Rumah Tak Berpintu dan Jendela

Setia S Putra
Chapter #4

Empat

Saat itu Rili duduk di ruang tamu. Tangannya meremas ujung celana, kepalanya tertunduk seakan ingin bersembunyi dari sebuah tatapan tajam menusuk. Suasana tegang menyelimuti ruang tamu itu, sementara Gianto berdiri di hadapannya. Suara parau, membentak kerap kali keluar dari mulut lelaki tua itu. 

“Kamu itu perempuan, jaga sikapmu! Bikin malu saja!” serunya, menatap tajam anak gadisnya.

Rili tak menjawab apa-apa. Bibir bergetar menahan sumpah serapah sekuat tenaga hingga matanya berkaca-kaca. Gianto tidak berhenti mencerca, kalimat berikutnya pun menyusul dengan lebih kejam, “Mau jadi perempuan apa kamu kayak gini sikapnya?”

Untuk kesikan kalinya Rili harus menahan rasa sakit, karena merasa tidak pernah dimengerti. Rili mengangkat wajah secara perlahan, berusaha sekuat mungkin menahan air mata yang hampir jatuh, “Aku nggak mau berantem, Pak. Mereka yang ganggu aku duluan. Tapi kenapa Bapak selalu nyalahin aku?”

“Ngelawan kamu?” Gianto mendengus, menegakkan tubuhnya lebih kaku. Tangan kanannya terangkat setengah, jemari mengepal kuat, giginya terkatup rapat. Wajahnya memerah, matanya berkobar. Sekilas, tampak jelas dorongan untuk menampar putrinya.

“Cukup, Pak!” Naning yang sejak tadi berdiri di dekat pintu langsung melangkah cepat, segera menahan pergelangan tangan suaminya, kemudian menyuruhnya pergi ke kamar atau ke dapur untuk menemui ayam-ayam peliharaannya.

Gianto menarik napas kasar. Dengan wajah masam, ia mengibaskan tangan, lalu berbalik meninggalkan ruang tamu. “Urus anakmu itu,” katanya sebelum langkah beratnya menjauh.

Keheningan jatuh setelah itu. Tangis yang sejak tadi ditahan Rili akhirnya pecah juga. Bahunya terguncang hebat, kedua tangannya menutupi wajah. Naning duduk di sampingnya, merangkul bahu anak gadisnya, lalu menarik kepala Rili ke bahunya. Telapak tangannya yang keriput membelai lembut rambut hitamnya.

“Sudah, Li... Sudah...” bisiknya, jemarinya sesekali mengusap pipi Rili, menghapus air mata yang terus mengalir.

Rili hanya bisa terisak saat itu. Setiap kali konflik seperti ini terjadi, perasaan kecewanya kembali muncul. Ada luka yang belum sembuh di hatinya, yang membuatnya selalu merasa disalahkan. 

“Mamak tahu kamu masih simpan kecewa itu. Tapi kamu harus jaga emosimu. Kalau kamu ingin buktikan diri, tunjukkan dengan cara yang benar.” Naning menghela napas panjang, terus membelai rambut Rili.

Rili menoleh sedikit, masih dengan mata yang basah. Ia tidak membantah lagi kali ini, hanya bisa diam, membiarkan ibunya terus mengusap rambutnya hingga tangis itu perlahan mereda. Sekeras apa pun Rili, ia adalah anak yang tunduk dengan kedua orang tuanya. Apa lagi dengan Naning, ia selalu menjelma menjadi sebagaimana layaknya seorang anak gadis yang selalu minta dimanja.

Namun bagaimana Gianto tidak marah dengan anak gadisnya, baru seminggu Rili masuk sekolah SMA barunya, namanya sudah dipanggil oleh pihak sekolah. Kali ini masih seperti di sekolah lamanya, ia dipanggil karena Rili terlibat perkelahian. Dan, itu sudah kejadian kedua kalinya. Yang pertama terlibat perkelahian dengan Arga dan teman-temannya di kelas, kemudian terlibat lagi perkelahian dengan Nia dan dua pengikutnya di kantin. 

Setiap kali Gianto datang ke sekolah dengan wajah jengah, kerutan di dahinya semakin ketara, rambut putihnya tampak lebih acak-acakan. Ia duduk berhadapan dengan Kristian, guru konseling yang sudah dikenalnya lama. Mereka berdua sudah sering bertemu, dan hubungan mereka cukup dekat.

“Gini aja, kalau dia berulah lagi di sekolah. Jangan segan-segan untuk menghukumnya!” kata Gianto ketika itu. Ia tidak menunjukkan belas kasih sama sekali, justru berharap pada Kristian atau pihak sekolah lainnya untuk lebih keras menertibkan anaknya. Kristian hanya mengangguk patuh pada Gianto.

Pada kasusnya, Rili berkelahi dengan tiga kakak kelasnya—Nia, Siska, dan Ika. Peristiwa itu terjadi di kantin, di hadapan banyak siswa. Kristian dan Sarah, guru konseling langsung turun tangan. Mereka membawa keempat murid itu untuk dimintai keterangan. 

Ruang itu berukuran sedang dengan sofa berwarna abu-abu yang disusun berhadapan. Rili duduk dengan sikap tegak, dagu terangkat, ekspresi wajahnya menantang. Ah, baginya ruang konseling bukan untuk penyelesaian masalah, melainkan tempat untuk introgasi sebuah kasus bagi murid di sekolah. 

Maka itulah, kebanyakan siswa takut masuk ruang konseling, karena setiap siswa yang masuk ke ruang konseling selalu dianggapnya sedang berkasus, dan tidak banyak pula keluar dengan mengemban sebuah hukuman.  

Ketika itu di hadapan Rili, ada tiga kakak kelasnya. Nia menunduk tampak pucat sekali, sesekali meringis sambil memegangi punggungnya. Siska masih menyeka pipinya yang membiru, sementara Ika hanya diam, wajahnya pucat. 

Kristian dan Sarah duduk di ujung, menjadi penengah. “Rili,” kata Sarah, “Kamu boleh menunjukan kemampuan bela dirimu, tapi jangan dilikungan sekolah. Tempat ini bukan arena buat baku hantam.”

Dan, Rili malah menjawab, “Kalau begitu, boleh kan aku balas di luar sekolah?” Begitulah, dan suasana ruangan mendadak kaku. Rili menunjuk Nia dengan telunjuknya, “Kalau masih berani ganggu aku lagi, tunggu di luar sekolah! Aku akan menghajarmu!”

Kristian terdiam, dan Sarah juga tak sanggup menajawab apa-apa. Keduanya saling bertukar pandang, lalu bersandar ke kursi. Mereka tidak menyangka anak kelas sebelas ini bisa berbicara setegas itu. 

Nia yang biasanya selalu tampil dengan penuh rasa percaya diri, kali ini berhasil dibuat pucat, berkali-kali matanya menghindari tatapan Rili. Sedangkan Siska masih menunduk, mencoba menutupi luka lebam di pipi dengan tangan. Sementara Ika, yang sedari tadi tak banyak bicara, hanya menunduk dengan jemari saling meremas di pangkuan. 

Lihat selengkapnya