Layout rumah ini sebenarnya sederhana, hampir persis dengan rumahku yang lama, hanya lebih besar dan luas saja. Pagar besi tinggi bercat putih yang diselingi tanaman berduri menjadi batas antara trotoar jalan dan halaman depan rumahku. Gerbang yang sebenarnya bisa di-install mesin otomatis (itu mesti menunggu cashflow rumah tanggaku stabil lebih dulu) mengantar kita melewati lantai beton sampai ke garasi yang cukup untuk tiga mobil. Di garasi itu ada satu pintu yang terhubung dengan dapur. Dapur ini bisa dibilang hampir sebesar garasi, dan terhubung dengan ruang tamu oleh koridor, dan di satu sisi koridor itu terdapat pintu kamar mandi, sementara di sisi lain sebuah ruangan tanpa jendela yang menurut Adiran bisa digunakan untuk tempat penyimpanan sementara barang-barang yang nggak terpakai. Di dapur ini juga terdapat pintu keluar menuju halaman belakang. Halaman ini cukup luas, berbentuk L hingga ke samping rumah dan bisa mencapai halaman depan jika tidak terhalang oleh deretan kaktus; sebelum kami pindah, halaman ini didominasi oleh rumput liar yang tinggi-tinggi, tidak menyisakan petunjuk apa yang ada di halaman ini sebelum rumah ini terbengkalai oleh pemilik sebelumnya—well, Adrian punya teori kalau pemilik sebelumnya berencana membuat kolam renang di halaman ini, hanya saja karena sibuk dan anak-anak keburu dewasa, rencana itu terbengkalai. Dan sekarang Adirian berencana menutup lahan itu dengan greenhouse untuk tanaman hidroponiknya.
Pintu depan rumah ini terletak menyamping menghadap jalan mobil, terpisah hanya oleh tiga anak tangga dan beranda kecil. Pintu ini langsung ke ruang tamu. Di ruang tamu ini terdapat tangga menuju lantai dua yang langsung menghadap ruang berjendela sudut. Di samping kanan tangga, terdapat koridor dengan dua pintu untuk kamar di tiap sisinya, dan di ujung koridor terdapat tangga yang lain menuju dapur. Pintu kamar tidurku dan Adrian berseberangan dengan pintu kamar Lisa, dua sisa kamar yang lain digunakan sebagai ruang kerja aku dan Adrian. Di setiap ruangan ini terdapat kamar mandi sendiri.
Aku suka dengan rumah ini. Rumah yang sangat indah…, mungkin terlalu indah untuk sebuah kenyataan….
Tengah malam di malam pertama kami tidur di rumah itu, aku terbangun oleh suara biola; permainan biola solo yang memainkan musik klasik. Adrian tidak berada di sisiku, dan seketika aku berasumsi Adrian tidak bisa tidur dan memutuskan memasang audio-set di ruang keluarga. Aku kembali memejamkan mata, tapi tak lama kemudian aku terbangun sepenuhnya setelah mendengar suara pemainan biola itu selesai dan diikuti suara tawa lirih; tawa seorang perempuan. Aku beranjak dan keluar kamar, aku lihat lampu di ruang keluarga menyala dan aku berjalan ke sana, tapi aku tidak menemukan Adrian. Aku tidak menemukan siapa-siapa di ruang itu, bahkan aku lihat audio-set milik Adrian masih di dalam boks, belum terpasang. Lalu aku dengar suara dari ujung koridor; dari dapur. Akupun hendak beranjak ke sana, hanya saja ketika badanku berbalik, aku mendengar suara tawa lirih itu lagi, dari belakangku dan cukup dekat. Dengan cepat aku menoleh ke belakang dan tentu saja di sana tidak ada siapa-siapa. Perasaan merinding merayapi tubuhku dan perlahan-lahan aku berjalan mundur sampai kemudian berbalik dan mempercepat langkahku menuju dapur.
Di dapur aku temukan Adrian, tengah duduk di meja makan, menghadapi layar laptop. Saat aku datang, dia sedang menyeruput secangkir kopi dan menyambutku dengan menawarkan kopi. Aku tidak menggubris tawarannya itu dan langsung menceritakan apa yang aku alami. Terus terang aku berusaha menekan nada suaraku setenang mungkin saat menceritakannya supaya tidak terlihat takut, tapi sepertinya kurang berhasil.
Kening Adrian mengerenyit, ia beranjak menuju tangga dan menaikinya. Aku mengikutinya. Sampai di ruang keluarga, Adrian memeriksa setiap sudut ruangan; sempat membuka tirai jendela dan melihat keluar, bahkan sempat mematikan lampu sejenak, lalu menyalakannya lagi. Aku cukup tercekat saat Adrian mematikan lampu; aku tidak menyangka dia akan berbuat seperti itu.
“Ini malam pertama kita di rumah ini,” kata Adrian datar. “Mungkin saraf kamu jadi sedikit lebih sensitif.”
“Ya, mungkin seperti itu,” responku setuju dan kemudian merasa konyol dengan sikap penakutku sendiri. Aku balikan badan dan berjalan menuju dapur. “Aku minta kopinya, ya?”
Aku tidak mendengar jawaban. Ketika aku lihat Adrian, dia tengah berdiri diam menatap ke ruangan itu. Dari sorot matanya, aku merasa dia seolah-olah berharap bisa melihat sesuatu. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyaku.
Adrian tidak menjawab. Dia mematikan lampu sebelum berjalan ke arahku, melewatiku dan menuju kamar Lisa. Aku mengikutinya. Dia membuka pintu kamar Lisa dan aku melongok ke dalamnya. Lisa tengah tertidur pulas.
“Syukurlah, dia bisa tidur pulas di kamar barunya,” kata Adrian.
“Ya,” jawabku, “Alasan lain untuk tidak takut hantu atau semacamnya, right?”
Adrian tersenyum. Dia tutup kembali pintu kamar Lisa.
Malam itu kami tidak tidur kembali. Adrian kembali ke pekerjaannya, dan aku ambil pekerjaanku dan bergabung dengannya di dapur. Agak aneh juga bekerja di malam pertama di rumah baru. Terus terang bukan ini yang ada dalam benakku. Kamu bisa menduga-duga apa yang bisa dilakukan suami-istri di malam pertama di rumah baru, kan? Well, aku tidak tahu dengan Adrian—mungkin dia sedang banyak pikiran—tapi saat itu aku mungkin terlalu sentimentil untuk menginginkan sesuatu yang lebih intim. Oh, well, sudahlah….