Rumah Tak Berpintu dan Jendela

Setiawan Saputra
Chapter #17

Tujuh Belas

Sekar sore itu sedang mengikuti program kegiatan creativity afternoon yang diadakan di rumah rehabilitasi. Setiap hari Sabtu sore di sebuah ruangan, konselor menyediakan alat-alat yang diminati para residen untuk mengasah kemampuan bakatnya.

Hal itu diupayakan untuk merefresh para residen dari kejenuhan atas kegiatan sehari-hari, selama hari Senin hingga Jumat. Alat-alat yang disediakan disana seperti gitar, bagi residen yang ingin bermain musik juga menyanyi. Ada kanvas dan kuas dan cet lukis, bagi residen yang suka menggambar. Ada alat tulis menulis, untuk residen yang punya hobi menulis, dan bagi residen yang punya hobi memasak dipersilakan bergabung dengan petugas di dapur untuk ikut membantu memasak.

Saat itu tidak ada hal yang diinginkan bagi Sekar. Dia tidak bisa memasak, jenuh dengan hal menulis, tidak bisa bermain musik, apa lagi saat ia bernyanyi suaranya jelek. Hal yang sering ia lakukan sebelum masuk rumah rehab adalah berkelahi, tapi tidak mungkin ia lakukan itu di sana.

Sekar pun mengingat-ingat lagi, hal yang ia sukai kala masih kecil. Sekar dulu suka menggambar, teringat waktu itu ia punya tumpukan buku gambar di lemarinya, yang isinya banyak sekali coret-coretan darinya. Mulai menggambar gunung, sawah-sawah, rumah, dan orang-orangan. Ya, walaupun gambarannya tak telalu sempurna, setidaknya Sekar menyukai hal menggambar.

Eka memberikan sebuah kanvas berserta meja dan peralatan lukis, kebetulan saat itu Sekar dan Eka mempunyai minat yang sama, yaitu melukis. Mereka pun langsung memilih tempat yang nyaman untuk mengerjakan sesuatu, di sudut ruangan, bersandarkan dinding.

“Rumah tak ada pintu dan jendela? Terus orang masuknya gimana?”

Sekar pun tertawa mendengar pertanyaan Eka barusan, “Ini nah, seperti melukis diriku sendiri.” Sekar menjawabnya, Eka pun menghadap Sekar siap mendengarkan cerita di balik lukisan Sekar, “Aku pengen pulang ke rumah bapak, pengen hidup bersamanya. Bapak adalah sosok yang paling aku sayangi, karena orang-orang bilang aku­-dah anak kesayangan bapak. Tapi sekarang bapak tidak menerimaku lagi.”

“Kenapa? Kau punya salah apa sama bapakmu?” Eka bertanya.

“Aku tak tau apa salahku, tapi seakan bapak menganggap aku penyebab kerusakan rumah tangga bapak yang dulu. Padahal aku masih kecil, aku tak tau apa-apa. Sekarang bapak tak mernerima aku pulang dan hidup bersamanya, seakan tidak ada pintu dan jendela untuk aku masuk ke rumah itu.”

Eka langsung memasang raut sedih kala mendengar cerita itu, sebuah peristiwa di balik lukisan yang dibuat Sekar, mengibakan hati Eka setelah mendengar ceritanya. Eka berusaha membentuk senyuman lagi, ia tidak ingin suasananya berubah canggung karena lukisan itu. 

 “Sekar.” Seorang konselor memanggil namanya, Sekar segera menoleh ke sang pemilik suara yang memanggilnya.

“Di tunggu keluarganya di ruang kunjungan.” 

***

Sekar mengira keluarga yang mengunjunginya itu Basuki dan Hana, jika itu benar kiranya Sekar berharap Basuki membawa makanan enak lagi seperti kemarin lusa. Karena selama di sini, Sekar selalu makan dengan menu yang membosankan.

Sayur, sayur dan sayur, minumannya pun air putih terus. Setidaknya ada salah satu camilan paling enak di sini dan Sekar sangat menyukainya, yaitu permen karet pengganti rokok.

Namun, ketika sampai di ruang kunjungan keluarga. Sekar tidak menemukan Basuki, keluarga yang mengunjunginya tidak sesuai yang dia kira. Ada seorang wanita dan seorang pria, juga dua orang tua. Dua orang tua itu Gianto dan Naning.

“Kamu bukan tanteku lagi.” Kata itu yang terucap di awal Sekar muncul di ruang kunjungan. Sekar menghadap seorang wanita yang duduk di sebelah seorang pria.

“Aku bukan tantemu, Kar. Aku ibumu.” Wanita itu berdiri menghampirinya. Tangannya hendak memegang lengan Sekar.

“Pergi dari sini.” Sekar menangkis tangan wanita itu. Semua orang yang ada di meja langsung berdiri ketika melihat tindakan Sekar.

“Sekar, aku ibumu, Nak.” Wanita itu coba membujuk anaknya agar lebih tenang.

Lihat selengkapnya