Rumah Sang Bidadari

DMRamdhan
Chapter #3

Adrian : Kenyataan

Keesokan harinya aku pulang kantor lebih awal. Anita menghubungi kalau dia dihubungi sekolah Lisa, katanya Lisa muntah-muntah di kelas. Mendengar berita itu seketika nalarku berdeduksi dan mengambil kesimpulan kalau Lisa masuk angin gara-gara semalam terlalu larut dan lama duduk sambil membaca di ruang ber-AC, sementara ibunya tertawa-tawa bersama teman-temannya di jalur bowling. Sempat terpikir untuk mengutarakan buah deduksi itu, tapi urung. Itu hanya akan memperpanjang pembicaraan, jika tidak berevolusi jadi adu argumen. Sudahlah….

“Aku akan jemput dia sekarang,” kataku seraya beranjak.

Anda bisa menduga jalan mana yang saya ambil, bukan? Ya, saya lewat depan rumah itu. Tentunya saat itu jalan tidak macet dan aku tidak terlalu berharap bisa melihat bidadari itu, tapi dorongannya tetap ada. Saat hendak melewati rumah itu aku sengaja melambat, tapi tidak selambat yang aku mau, dan hanya bisa melihat rumah itu sepintas. Tapi…, sepintas itu cukup bagiku untuk melihat seorang pria di depan gerbang pagar rumah itu yang tengah memasang sebuah tanda bertulisan besar, “Dijual.”

Napasku seketika serasa tercekik.

Dijual? Bidadari itu akan pindah? Kemana?

Sebagian besar dari hatiku tidak siap dan tidak rela menghadapi kenyataan itu. Aku ingin menghentikan mobilku, tapi akal sehat segera merebut kendali. Anakmu sakit, Bajingan!

Di sekolah Lisa, aku temui Lisa tengah memucat dan menggigil. Dari kerut keningnya aku tahu kalau dia tengah pening berat. Aku menggendongnya meski dia berusaha memberontak.

“Malu, Pa!” pekiknya lemah.

“Justru mereka yang mestinya iri. Apa papa mereka sesayang Papa sama kamu seperti ini?” bantahku.

Di rumah, aku baringkan dia di kamarnya dan menyelimutinya sebelum aku seduh segelas wedang jahe untuknya. Tidak perlu lama menunggu untuk melihatnya pulas tertidur. Kemudian Anita menghubungi.

“Gimana Lisa? Sudah ke dokter?”

“Nggak apa-apa. Cuma masuk angin. Sekarang lagi tidur. Nanti sore juga sembuh,” tanggapku.

“Kamu tahu nggak ada istilah ‘masuk angin’ dalam istilah medis, kan?! Oh, sudahlah! Jemput aku sekarang!”

“Ya, tunggu sebentar.” Aku tarik napas panjang setelah menekan tombol merah ponselku.

Kembali aku melewati rumah itu dan kembali melihat tanda “Dijual” di gerbang pagarnya. Aku rasakan seolah-olah ada tangan kuat yang meremas-remas isi dadaku. Aku tidak melihat bidadariku itu. Ataukah aku tidak akan pernah lagi melihatnya lagi?

Mau kemana engkau, Wahai Bidadari?

 

Di rumah, Anita langsung menemui Lisa di kamar. Lisa masih tertidur. Kemudian Anita berbaring di samping Lisa sambil mengusap keningnya.

“Keringat dinginnya keluar,” gumam Anita.

“Aku sudah kasih dia wedang jahe,” tanggapku yang tengah berdiri dan bersandar ke pintu.

Lihat selengkapnya