Rumah Tak Berpintu dan Jendela

Setia S Putra
Chapter #1

Satu

Lantai dua sebuah bar di pusat kota malam itu dipenuhi orang. Puluhan tubuh berdesakan, membentuk lingkaran tidak sempurna, menyisakan ruang kosong di tengah sebagai panggung utama. Dari luar, tidak ada yang menyangka tempat ini menjadi arena pertarungan setiap malam. Namun bagi mereka yang sudah tahu, lantai dua bar ini adalah tujuan utama.

Arena itu tidak menyerupai ring tinju, tidak ada tali pembatas, apalagi wasit berseragam. Hanya lantai kusam. Aturannya sederhana, siapa pun boleh masuk bertarung dengan cara apa pun. Pukulan, tendangan, bantingan—semuanya sah. Tidak ada peluit, tidak ada hitungan ronde. Yang berlaku hanyalah dua hal, angkat tangan tanda menyerah, atau tubuh tidak lagi sanggup berdiri setelah satu menit.

Sebelum keramaian memuncak, dua penjaga berbadan besar sudah bersiap di pintu masuk bar. Tubuh mereka tegap, lengan berurat, wajah datar tanpa ekspresi. Mereka memeriksa setiap pengunjung, hanya memastikan identitas, lalu membiarkan orang-orang masuk.

Lorong sempit menyambut dengan cahaya lampu kuning temaram di balik pintu. Asap rokok bercampur dengan aroma alkohol memenuhi udara, membuat suasana berlapis kabut tipis. Musik DJ dari lantai bawah bergetar naik melalui dinding, dentuman bass beradu dengan suara langkah kaki yang menuruni tangga.

Di ruang utama, cahaya lampu berwarna-warni berkedip mengikuti irama musik. Laki-laki dan perempuan berbaur, beberapa meneguk bir dari gelas tinggi, sebagian lain saling mendekatkan tubuh di sudut-sudut ruangan gelap. Tetapi semua tahu, pesta di lantai dasar hanya sekadar pelapis. Kau belum tahu pertunjukan yang sebenarnya ada di lantai atas.

Tangga lain membawa pengunjung naik. Di puncaknya, dua penjaga lain berdiri kokoh, menghalangi pintu besi yang tertutup rapat. Tidak banyak syarat untuk masuk. Hanya serahkan kartu identitas, bayar taruhan, lalu pintu dibuka. Begitu pintu itu berayun, kau langsung disambut dengan sebuah ruangan luas dengan langit-langit rendah, penuh orang yang tak sabar menantikan perkelahian.

Meja-meja ditaruh di pinggir, kursi-kursi berserakan, hampir tak ada yang duduk. Semua orang lebih memilih berdiri, berkumpul rapat di sekeliling arena. Suara riuh rendah percakapan bercampur dengan teriakan taruhan yang ditegaskan di loket pojok ruangan. Uang ditukar dengan lembaran kertas kecil, tiket taruhan yang menjadi bukti keberpihakan pada salah satu petarung.

Sorakan keras meledak ketika dua perempuan memasuki lingkaran. Satu berkulit cokelat, rambutnya diikat ke belakang membentuk ekor kuda. Tubuhnya padat berisi, lengannya berotot. Matanya menatap tajam, rahangnya mengeras. Lawannya, perempuan berkulit putih pucat dengan mata biru mencolok, tampak berbeda. Posturnya lebih ramping, wajahnya dingin, bibir tipis terkatup rapat menahan gugup.

Lampu sorot menyorot tepat ke tengah arena, membuat kedua tubuh perempuan itu seakan terpotong dari kerumunan di sekeliling. Penonton bersorak, bertepuk tangan, beberapa berteriak memanggil nama jagoannya. Suara langkah kaki bergeser-geser di lantai, orang-orang mencoba mendekat agar tidak melewatkan satu gerakan pun.

Lihatlah... perempuan berkulit cokelat melangkah maju lebih dulu. Bahunya agak condong ke depan, kakinya mantap menapak lantai. Nafasnya teratur, matanya tidak lepas dari lawan di hadapannya. Sedangkan lawannya mengangkat kedua tangannya setengah tinggi dada, ia sudah bersiap. Udara di ruangan itu semakin berat, bercampur aroma keringat dan bir tumpah.

Teriakan penonton menjadi aba-aba tak resmi. Perempuan berkulit putih melemparkan tendangan tinggi. Gerakannya cepat, namun perempuan berkulit cokelat dengan sigap menggeser tubuh ke samping dan menangkis dengan lengan kirinya. Suara benturan tulang beradu terdengar jelas. Penonton mendesis, sebagian menepuk-nepuk pundak temannya.

Serangan berikutnya datang berupa ayunan tangan kanan yang diarahkan ke wajah. Perempuan berkulit cokelat menahan dengan telapak, lalu dengan gerakan cepat melancarkan pukulan balik tepat ke perut lawannya.

Tubuh perempuan berkulit putih terlipat, kedua tangannya otomatis memegangi perutnya. Wajahnya meringis, napasnya terhenti sejenak. Penonton langsung bersorak lebih keras. Melihat celah itu, lawannya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tangan kanannya melayang, menghantam sudut bibir kiri. Suara pukulan terdengar keras, tubuh perempuan berkulit putih terhuyung ke belakang.

Sorakan pecah. Beberapa orang meloncat-loncat, gelas bir hampir tumpah dari genggaman. Wajah perempuan berkulit putih kini merah di bagian bibir, sedikit darah terlihat di sudutnya. Ia menarik napas kasar, menegakkan tubuhnya kembali, menolak tunduk.

Lawannya sudah kembali ke posisi, lutut sedikit ditekuk, tangan terangkat. Tatapannya dingin, menunggu gerakan berikutnya.

Perempuan berkulit putih mengeram pelan, lalu melesat maju. Tangannya diayunkan keras, lurus ke arah wajah lawannya. Namun sebelum sempat mengenai, lengannya ditangkap. Perempuan berkulit cokelat memutar tubuh lawannya dan membantingnya ke lantai. Suara tubuh menghantam keramik membuat penonton menjerit puas.

Sorak-sorai semakin menggila. Orang-orang mendorong satu sama lain untuk bisa melihat lebih jelas.

Tubuh perempuan berkulit putih kini terbaring, berusaha meraih napas. Namun lawannya tidak memberi jeda. Ia melompat ke atas, menduduki perut lawannya, lalu menghujani wajahnya dengan pukulan bertubi-tubi. Suara kepalan tangan menghantam kulit terdengar berulang-ulang, bercampur dengan pekikan dan tepukan penonton.

Wajah perempuan berkulit putih mulai memar, bibirnya pecah, matanya setengah terpejam menahan sakit. Kedua tangannya mencoba menutupi wajah, namun tidak cukup cepat.

Beberapa orang memukul-mukul meja di sudut, yang lain berteriak meminta lawan menyerah. Uang taruhan berpindah tangan dengan cepat, lembaran tiket berdesakan di udara. Sementara dua perempuan itu masih bergulat. Perempuan berkulit cokelat matanya menyala, keringat menetes dari pelipis, sementara tangannya terus mengayunkan pukulan. Lawannya yang berkulit putih, dengan wajah babak belur, perlahan kehilangan daya untuk melawan.

***

Suara gaduh yang sejak pagi memenuhi lorong sekolah perlahan surut. Teriakan siswa yang tadi saling memanggil, bercanda, atau mengetuk-ngetuk meja seketika mereda begitu derap langkah para guru terdengar memasuki ruang kelas masing-masing. Suasana berubah teratur. Suara pintu kayu dibuka dan ditutup, disusul derit kursi ketika murid-murid serentak duduk rapi di bangku, menggantikan riuh dengan suasana belajar yang lebih terkontrol.

Di salah satu kelas, seorang guru berdiri tegak di depan papan tulis hitam yang penuh dengan tulisan kapur. Jemarinya menggenggam penggaris kayu panjang, menunjuk baris-baris rumus sambil menjelaskan. Matanya sesekali melirik ke arah murid yang tampak masih kebingungan. Sebagian murid menunduk, mencatat cepat, kapur putih meninggalkan debu tipis di udara setiap kali papan ditulis ulang.

Di kelas lain, seorang murid maju ke depan. Tangannya bergetar saat menggenggam kapur, menorehkan jawaban di papan tulis. Beberapa teman di bangku belakang berbisik pelan, mencoba menebak apakah jawaban itu benar. Sang guru berdiri tak jauh, kedua tangannya bersedekap di dada, matanya mengamati setiap garis yang ditulis muridnya.

Tak jauh dari situ, sebuah kelas lain tampak lebih tenang. Guru di ruangan itu duduk di kursi kayu di depan mejanya, sebuah buku tebal terbuka di hadapan. Sesekali ia membalik halaman, membiarkan murid-muridnya belajar mandiri. Anak-anak di kelas itu membungkuk di atas buku-buku pelajaran yang kertasnya mulai menguning dan buram.

Lihat selengkapnya