Suara bel sekolah yang ditunggu-tunggu para murid akhirnya berbunyi, murid-murid berhamburan keluar dari kelasnya menyerbu kantin. Sepertinya mereka sudah lapar. Mereka tak seperti Sekar, dan Sekar tak seperti biasanya.
Sudah beberapa hari ini, Sekar keluar dari kelasnya selalu belakangan. Menunggu ia benar-benar lapar baru beranjak ke kantin, bahkan tidak ke kantin sama sekali. Tidak makan, tidak juga ngemil.
Entah kenapa, teman-temannya juga tidak paham dengan sifat Sekar yang berubah akhir-akhir ini. Sekar lebih memilih menyendiri dan diam tanpa banyak kata dan tanya, setiap pertanyaan selalui diangguki, entah itu iya atau tidak jawabannya. Sekar hanya mengangguk saja.
Sakit hatinya kembali terasa perih, dendam pada jiwanya kembali membara. Sekar tidak terima, harga dirinya jatuh tergilas oleh lampiasan-lampiasan dendam dari seseorang yang semestinya tidak harus ia dapatkan. Sekar tidak mengerti, apa yang sebenarnya dilakukan oleh orang masa lalunya, yang membuat seseorang yang dulu menyayanginya tega memoleskan luka pada hatinya.
“Kalau aku tak segera menyeret Sekar dari tempat itu nah, muka Yulio pasti akan lebih hancur. Bahkan bisa mati itu anak.” Saat itu Arga dan ketiga temannya duduk bersandar di balik ruang kelas sambil merokok. Disana hanya ada empat anak laki-laki, tidak ada Sekar, “Sekar menghajar anak itu seperti membalaskan dendamnya pada seseorang.”
“Sebenarnya Sekar dendam sama siapa?”
“Aku tak tau, Din. Sekar tak pernah mau cerita.”
“Kalau kita tau siapa orang itu, kita bisa cari sama-sama, Ga.”
“Sayangnya Sekar tidak mau cerita, Din. Jadi kita tak tau siapa orang itu,”
“Semenjak kejadian itu, Sekar jadi berubah.” Hari duduk besandar di tembok pembantas sekolah, menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke udara, “Yulio memang bajingan anaknya. Perkara dendam pacarnya dihamili, semua siswa Dewanta terkena balasannya.”
“Mungkin jika dendam tak bisa terbalaskan, Har.” Arga melepaskan asap rokoknya dari mulut, asap itu membumbung ke udara, “Orang itu akan melampiaskan dendamnya pada semua orang, tak jauh berbeda dengan Sekar.”
***
Banyak perubahan dalam diri Sekar, semua teman-teman satu kelasnya merasakan itu. Bak musim yang berubah sebegitu cepat, mereka tidak siap menerima perubahan sifat pada salah satu temannya.
“Ada apa denganmu, Sekar? Kenapa tak kau kerjakan tugas Bahasa Indonesia?” Kristian guru bimbingan konseling juga merangkap sebagai guru Bahasa Indonesia kini sedang mempertanyakan Sekar, yang tidak mengerjakan tugas membuat puisi yang diberikannya.
Sekar saat itu berdiri di samping meja guru, tatapannya kosong tertunduk pada buku tulis yang kosong. Kristian juga menyadari perubahan sifat Sekar saat itu, ia tidak tahu apa penyebabnya. Seorang guru hanya bisa menuntut murid mengerjakan tugasnya, tanpa harus mengerti apa yang terjadi pada muridnya. Begitulah yang dipikirkan Sekar.
“Pak Kris kenal dekat sama kakekmu.”
“Saya lupa, Pak. Kemarin ketiduran.”
Kristian hanya mengangguk-anggukan kepala, menerima alasan Sekar yang tidak semestinya. Ia pun menutup buku tulis kosong itu sambil berkata, “Pak Kris berikan kamu keringanan. Kerjakan lagi tugas puisinya, dan harus dikumpulkan di pertemuan berikutnya.”
Sekar mengangguk pelan, menerima buku tulisnya dari tangan Kristian, kemudian duduk di bangkunya. Kristian pun melanjutkan pelajaran, kini ia memberikan materi ajar rancangan poin utama dari rangkain kerangka karangan.
Dari materi pembelajaran yang diberikan Kristian, sudah dipastikan tidak ada satu pun yang masuk ke dalam kepala Sekar. Bukan ia ikut ribut dengan murid-murid bangku belakang, tetapi ia hanya diam. Tatapannya kosong, buku tulisnya pun juga kosong. Tangannya enggan menulis, hanya jemarinya memainkan bolpoin memutar-mutarkannya di antara jemari-jemari.