Semua orang berkumpul di lantai dua, orang-orang berdiri melingkar membentuk persegi. Dua perempuan di tengahnya sudah bersiap berkelahi. Di sebuah bar yang berada di daerah Kuta, Badung Bali setiap malam orang-orang lokal juga turis berdatangan untuk menyaksikan sebuah perkelahian.
Ya, setiap malam akhir pekan tempat ini biasa menjadi arena pertarungan. Bukan ajang olahraga tinju, MMA, ataupun silat, melainkan pertarungan bebas. Bebas memakai jurus apa saja, asalkan bisa berkelahi, tidak ada aturan di tempat itu. Namun, jika boleh menyerah sang petarung bisa mengangkat tangan, atau tidak bangun dalam waktu lebih dari sepuluh detik petarung dinyatakan kalah.
Rata-rata mereka hadir di situ mempertaruhkan uangnya untuk sang petarung jagoannya, hanya sedikit yang datang hanya untuk menyaksikan perkelahian. Di pintu masuk langsung disambut oleh dua orang penjaga, yang mengenakan destar khas orang Bali.
Lalu masuk melalui pintu dan lorong kecil, yang diterangi cahaya kuning remang-remang. Memasuki sebuah lorong, langsung diarahkan dengan anak tangga menuju sebuah kelab. Ruangan hiburan malam yang menyambut tamu dengan kelap-kelip cahaya yang seirama dengan dentuman musik DJ.
Lelaki dan perempuan ada di sana, meneguk bir, juga ada yang memadu kasih dengan perempuan penyedia waktu di sudut remang. Namun bukan ini tempatnya, ada anak tangga lagi yang mengarah ke atas, di mana tempat itu menjadi sebuah pertaruhan harta serta raga manusia.
Hingga sampai di sebuah pintu, dipertemukan lagi oleh dua orang laki-laki bertubuh dempal. Di sana juga sama, hanya diminta kartu identitas. Lalu boleh masuk ke sebuah ruangan berarena.
Meja-meja dan kursi hanya terdapat di sudut-sudut ruangan, kebanyakan orang berkumpul di tengah, berdiri melingkari sebuah arena. Jika ingin ikut taruhan, bisa mendatangi loket, memilih petarung yang dijagokan, dan mempertaruhkan beberapa uang di sana. Seorang pejudi akan mendapatkan selembar kertas, sebagai bukti bahwa ia telah membayar untuk ikut taruhan.
Orang-orang bersorak ketika melihat dua perempuan telah memasuki arena, salah satunya seorang perempuan dengan ikatan rambut ke belakang seperti ekor kuda, warna kulit cokelat khas orang lokal. Sedangkan lawannya seorang perempuan berkulit putih, dengan bola mata berwarna biru.
Memang, tempat ini dikenal sebagai pertemuan petarung laki-laki juga perempuan dari berbagai tempat asalnya. Biasanya turis-turis asing berdatangan ke tempat ini, ada juga yang ikut serta perkelahian di arena.
Kebanyakan orang-orang yang mengikuti pertarungan itu, biasanya turis dari Australia, Brasil, Belanda, juga negara-negara Asia seperti Malaysia, Singapura, dan Hongkong. Kadang-kadang orang Indonesia juga ikut serta berkelahi dengan orang-orang asing di arena.
Dua perempuan sudah bersiap-siap di tengah. Seorang perempuan berkulit cokelat memasang badannya siap siaga untuk memulai perkelahian, juga diikuti oleh lawannya. Dua orang pria yang berdiri di pinggir arena tampak berbicara berbisik.
“Dia pasti menang.” Dia menunjuk perempuan berambut kuda.
“Ah, mana mungkinlah. Lawannya berat, orang Australia dia punya jurus kanguru.”
Salah satu pria tertawa setelahnya, “Tapi itu orang Indonesia, lusa kemarin habis menghajar orang Malaysia,” bisiknya kemudian.
Seorang perempuan berkulit putih maju sambil mengayunkan kaki, tapi dengan tangkasnya permpuan berkulit cokelat mampu menangkisnya. Perempuan yang disebut-sebut dari Australia memberi serangan lagi dengan mengayunkan pukulan, tapi masih saja ditahan dengan lengan oleh lawannya, dan langsung mendapat balasan pukulan ke perut, dia pun membungkuk.
Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, perempuan kulit cokelat langsung mengirimkan pukulan tepat ke sudut bibir kiri. Yang mendapat pukulan itu seketika terpelanting.