Rumah Tak Berpintu dan Jendela

Setiawan Saputra
Chapter #12

Dua Belas

Ketika murid-murid berhamburan keluar menuju kantin, Sekar masih tetap berada di kelas sendirian. Kala dipastikan tidak ada murid di kelas, Sekar menenteng ranselnya menuju jendela.

Terpandang di luar jendela ada tembok pembantas sekolah, jalan kampung kecil, dan pekarangan tanah kosong di seberang jalan itu. Sekar melemparkan ranselnya sekuat mungkin untuk menjangkau pekarangan tanah kosong.

Lantas ia pun pergi ke belakang kantin, memanjat susunan meja-meja yang biasa digunakan murid-murid cabut dari sekolah. Ia pun dapat menjangkau tembok pembantas sekolah yang di atasnya terdapat kawat-kawat berduri yang sebagian sengaja dipatahkan oleh salah satu murid. Entah siapa itu, dan yang pasti tujuannya untuk kabur dari sekolah.

Sekar pun melompat dari tembok yang tingginya sekitar 4 meter, sudah biasa melompati tembok itu. Sekar adalah pemanjat yang handal, dan pelompat yang baik. Setelah berhasil keluar dari sekolah, ia pun segera mengambil ranselnya di pekarangan tanah kosong, yang tak jauh dari tempatnya melompat.

***

“Nanti ada pelajaran Bahasa Indonesia, Kar. Pak Kris nanti nyariin kamu, kalau kamu tak masuk sekolah.”

“Biarin, aku males sekolah.” Sekar menyebulkan asapnya memenuhi kamar Karmi.

Pagi itu sebelum bel masuk sekolah, masih seperti biasanya Sekar datang di Warung Karmi, ditemani oleh empat anak laki-laki seperti biasanya. Memesan kopi dan membeli sebungkus rokok mild.

Sekar sembunyi di kamar Karmi untuk merokok, supaya tidak ketahuan dengan guru yang kadang-kadang mengadakan patroli ke warung-warung sebelah sekolah. Sehari sebelumnya, guru kesiswaan Pak Gede berhasil meringkus lima murid yang merokok di Warung Karmi.

Lima siswa itu diberi hukuman merokok kretek di tengah lapangan. Hal itu membuat Sekar selalu waspada, jika ada guru tiba-tiba masuk ke warung. Ia tidak bisa membayangkan ketika dirinya ketahuan merokok di warung sebelah sekolah.

“Aku tak bisa ikut bolos, Kar. Nanti ada IPS, aku udah ditandai sama Bu Siti.”

Sekar mengangguk tersenyum, “Tak ada yang memintamu bolos, Ga.”

“Aku pun udah ditandai Bu Siti nah. Tak enak-dah kalau bolos lagi,” kata Niko dan diangguki oleh Hari.

“Kalau gitu biar aku aja yang temenin kamu, Kar.” Lima anak langsung memandang Udin, setelah barusan ia berkata seperti itu.

“Kau yakin?” tanya Arga.

“Yakin, lagian aku belum punya masalah sama Bu Siti.”

“Justru itu, jangan cari masalah.” Arga melemparkan potongan kulit kacang ke muka Udin.

Udin hanya tertawa, “Kan kalian udah dapat masalah sama Bu Siti, sedangkan aku belum. Supaya kita sama-sama punya masalah sama beliau, jadi aku bolos aja hari ini.” Kamar Karmi pun langsung dipenuhi tawa oleh lima anak itu.

Jam masuk sekolah kurang lima belas menit lagi. Arga, Niko, dan Hari rencana mau menyisakan lima menit sebelum masuk. Mereka pun membakar sebatang rokok lagi sebelum masuk sekolah, sembari membicarakan hal-hal lain, sesekali gelak tawa mereka terpecah di kamar Karmi.     

***

Kini semua siswa satu kelasnya dan bahkan satu sekolah tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada Sekar. Kabar itu datang mengejutkan penjuru sekolah SMA Dewanta, kabar yang tidak disangka, mereka seakan tak percaya mendapat kabar seperti itu.

Udin duduk cemas di bangku kelasnya, tangannya yang mengepal memukul-mukul pelan pada keningnya. Ia berpikir keras mencoba untuk berlari dari sebuah penyesalan atas sesuatu yang terjadi pada Sekar.

Lihat selengkapnya