Namanya Amarilis Rahayu Dewi. Orang-orang terdekat biasa memanggilnya Rili. Ia lahir dari keluarga keturunan Jawa-Lombok. Gianto, seseorang yang biasa ia panggil bapak, bekerja sebagai kepala sekolah di salah satu SMP negeri di Mataram. Sosok Gianto dikenal disiplin, berwibawa, dan keras dalam mendidik anak.
Ketika Rili beranjak kelas satu SMP, Gianto mulai memperkenalkan bela diri kepadanya. Bagi Gianto, seorang perempuan harus mampu menjaga diri. Ia sering menekankan bahwa dunia tidak selalu ramah, ada saja orang jahat yang akan mengganggu, dan Rili harus bisa menghadapi itu.
Setiap sore di halaman rumah sering diisi dengan latihan. Keringat menetes di kening Rili yang masih kecil saat itu, kedua tangannya gemetar menahan posisi kuda-kuda. Gianto berdiri di hadapannya, mengawasi dengan tatapan tajam. Sesekali ia meluruskan posisi siku atau menepuk bahu Rili dengan keras jika gerakannya melenceng.
“Gunakan ilmu ini sebaik mungkin,” ucap Gianto suatu sore. “Bapak mengajarkan ilmu ini untukmu dan untuk orang yang lebih lemah darimu.”
Rili mengangguk serius, menatap mata Gianto tanpa berkedip. “Iya, Pak,” jawabnya singkat.
Bagi Gianto, jawaban itu sudah cukup. Ia tahu Rili mungkin belum sepenuhnya paham, tetapi suatu saat akan mengerti.
Hari pertamanya masuk di SMA Dewanta berlangsung tanpa sorotan. Saat berdiri di depan kelas untuk memperkenalkan diri, ruangan terasa dingin meski kipas di langit-langit berputar lambat. Suaranya terdengar jelas, tetapi tanggapan teman-temannya hambar.
Sebagian besar murid hanya diam. Beberapa di barisan depan mengangguk, namun sebagian lain menunduk, mencoret-coret buku, atau bahkan menoleh ke arah jendela. Rili bisa merasakan pandangan singkat, seakan mereka hanya butuh satu detik untuk menyimpulkan siapa dirinya.
Di mata anak-anak SMA yang mengagungkan tampilan modis, Rili tampak jauh dari kata menarik. Kulitnya kecokelatan, wajah tanpa riasan, rambut hitamnya diikat seadanya menjadi kuncir kuda. Rok abu-abunya sedikit kusut, kemejanya tidak ketat seperti kebanyakan siswi lain.
Beberapa siswa di belakang menutup mulut sambil berbisik, lalu terkekeh. “Burik,” salah satu di antara mereka melontarkan ejekan, yang cukup bisa terdengar bagi yang duduk di sekitarnya.
Rili menahan diri, memasukkan ejekan itu ke dalam kepalanya tanpa menampilkannya di wajah. Ia berjalan ke bangku kosong di barisan agak belakang, tepat di depan sekelompok siswa laki-laki yang terlihat paling berisik di kelas.
Sebelum duduk, ia menatap sebentar ke arah mereka. Sorot matanya tajam, seperti sedang menilai siapa di antara mereka yang jagoan. Jika ia tahu, ia ingin berkelahi dengannya suatu saat nanti.
Seperti biasa, siswa-siswi berhamburan keluar kelas di jam istirahat. Sebagian menuju kantin, sebagian lagi ke halaman, ada juga yang bergerombol di balik bangunan kelas untuk merokok.
Sementara Rili hanya duduk sendirian di kantin, membuka kotak bekal dari rumah. Isinya nasi kuning buatan Naning, lengkap dengan sambal tempe goreng dan kentang rebus. Menunya selalu itu, sejak SD hingga kini kelas sebelas, ia tidak pernah bosan. Setiap suapannya seakan mengingatkan pada rumah, pada pelukan ibunya, dan pada pagi-pagi penuh teguran ayahnya.
Rili duduk sendiri di salah satu meja kosong. Kotak bekal ia letakkan di depan, sementara di sampingnya ada segelas es teh yang baru ia beli. Suasana kantin ramai oleh suara riuh percakapan dan tawa. Namun, di meja Rili, hanya ada suara sendok bertemu wadah plastik dan tegukan minuman.
Tidak ada yang mencoba mendekat. Siswa lain memilih duduk berkelompok, mengisi meja dengan canda dan gosip. Pandangan mereka kadang melirik ke arah Rili, lalu cepat-cepat beralih. Rili tidak mempermasalahkan itu. Ia lebih fokus menikmati bekalnya.
Namun, belum habis nasi kuningnya, dan minumannya masih berkurang seperempat, ketenangannya terusik oleh tiga siswi kelas dua belas yang berdiri tepat di depannya. Mereka adalah Nia, Siska, dan Ika. Tiga nama yang cukup sering terdengar di SMA Dewanta.
Terutama Nia, si ratu sekolah. Wajahnya putih, terawat, bibirnya merah oleh gincu. Ia berdiri dengan kedua tangan terlipat menyangga payudara. Rili mendongak, menatap Nia dengan wajah datar. Kotak bekalnya bergeser sedikit saat Nia menyentuhnya dengan jari telunjuk, sengaja mendorongnya menjauh.
“Ternyata kamu anak barunya,” ucap Nia, ia tersenyum miring, lalu menambahkan dengan nada mengejek, “Kupikir spesial. Ternyata—burik.”
Siska dan Ika terkekeh di sampingnya. Mereka berdiri rapat, seakan menjadi pagar pelindung ratu mereka.
Rili bersandar ke kursi, melipat tangan di dada. “Kalau kalian nggak suka, lebih baik pergi. Jangan ganggu aku.” Nada suaranya datar, tidak ada rasa takut sedikit pun dengan ratu sekolah itu.
Tiga siswi itu saling pandang sebelum tertawa bersamaan. Siska maju sedikit, menepuk bahu Rili dengan kasar. “Hei, kami ini kakak kelasmu. Setidaknya bersikap sopan.”
Ika kemudian menimpali, “Kayak nggak dididik orang tua, ya? Jangan-jangan memang nggak pernah diajarin apa-apa di rumah.”
Mendengar perkataan mereka barusan, seperti mendengar kata lelucon bagi Rili. Ia hampir tertawa dibuatnya. Mereka tidak tahu, didikan Gianto lebih keras darinya, juga didikan dalam kehidupannya lebih kejam darinya.