Kayaknya aku bakal ngidam lagi pegang gagang pintu rumah kamu!
Aku tertawa setelah membaca pesan Riska di PC tablet-ku.
Hamil dulu! Baru ngidam! Kapan kamu ke Jakarta? Balasku.
“Ada apa sih, Ma?” tanya Lisa yang beranjak dari kursi belakang mobil setelah mendengar aku tertawa.
Aku menanggapi Lisa dengan menunjukkan layar PC-ku, dan seiring dengan itu, sekilas aku perhatikan Adrian yang tengah mengemudi. Dan sekilas itu, aku bisa melihat binar cerah dari sorot matanya; dia tengah bahagia. Aku bisa mengerti, karena aku juga sedang bahagia.
Dua minggu yang lalu dia mengutarakan niatnya untuk membeli sebuah rumah dan mengajak aku dan Lisa untuk pindah. Tentu saja seketika aku merasa skeptis, aku tidak serta merta setuju—well, aku suka menganggap diriku seorang analist, karenanya aku terlatih untuk segera berpikir skeptis terhadap suatu penawaran, dan skeptis ini selalu aku iringi dengan kecenderungan untuk menyelidikinya. Hanya saja, ketika Adrian mengajak aku ke rumah yang hendak dibelinya, seketika aku jatuh cinta dengan rumah itu.
Lisa pun senang dengan rumah itu. Rumah itu cukup besar, atau mungkin terlalu besar untuk kami bertiga. Bangunan rumah itu sendiri memiliki gaya minimalis yang memberi kesan bersahaja namun sekaligus megah. Aku sangat mengerti kenapa Adrian menginginkannya.
Di samping rumah itu terdapat lahan yang tidak terlalu luas, tapi juga tidak terlalu sempit. Ada suatu saat ketika pertama kali melihat-lihat rumah itu, aku dan Adrian berada di lahan tersebut, dan Adrian berkata, “Nit, aku sebenarnya berniat keluar dari kantorku.”
Aku tersenyum. “Mau memulai perusahaan software kamu sendiri?” tanyaku.
Adrian tampak sedikit meringis. “Untuk itu sih modalnya sebagian banyak akan terhisap rumah ini, jika kita jadi membelinya, tapi…, aku nggak akan tiba-tiba berhenti; aku masih akan bekerja di sana, tapi hanya sebagai out-source, jadi bisa aku kerjakan di rumah. Di antara waktu luang itu, aku akan membangun greenhouse di sini.” Adrian menunjuk ke lahan itu. “Menanam sayuran hidroponik. Sekali-kali di akhir pekan aku bisa menjual hasilnya dengan membangun knock-down stand di depan rumah, atau menjualnya ke pasar.”
“Nggak kebayang kamu jadi petani,” komentarku sambil merangkul lengannya.
“Kamu keberatan aku jadi petani?”
“Aku nggak bilang gitu. Cuma nggak kebayang aja.”
Adrian terdiam.