Rumah Tak Berpintu dan Jendela

Setiawan Saputra
Chapter #8

Delapan

Sekar menatap Arga, parasnya pasi, matanya memerah, rambutnya acak-acakan. Sama seperti seragamnya yang kusut menggulung di dalam tas, “Pelan-pelan aja kalau minum.” Sekar membangkitkan tubuhnya kembali tegak, meraih sebungkus rokok mild, mengambilnya satu dan membakarnya.

Sesaat Sekar menyemburkan asapnya ke udara, seraya menyandarkan kepalanya kembali ke tembok. Saat ini mereka berada di atap rumah Udin, pandangan mereka mengarah ke hamparan atap-atap rumah, sesekali melihat pura dan beberapa atap masjid di kejauhan sana. Mungkin sekitar lima kilo meteran untuk menjangkau masjid dan pura itu.

Sekar mengambil botol bir, membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke sloki berukuran tiga ratus tujuh puluh mili. Ia pun segera meminumnya dengan sekali tenggukan. Arga dan kedua anak laki-laki hanya diam melihat Sekar melakukan itu.

Sekar menuangkan lagi bir ke dalam sloki, lalu memberikannya kepada Arga. Ia pun membangkitkan tubuhnya, menerima sloki dari Sekar dan meminumnya. Sekar melakukannya lagi, sama apa yang ia lakukan pada Arga. Ia pun memberikan sloki kepada Udin dan Niko yang telah ia tuangkan bir secara bergantian.     

***

“Aku ini anaknya siapa sih, Om?” Seorang gadis kecil bertanya pada seorang pria bertubuh ramping sedang membawa sepiring nasi jangan kangkung dengan lawuk ikan pindang.

“Kamu itu yo anake Pak Hendro to¹.” Pria bertubuh ramping itu bernama Prasetyo, mengambil sesendok nasi bersamaan dengan kangkung dan beberapa cuilan ikan pindang yang sudah dipastikan bersih dari tulang. Hendak mengirimkan satu suapan ke mulut seorang gadis yang sedari tadi tidak bisa berhenti berbicara.

Prasetyo adalah adiknya Hendro, yang barusan disebut namanya untuk menjawab pertanyaan sang gadis. Dia anak ke empat dari lima bersaudara, Hendro adalah kakak ke dua yang paling tua di antara empat saudaranya.

Prasetyo tahu persis, bahwa Sekar adalah anak satu-satunya Hendro dari istri pertama. Prasetyo tahu persis, kasih sayang Hendro terhadap Sekar waktu masih bayi. Ia sering kali melihat Hendro menggendong Sekar berjalan kesana-kemari sepulang kerja.  

“Tapi bapak kasarnya sama aku.” Gadis itu memanyunkan bibirnya, pipinya mengembung, karena di dalamnya masih ada nasi yang belum ditelan, “Tidak seperti Dito, bapak baik, sayang banget sama Dito. Bapak sering belikan mainan banyak, sekalinya aku minta malah dimarahin.” Dito yang disebut-sebut, adalah anak laki-lakinya Hendro yang pertama, dari istrinya yang kedua.

Prasetyo menghela napas, mendengar omongan si gadis itu. Ia tidak tahu harus bagaimana untuk si gadis, ia tidak tahu lagi bagaimana caranya membujuk kakaknya menerima dan merawat Sekar dengan baik, setara dengan ia merawat anak laki-lakinya sekarang.

“Bapak keras sama kamu, karena bapakmu sayang sama kamu.” Prasetyo mencoba tersenyum, “Kamu anak pertama, bapakmu mendidikmu keras itu demi kebaikanmu kelak.” Ia kembali mengambil sesendok makanan dari piring, dan mengirimkan satu suapan lagi kepada Sekar.        

“Harusnya bapak yang nyuapin aku, bukan om.”

Prasetyo menghela napas agak panjang, menggelengkan kepala, tak kuasa melihat kedua mata gadis itu berkaca-kaca. Ia ingin memeluk dan menggendong gadis itu, sesekali terbelesit keinginan untuk mengangkatnya menjadi anak. Tapi Prasetyo harus berpikir lagi, ia tidak mau ada resiko kerenggangan hubungan dengan kakaknya sendiri.

***

Di ujung kamar mandi, kedua tangan Sekar memegang tembok, kepalanya menunduk ke bawah, memandang lubang saluran air. Kepalanya maju mundur, dan dengan sekali dorongan dari kerongkongan, semua isi dari perutnya naik dan keluar deras dari mulutnya. Tubuhnya melemas, pandangannya kabur, benda-benda yang ia pandang terasa bergerak dan berputar.

“Argaa..” Sekar berteriak, langkahnya gontai sesekali bersender ke tembok.

“Niko..” Teriaknya lagi, “Udin..”

Tak lama ketiga anak laki-laki datang dengan langkah gontai, menahan kepalanya yang sudah mulai berat. Mereka melihat Sekar yang duduk bersandar pintu kamar mandi, rok seragamnya basah terkena beceknya kamar mandi.

Arga segera mendengkat, merangkul Sekar. Berusaha sekuat mungkin mengangkat Sekar untuk berdiri. Udin membantunya dari sisi kiri, juga memberi sedikit tenaga membantu Sekar berdiri.

Lihat selengkapnya