Rumah Tak Berpintu dan Jendela

Setiawan Saputra
Chapter #7

Tujuh

Sekar hanya menyukai pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, selain itu tidak ada pelajaran yang ia sukai apa lagi matematika, ia selalu cabut ketika ada jadwal pelajaran itu. Entah itu keluar dari sekolah bersama empat teman laki-lakinya, ataupun hanya berdiam diri di kamar mandi sambil menghabiskan rokok.

Ujian mata pelajaran bahasa Inggris, adalah kesukaannya. Sekar sangat mahir berbahasa Inggris, atas ajaran Gianto sejak masih SD. Nilainya pun tak pernah turun sampai saat ini. Bahkan, Sekar pernah melayani turis asing yang berkunjung di warung kopinya Naning. Turis itu sangat puas dengan pelayanan Sekar yang sangat ramah, ia berbicara dengan sangat lancar dan tertata. Turis asing pun dibuat terkesan olehnya.

Nilai ujian Bahasa Inggris Sekar memang tidak pernah mengecewakan, malah nilainya tertinggi di antara satu kelasnya. Dan menempati nomor dua di SMA Dewanta kelas sebelas soal nilai ujian Bahasa Inggris.

“Hanya pelajaran ini yang nillainya masih bertahan, dibanding pelanjaran-pelanjaran lain.” Gianto berkomentar, saat Sekar menunjukan nilai ujian Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang mendapat nilai sembilan puluh.

Sungguh Sekar tidak suka dengan komentar kakeknya, setidaknya ia sudah bisa mempertahankan nilainya dengan baik. Tapi jika dibandingkan Sekar waktu SD hingga SMP, nilai raportnya jauh lebih baik dibandingkan Sekar saat di SMA.

Waktu ia masih SD, Sekar selalu mendapat nomor satu, dan paling buruk dua. Tidak pernah sekalipun mendapat nomor tiga atau di bawahnya. Namun ketika sebuah kenyataan menampar Sekar, waktu ia masih duduk di bangku kelas delapan. Sejak itulah nilai-nilai mata pelajaran Sekar di sekolah turun menukik.  

“Ini semua gara-gara bapak, coba aja kalau bapak tak seperti itu kepadaku, aku tak akan jadi seperti ini.”

“Sudah, Kar. Jangan-dah terus-terusan seperti itu, aku ingin kamu seperti dulu lagi. Lagi pula itu bapakmu, tak boleh dendam padanya.”

“Dia sudah tidak pantas lagi dianggap bapak.”

***

Arga tiba-tiba teringat sesuatu saat hendak duduk di bangkunya, ia pun kembali menghampiri Sekar, “Nanti ikut yuk, ke rumahnya Niko?”

“Mau bikin apa disana?”

“Niko ulang tahun, kebetulan orang tuanya pergi ke Bali. Kita diundang ke rumahnya, buat merayakan ulang tahunnya.”

“Boleh dah.” Sekar berseru, kedua matanya berbinar riang.

“Kalau kamu ikut, nanti aku jemput.”

Nah¹.”

Arga pun tersenyum, walaupun tidak mendapatkan senyuman dari Sekar. Ia tidak peduli, yang penting ia sudah memberikan senyuman untuknya. Arga kembali duduk ke bangkunya, sibuk menyalin tugas dari buku tulis milik Sekar ke buku tulisnya.

Udin dan Hari baru saja datang, kedatangan mereka langsung heboh dengan tugas Bahasa Indonesia yang belum dikerjakan. Dengan buru-buru mereka pun langsung berkumpul di bangku Arga, yang sedang menyalin tugas Bahasa Indonesia dari buku tulis milik Sekar.

Tak hanya empat anak itu, murid-murid lain yang merasa belum mengerjakan tugasnya juga turut menyalin. Setelah Arga selesai menyalin tugas, buku tulis Sekar langsung dipinjamkan ke anak lain yang mau menyalin tugasnya. Buku tulis itu pun berpindah-pindah, dari tangan satu ke tangan lainnya. Mereka bergiliran menyalin tugas.

***

Api dipatik menyala membakar ujung tembakau, Sekar mengisap rokoknya dalam, kedua pipinya mengempis. Api itu semakin menyala membakar ujung tembakau, asap-asapnya keluar membumbung ke udara memenuhi ruangan kecil.

Arga duduk bersandar tembok beralas karpet, piring-piring kotor masih bergeletakan di atas karpet itu, “Kamu yakin mau minum?” Arga menatap Sekar.

Lihat selengkapnya