Langit sudah gelap, orang-orang sudah pada menutup rukonya dan pulang. Tapi masih ada beberapa yang buka, menyala lampunya. Di tengah-tengah ruko yang mengelilingi, Sekar duduk di atas meja tak terpakai, mungkin bekas orang jualan pagi tadi.
Di tangan kanannya kini sudah ada sebatang rokok yang menyala, dan sebungkus rokok mild di saku jaketnya. Tak usah ditanya dapat dari mana rokok itu, sudah pasti jawabannya dari tiga pria sangar itu.
Sekar tersenyum, sesekali menghisap rokoknya, memandangi tiga pria yang duduk di kursi. Ia membayangkan seorang ratu duduk di kursi bertahta, di hadapannya ada tiga budak sialan yang memohon ampunan kepadanya.
Tiga pria itu menunduk, masing-masing di wajahnya terdapat luka lebam yang masih segar, “Aku itu cuma minta rokok, bukan berkelahi.” Sekar terkekeh, ia menghisap rokoknya dan menyebulkan asapnya ke udara, “Kalau tadi kalian kasih aku rokok, muka kalian tak akan jadi seperti ini.”
Ketiga pria itu masih menunduk, mereka seolah bersumpah pada siapapun. Kehadiran perempuan ini membawa kesialan. Pastinya mereka menyesali, kenapa harus meladeni perempuan itu. Harusnya kasih dia rokok, biarkan dia pergi saja, tanpa harus meladeninya yang menguras banyak energi dan pada akhirnya remuk juga.
“Mbak ini sebenarnya mau kemana? Nanti kami antar.” Pria gondrong yang duduk di kursi sebelah meja yang diduduki Sekar bertanya kepadanya. Di hadapanya ada pria yang tergores hidungnya, dan di sebelah kiri pria berkupluk hitam.
Sekar menyemburkan asap rokoknya ke udara, wajahnya sedikit mendongak, menatap rendah tiga pria itu, “Aku mau pulang, rumahku di Bertais.” Sekar tersenyum dengan senang hati menerima tawaran itu, iung-itung tidak mengeluarkan ongkos lagi buat sampai ke rumah.
Pria Gondrong menatap temannya yang tergores hidungnya. Temannya itu memberikan isyarat untuk segera membawa pergi perempuan pembawa sial itu. Mereka masih saling bertatap, berdiskusi kecil siapa yang akan mengantar Sekar pulang? Pria yang hidungnya tergores menolak, pun pria berkupluk hitam juga menolak.
Sekar turun dari meja, membuang putung rokok yang hampir habis ke lantai, kemudian terinjak oleh sepatunya, “Jadi gimana, mau ngantar aku pulang?”
Ketiga pria itu masih berdebat, soal siapa yang akan mengantarkan perempuan itu pulang, lengan demi lengan saling bersenggolan, hingga membuat Sekar menguap menunggu keputusan terakhir dari mereka.
“Tawaran yang udah diterima oleh seseorang yang ditawarkan itu udah menjadi janji, dan janji adalah hutang. Jadi jika sampai di antara kalian tak ada yang mau ngantarkan aku pulang, itu artinya kalian punya hutang sama aku.”
Begitulah kata Sekar, yang akhirnya pria gondrong mengambil keputusan untuk mengantarkannya pulang. Itu adalah keputusan terbaik, dari pada ia harus terus berurusan dengan Sekar selama hidupnya.
***
Namanya Sekar Rahayu Dewi, anak keturunan keluarga Jawa. Ia pindah tinggal di Mataram sejak masih berusia satu tahun, dibawa ke Mataram karena Gianto kakeknya berdinas di Mataram sebagai kepala sekolah di salah satu sekolah menengah pertama negeri.
Juga kebetulan bapaknya bertugas di Polres Kota Mataram. Namun setelah kekacauan menimpa keluarganya, seorang bapak dan ibunya pergi meninggalkan rumah. Sejak usia dua tahun, Sekar diasuh olek kakeknya bernama Gianto dan neneknya yang bernama Naning.