Rumah Tak Berpintu dan Jendela

Setiawan Saputra
Chapter #2

Dua

Salah satu dari tiga puluh bangku bus trayek antar kota antar provinsi, di dekat jendela yang masih tersisa butiran-butiran bekas hujan, di situlah seorang perempuan duduk kepalanya bersandar di jendela, pandangannya mengarah ke jalan yang dilalaui bus yang ia tumpangi.

Tak perlu bertanya sudah berada di mana ia kini, perempuan itu sudah tahu ia sudah sampai di Kota Mataram. Langit sore itu memerah, seoal-olah tidak tahu malu dengan waktu yang sebentar lagi akan menghintam.

Sang mentari masih memaksa menaburkan cercahan cahaya melalui sela-sela langit mendung, mengenai rambut hitam gadis itu yang tak terikat, juga cahayanya mengenai paras membuat kulit cokelatnya berkilauan.

Paras pesonanya tertutup lesu, memaksa menyembunyikan rasa kecewanya dari sebuah kenyataan yang menyakiti hati, dengan jatuhnya harga diri. Karena itulah, ia kembali ke Kota Mataram.

***

Seorang wanita tua duduk di bangku bus, di sebelah seorang gadis yang sama sekali tidak menunjukan raut bahagianya. Tidak seperti di kala berangkat dari Mataram, gadis itu tampak sangat bahagia. Namun apa dayanya, kepulangan gadis itu membawa rasa kecewa.

Semestinya wanita tua itu tahu, apa yang dirasakan gadis itu. Rasa kebahagiaan yang ia dambakan, keinginan mendapatkan kasih sayang dari seseorang yang ia dambakan, untuk hidup mendampingi hingga ia tumbuh dewasa.

Nyatanya ia tidak mendapatkan semua itu, malah mendapatkan hal sebaliknya. Kebencian dan dendam, tanpa tau apa penyebabnya dan apa kesalahannya. Sesekali belaian tangan keriputnya mengusap lembut rambut gadis itu, seorang wanita tua menyandarkan kepala gadis ke bahu, terus membelainya.

“Dari awal mamak udah tahu kebohonganmu, Kar.” Wanita tua berbicara pada seorang gadis yang ada di sebelahnya.

Gadis bernama Sekar hanya diam, meneteskan air mata tanpa isakan. Tatapannya kosong, bersender pada bahu seorang wanita tua di sebelahnya. Wanita tua itu, biasa dipanggil Naning.

“Tapi mau gimana lagi-nah, memang begitu kenyataannya, Kar. Kita harus menerimanya,” ucap wanita tua itu lagi, “Mamak juga merasa bersalah.” 

***

Begitulah yang terjadi empat tahun yang lalu, sebelum Sekar berangkat lagi ke Kediri. Mencari seseorang yang ia dambakan sejak masih SMP. Dan sudah yang ke dua kalinya, Sekar harus kembali Ke Mataram membawakan rasa kecewa, dan yang ke dua kali ini ia membawa rasa dendam dan kebencian terhadap seseorang yang seharusnya ia sayang.

Sampai di Terminal Mandalika Mataram, bus yang ia tumpangi dari Surabaya, berhenti di tempat pemberhentian bus trayek antar kota antar provinsi. Sekar mengucir rambutnya ke belakang, mengambil ransel di bagasi atas kemudian menggendongnya.

Ia pun berjalan bersamaan dengan penumpang-penumpang lain yang hendak turun, juga berpapasan dengan penumpang yang baru saja naik. Bus yang ia tumpangi, melanjutkan perjalanan hingga tujuan terakhir Labuhan Bajo, kemudian berangkat lagi ke Jakarta untuk keesokan harinya.

Sepasang sepatu Sekar memijakan peron terminal, beberapa buruh angkut, tukang ojek, sopir angkot, dan pedagang asongan berdatangan menawarkan jasa dan jajanannya, kepada penumpang yang baru saja turun dari bus.

Lihat selengkapnya