Bus malam itu melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalan yang masih basah selepas hujan. Bau solar samar-samar tercium di bangku belakang. Lampu jalan menyala redup, bergantian melewati kaca bus yang buram. Seorang wanita tua duduk bersandar di salah satu bangku dengan tubuh tegap, menaungi tubuh ringkih di sisinya.
Seorang gadis duduk di sebelahnya tanpa suara. Rambut hitamnya tergerai acak, beberapa helai menempel di pipinya yang basah. Ia tidak berusaha menyingkirkannya. Pandangan matanya kosong, hanya tertuju lurus ke depan tanpa benar-benar melihat. Bahunya sedikit merosot, seakan kehilangan tenaga untuk sekadar duduk tegak.
Wanita tua itu, Naning, melirik sekilas ke arah gadis di sampingnya. Tangannya yang keriput terangkat perlahan, menyusuri kepala gadis itu, menyibak rambut yang jatuh ke wajahnya. Sentuhannya lembut, tidak terburu-buru. Ia kemudian mengusap rambut itu beberapa kali, gerakannya berulang, seperti mencoba menenangkan seekor anak burung yang terluka. Gadis itulah yang bernama Rili, ia tidak bereaksi sama sekali, hanya membiarkan kepalanya bersandar di bahu Naning.
Suasana di dalam bus sebagian besar tenang. Beberapa penumpang tertidur dengan kepala miring, ada yang bersandar ke jendela, ada pula yang menunduk di pelukan jaket. Lampu kabin dipadamkan, hanya menyisakan cahaya redup kekuningan di lorong. Sesekali terdengar suara batuk kecil, atau derit kursi ketika ada penumpang yang mengubah posisi duduk.
Naning menarik napas perlahan, lalu menundukkan wajahnya sedikit mendekat. “Dari awal mamak sudah tahu kebohonganmu.” Suaranya lirih, tidak menekan, hanya sekadar menyatakan kenyataan.
Kata-kata itu tidak membuat Rili menoleh. Matanya tetap kosong, bulir air mata jatuh perlahan di pipi. Tidak ada isakan, hanya aliran bening tak terbendung. Helaan napasnya terdengar berat, seperti menahan sesuatu di dalam dada yang sulit keluar.
Naning menggeser posisi tubuhnya, merapatkan bahu agar kepala Rili lebih nyaman bersandar. Ia menatap kaca jendela, melihat pantulan wajah mereka berdua. Tangan tuanya kembali mengelus rambut Rili, kali ini dengan tempo lebih lambat.
Rili menggenggam ujung kain tasnya erat-erat. Jari-jarinya gemetar, kukunya menekan kain hingga meninggalkan lipatan. Wajahnya menunduk, tetapi air mata terus mengalir, membuat bagian depan blusnya mulai basah. Ia menutup matanya, berharap kegelapan bisa menyingkirkan rasa sakit yang membebani pikirannya.
Naning menunduk sedikit, memperhatikan gadis itu. Bibirnya bergerak lagi, kali ini lebih pelan. “Tapi mau bagaimana lagi, memang begitu kenyataannya. Kita harus menerimanya.” Ia berhenti sejenak, menatap jauh ke depan, seakan mencari jawaban di balik kegelapan luar jendela. “Mamak juga bersalah.”
Mata Naning tampak berkaca-kaca, tetapi ia tidak bisa membiarkan air matanya jatuh. Kerut di wajahnya semakin jelas saat ia menahan perasaan itu. Ia mengatupkan bibir, lalu kembali mengusap bahu Rili.
Begitulah yang terjadi empat tahun lalu, sebelum Rili berangkat lagi ke Surabaya. Ia pergi untuk menemukan sosok yang sudah ia dambakan sejak duduk di bangku SMP. Namun, ini sudah kali kedua Rili harus kembali pulang hanya dengan membawa kekecewaan. Kali ini, rasa kecewa itu semakin berat, karena turut dibalut kebencian pada seseorang yang seharusnya ia cintai.
***
Rili duduk di salah satu bangku bus antar provinsi, tepat di sisi jendela yang masih basah dengan butiran air hujan. Kepalanya bersandar pada kaca, membiarkan dinginnya menempel di pelipis. Matanya menatap lurus keluar, mengikuti jalan raya yang dilewati bus. Dari tanda-tanda yang dikenalinya, ia sudah tahu bahwa bus sedang memasuki wilayah kota tempat ia dilahirkan—Mataram.
Langit sore itu berwarna merah tua, seakan-akan enggan menyerahkan waktunya kepada malam yang sebentar lagi turun. Matahari, meski terhalang mendung, tetap berusaha memecah awan dengan cahaya tipis. Cahaya itu mengenai rambut hitam Rili yang tergerai, juga wajahnya yang berkulit cokelat. Sinar lembut itu membuat parasnya tampak berkilau, meskipun sorot matanya sayu.
Wajahnya berusaha menahan kecewa, menutupi luka yang baru saja ia bawa pulang. Harga dirinya telah jatuh, dan rasa sakit itu membuatnya memilih kembali ke kota ini. Tidak ada yang menyambutnya. Tidak ada senyum yang menunggu. Hanya dirinya sendiri yang harus menanggung perasaan hancur itu.
Bus akhirnya memasuki terminal besar Kota Mataram, tempat semua bus antar provinsi berhenti. Rili bangkit, meraih ransel dari rak bagasi atas. Gerakannya pelan seakan tidak ingin menimbulkan suara lebih dari yang perlu. Rambut diikatnya ke belakang dengan cepat membentuk ekor kuda, lalu ransel digendongnya di bahu.
Ia ikut berjalan bersama penumpang lain yang berdesakan keluar. Beberapa orang baru naik, berbicara dengan kondektur dan mencari tempat duduk. Rili melangkah hati-hati, melewati lorong sempit, hingga akhirnya kakinya menginjak lantai peron terminal.
Begitu keluar, hiruk-pikuk langsung menyambutnya. Buruh angkut dengan teriakan menawarkan jasa mengangkat barang, tukang ojek mendekat menanyakan tujuan, sopir angkot memanggil-manggil penumpang, pedagang asongan menyodorkan minuman botol dan makanan ringan. Suara mereka bertumpuk, bercampur dengan deru mesin bus yang baru datang.
Rili beberapa kali menggeleng, menolak. Ia tidak ingin bicara banyak. Kakinya memilih jalan keluar, lebih suka berjalan kaki. Di sisi lain terminal, bus-bus baru berdatangan. Atapnya dipenuhi tumpukan kardus dan karung yang diikat rapat, menanti untuk dibongkar. Terminal terasa penuh, udara bercampur antara bau asap knalpot, gorengan yang digoreng di kios kecil, dan bau keringat dari para penumpang yang berdesakan. Rili mempercepat langkah, ingin segera keluar dari tempat sesak itu.
Namun, langkahnya terhenti sejenak ketika pandangannya jatuh pada sebuah bangku di ruang tunggu. Di sana, sebuah keluarga kecil duduk bersama. Ada seorang ayah, seorang ibu, dan dua anak mereka. Anak laki-laki yang masih kecil berdiri di atas bangku, tertawa sambil memegang bahu ibunya. Sang ibu menopang pinggangnya agar tidak jatuh. Sementara itu, anak perempuan berlari-lari kecil mengitari bangku, sesekali menggoda adiknya yang di atas kursi. Tawa anak-anak itu riuh, nyaring, membuat kepala orang-orang di sekitarnya seketika menoleh. Sang ibu beberapa kali menegur putrinya agar berhenti berlarian.
Rili memperhatikan pemandangan itu lebih lama dari yang ia inginkan. Dan, tergambar sedikit senyum yang dipaksakan. Dalam benaknya, ia membayangkan bahwa dirinya adalah anak perempuan itu, merasakan hangatnya keluarga utuh, berada di dalam lingkaran tawa seperti itu.
Tapi takdir yang ia terima, terlalu sulit untuk diubahnya. Matanya beralih dari keluarga itu. Bibirnya bergerak pelan, hampir tak terdengar, “Aku ingin berkelahi.” Suaranya hanya untuk dirinya sendiri, lahir dari rasa kesal yang sejak tadi ia tahan. Sorot matanya mengeras, lalu langkahnya dipercepat. Ia melewati keluarga itu tanpa menoleh lagi, langsung menuju pintu keluar terminal.