Apakah cinta bisa mati?
Sering aku mempertanyakan itu, dan aku sempat sampai pada kesimpulan kalau cinta hanya reaksi kimia dalam tubuh kita yang memberi sedikit variabel untuk peran kita di muka bumi ini. Ya, tiga puluh delapan tahun bukan usia yang muda lagi untuk menganggap kesimpulan itu omong kosong, aku tahu itu. Tapi, itu juga bukan usia yang terlalu tua untuk kehilangan tenaga untuk mencari tahu lebih banyak lagi, aku juga tahu itu. Tapi bagaimanapun, aku merasa ada bagian dari diriku yang tengah sekarat. Sampai kemudian di suatu senja aku temukan seorang bidadari.
Seperti biasa, setelah jam kantor usai, aku jemput istriku di kantornya, meski jaraknya sedikit menjauh dari rumah. Semacam rutinitas sakral sejak kami menikah yang tidak bisa lagi dilanggar. Dan seperti biasa juga, sepanjang perjalanan pulang istriku lebih aktif bicara. Yah, aku bisa mengerti kalau dia memiliki banyak bahan yang patut untuk dibicarakan, orang-orang financial analist pasti bisa menemukan hal-hal baru setiap harinya. Sementara aku….
“Sayang, coba lihat status si Riska. Lucu banget!” ucap istriku seraya menunjukkan layar tablet-nya. “Kamu masih ingat Riska, kan? Temanku yang waktu hamilnya ngidam pegang gagang pintu rumah kita. Sekarang dia ada di Boston.”
“Ayolah, Anita! Sudah seharian aku nongkrong di depan layar! Sebentar saja aku nggak lihat nyala layar nggak apa-apa, kan?” tanggapku sedikit ketus.
“Baca sebentar aja. It’s worth you a while,” desaknya.
Aku tarik napas panjang seraya melirik dan melihat layar tablet-nya. Hanya melihat, tidak membacanya, lalu aku berpura-pura tersenyum lebar sedikit mendekati tertawa. Bisa dibilang aku memang cukup pandai bersandiwara.
“Lucu, kan?” ucap istriku senang setelah mengambil kembali PC tablet sialan itu.
Aku hanya menanggapinya dengan mempertahankan senyum lebarku dan melihat istriku kembali on-line di jejaring sosial keparat itu. Untuk beberapa lama kami terdiam.
“Say, kamu nggak apa-apa?” tanya Anita sambil berpaling sejenak dari ponselnya dan melihatku. “Ada masalah di kantor?”
“Nggak apa-apa? Cuma… laporan bagian Beta Tester bilang kalau coding-ku terlalu banyak bug-nya. Bukan masalah besar,” jawabku.
“Oh,” gumamnya. Kemudian sudut mataku menangkap kalau dia kembali ke jejaring sosial-nya.
Cih, basa-basi, Nit! Kalau cuma segitu kepedulian kamu, jangan peduli sekalian! Di ujung rajukan batinku itu aku memutar stir sedikit agak cepat, memasuki jalan kecil yang bukan biasanya.
“Lho, kok jalan sini?” tanya Anita.
“Sebelah sana suka macet, mudah-mudahan lewat sini nggak,” alasanku.
Tapi, ternyata aku keliru. Jalan itu ternyata macet juga. Tapi sepertinya Anita tidak terlalu menyadari berkat teknologi layar sentuh dan fasilitas internet sialan itu.
Aku menarik napas panjang. Kusimpan pelipis kananku di jemari dengan sikut bertelekan ke jendela mobil. Jika jalan macet tentu Anda berharap Anda berada di tempat lain selain di sini, bukan? Begitulah apa yang aku rasakan, sampai kemudian aku melihat sebuah rumah di samping kananku.
Rumah itu cukup besar, setidaknya lebih besar dari rumahku. Bercat putih meski saat itu mentari senja mengaburkan kepastian warnanya. Memiliki dua lantai dengan lantai bawah terhalang oleh pagar besi yang juga diselingi tanaman berduri. Dari lantai dua yang terlihat, rumah itu memiliki gaya minimalis dengan jendela sudut yang membuatnya sangat menarik. Di jendela sudut itulah aku melihat bidadari itu.
Pertama kali aku melihat jendela itu, aku tidak melihat siapa-siapa selain ada cahaya lampu di dalamnya yang seketika memberiku asumsi kalau di sana ada orang. Lalu aku melihatnya. Dia mendekati jendela dengan membawa sebuah biola. Dia mengenakan sweater wol putih dan rok panjang yang juga putih. Rambutnya hitam panjang, terikat ke belakang membentuk ekor kuda. Dia cantik…. Ya,… dia sangat cantik. Sangat-sangat-sangat cantik.
Kulihat dia memainkan biolanya. Tentu saja aku tidak bisa mendengarnya. Tapi dari gerakannya yang anggun, dari cara dia mengayunkan busur di atas dawai-dawai biola itu, aku sungguh berharap bisa mendengarnya. Kulihat keningnya mengerenyit, memberi arti kalau yang dimainkannya itu adalah penting. Sesekali aku juga melihat matanya memejam seakan pada saat itu nada yang dia mainkan benar-benar layak dihayati. Lambat laun aku rasakan luka hati yang disebabkan ketidakmampuanku untuk mendengar apa yang dia mainkan.