Sekar memandang depan gerbang gedung sekolah Dianta, terdapat murid-murid sudah berangsur berjalan keluar dari gerbang. Ada beberapa murid dijemput oleh orang tuanya, ada yang menggunakan sepeda motor, ada juga yang menggunakan mobil. Melihat pemandangan itu, membuat dada Sekar merasa sesak, ia merasa dadanya terbakar dengan kobaran dendam.
“Itu mereka udah pulang.” Sekar menunjuk murid-murid Dianta yang sudah mulai berangsur meninggalkan gedung sekolah.
“Itu kelas sebelas, kelas dua belas bentar lagi,” jawab Arga.
Sekar mendengkus lelah menunggu, ia tak sabar ingin menghajar orang. Ditambah pemandangan beberapa wali murid yang datang menjemput anaknya, Sekar semakin geram dengan pemandangan itu.
Tak lama menunggu, akhirnya murid-murid kelas dua belas berangsur keluar dari gedung SMA Dianta. Arga, Sekar, dan tiga anak laki-laki yang masih duduk di atas motor memandang kearah gerbang itu.
“Tunggu ada tiga anak, menaiki sepeda motor vespa tua masuk ke gang sebelum sekolah itu. Kau bisa pergi,” kata Arga kepada Sekar, dan diangguki oleh gadis yang sudah kehabisan kesabarannya. Tampaknya mereka masih menunggu seseorang, hanya empat laki-laki itu yang tahu siapa mereka.
Akhirnya, setelah Sekar menginjak putung rokoknya yang hampir saja menyentuh gabusnya. Tiga orang yang ditunggu-tunggu muncul juga, berisik suara mesin vespa tua terdengar dari tempat Sekar dan empat anak laki-laki itu menunggu.
Mereka mengawasi tiga anak yang berseragam khas keluar dari gerbang sekolah menggunakan vespa tua, memasuki sebuah gang kecil sebelah gedung SMA Dianta. Arga menatap Sekar, seperti memberitahu itulah mereka.
Dan dalam tatapannya seperti menyuruh Sekar untuk segera pergi. Sekar mengangguk, paham maksudnya. Perempuan itu segera melepas jaket yang menutupi seragam khas SMA Dewanta, kemudian berjalan seorang diri ke arah gedung, dan kemudian berbelok ke sebuah gang sebelum gedung sekolah.
Arga pun membakar sebatang rokoknya lagi.
***
“Kenapa nah, mereka seperti itu?” tanya Sekar saat duduk di sebuah warung kopi tak jauh dari sekolahnya. Di warung itu, Sekar sembunyi-sembunyi merokok, sampai ia masuk ke dalam kamar Karmi. Sang pemilik warung mengijinkan anak-anak masuk ke dalam kamarnya untuk merokok, supaya tidak ketahuan oleh gurunya.
“Mereka itu anak-anak kelas dua belas. Mereka seperti itu, karena dulu pacarnya Yulio direbut dan dihamilin oleh siswa anak Dewanta. Kasus itu sempat ramai dibicarakan di sekolah ini, bahkan videonya tersebar kemana-mana. Nah dari situ, Yulio dan teman-temannya dendam dengan anak Dewanta. Setiap kali murid Dewanta lewat jalan itu selalu dihadang oleh mereka. Mereka akan mengeroyok jika yang lewat laki-laki, dan akan merampas barang-barang jika perempuan yang lewat.” Seperti itu Udin menjelaskan.
“Kok bisa begitu nah? Padahal yang bermasalah hanya salah satu siswa aja, tapi yang kena semuanya.”
“Sama-dah seperti kau, Sekar.” Arga menatap Sekar, “Kau punya dendam pada salah satu orang, tapi kau menghajar semua orang yang jelas tak tahu apa-apa masalahmu.”
Sekar menyebulkan asap rokoknya ke wajah Arga, membuat Arga harus mengibas-ngibas asap rokok yang mengepung di wajahnya, “Kau jangan sok tau dendamku. Isshh, aku tak mau disama-samakan dengan mereka. Mereka melampiaskan dendam yang belum tentu bersalah, tapi aku melampiaskan dendam pada mereka yang berani berulah denganku.”
***
Sekar berjalan mencangklong ransel dengan sebelah tangannya, di sebuah gang sepi, tempat yang disebut-sebut anak-anak Dianta berada. Di sepanjang gang itu, ia masih belum menemukan keberandaan mereka.