannya seolah menyerah, atau minta ampun, atau memintaku tenang. “Saya tidak meminta Anda jadi Ghost Writer,” katanya. “Saya justru ingin Anda menuliskan fiksi… berdasarkan data yang saya—kami sajikan kepada Anda. Anda berhak terhadap segala apa yang Anda tulis.”
Aku mengerenyit. Aku kebingungan. “Kenapa aku?”
Dia mengatupkan kedua telapak tangannya dan menatapku lekat. Senyumnya masih lebar. “Saya sudah baca beberapa karya Anda. Dan saya rasa Anda cukup berpikiran terbuka untuk bisa meresapi pengalaman kami, menuliskannya, dan memberi kami peluang untuk bisa melihat pengalaman kami dari kacamata orang lain, sehingga kami bisa merasa utuh dengan hikmah yang kami dapatkan.”
Mataku memicing. “Dan pengalaman Anda sekeluarga… melibatkan hantu?” tanyaku.
Dia tergelak sebelum kembali menatapku, tapi senyumnya memudar sedikit, ada terawang kenangan di sorot matanya.
“Lebih rumit dari itu,” jawabnya.
Seketika aku tertarik. Tapi, aku masih merasakan ganjalan.
“Aku masih tidak mengerti Jodie begitu memaksaku menerima tawaran Anda,” kataku.
Senyumnya kembali melebar. “Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, ada kemungkinan rekan Anda itu jatuh hati sama Anda. Tapi, lepas dari itu, saya memang bersedia membayar jasa Anda menulis ini. Jadi, maaf kalau ini agak lancang, tapi kira-kira berapa harga yang Anda tawarkan?”
Kedua alisku terangkat mendadak. Keserakahan seketika mengambang di atas kepalaku. Tapi, aku cukup tahu diri—sialnya, aku memang tahu diri kalau aku penulis yang buruk.
“Nanti!” jawabku. “Nanti kalau sudah jadi. Baru bicara harga.”
Ia tersenyum, tapi tidak selebar tadi. “Nah, skeptisme yang memang dibutuhkan untuk menilik kisah ini. Itu juga salah satu alasan saya memilih Anda. Kapan bisa mulai? Tapi, sepertinya tidak sekarang, ya? Aku mesti memperbaiki greenhouse di rumah?"
"Anda berkebun?"
“Ya,” jawabnya sambil merogoh saku depan overallnya dan mendapatkan ponselnya. Ia tekan layar ponselnya dan seketika ponselku bergetar.
Aku raih androidku.
“Itu, nomor saya. Nanti kita bicara lagi.” Ia hendak beranjak, tapi aku mencegahnya dengan segera berbicara.
“Kita sebenarnya bisa bicara ini lewat telepon, kan?”
“Ya, tapi bertatap muka lebih baik. Dan saya cukup puas.” Ia berdiri dan mendorong nampan makanannya yang belum sempat ia sentuh ke depanku. “Silahkan. Saya belum menyentuhnya sama sekali.”
Lalu ia pergi.
Aku memperhatikannya menghampiri sepedanya, membuka kunci, menaiki dan memutar pedal hingga ia bisa menjauh dan menghilang dari pandanganku. Muakku makin menjadi. Aku lihat nampan makanan dia dan menyambar bungkusan yang bisa aku duga berisi burger. Kucabik-cabik bungkus burger itu dan melahapnya cepat.