Sekar sedang menyeduhkan kopi untuk seorang perempuan yang datang di warungnya Naning, perempuan itu adalah teman baik Sekar di rumah rehabilitasi. Ya, siapa lagi kalau bukan Eka, yang sudah keluar terlebih dahulu sebulan sebelum Sekar. Waktu itu Sekar sempat memimpin kelompoknya untuk mengganti Eka yang sudah keluar terlebih dahulu.
“Nyasar kemana aja kau.” Sekar meletakan gelas kopi hitam beserta lepek di atas meja.
Eka tertawa sambil menerima segelas kopinya, “Pokoknya jauh.”
“Kok bisa, kan udah aku kasih alamatnya.”
“Mau bagaimana, cuma modal alamat di kertas ini sama namamu, tidak ada nomor ponsel dan telpon rumah. Sulit-dah carinya.”
“Ponselku hilang nah, aku juga tak tahu nomor telpon rumah.”
Memang, sebelum keluar dari rumah rehabilitasi, Eka sempat meminta alamat rumah Sekar. Awalnya ia meminta nomor ponsel atau telepon rumah, tapi ponsel Sekar hilang waktu ia ditangkap, dan Sekar juga tidak ingat nomor telepon rumahnya. Alhasil, Sekar hanya bisa memberikan alamat rumah tertulis di sobekan kertas.
“Sekar, aku mau kasih sesuatu untukmu.”
Sekar menatap Eka sedang merogoh tas kecilnya, lalu mengeluarkan selembar kertas berbahan karton yang terbungkus rapi di dalam plastik. Ia meletakan selembar kertas itu di hadapan Sekar.
“Kau mau nikah?” Sekar membaca kertas undangan itu.
Eka tersenyum dan menganggukan kepalanya dengan cepat, “Datang nah.”
Sekar membalasnya dengan anggukan kepala, “Dia cowok mana?”
“Gimana nah..” Eka diam sejenak, satu tangannya menyangga dagu dan tangan satunya mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja. Sementara Sekar diam menatap Eka, menunggunya bercerita, “Dulu memang dia udah tak peduli lagi sama aku, setelah aku ditangkap di kos-kosan. Tapi waktu itu tak sengaja bertemu dengannya di pelabuhan Lembar, dan nggak nyangka dia bilang masih cinta sama aku.”
“Jadi cowok itu udah lama kenalnya?”
Eka menganggukan kepala sebagai jawabannya.
“Kok kamu tak pernah cerita nah?” Sekar langsung menonyor pelan dahi Eka dengan jari telunjuk.
“Oke-dah, oke. Aku cerita.” Eka tertawa, sejenak mengangkat gelas kopi, dan menyeruputnya sedikit sebelum akhirnya Eka menceritakan soal calon suaminya itu, “Dulu aku hidup di Lembar, di sana kerjaanku bantu orang jaga warung kopi. Di situ-dah aku kenal sama Ardian, dia anak buah Kapal Ferry yang sering kali datang ke warung kopi itu. Setiap kali ia datang ke warung, aku selalu nemenin dia, duduk berdua saat warung sepi.”
Eka menghela napas sejenak, sambil mengingat-ingat masa-masa ia dekat dengan Ardian, “Lama-lama tak terasa aku jatuh cinta sama dia, dan dia pun juga cinta sama aku. Tapi waktu itu, aku masih banyak kekurangan di mata dia, aku masih belum bisa lepas dengan kebiasaanku merokok dan memakai sabu-sabu. Ardian sebenarnya nah, bisa ngerti kalau aku perokok, tapi kalau soal sabu-sabu dia tak bisa menerima sekalipun. Maka dari itu aku nggak pernah cerita padanya.”
“Dan pada akhirnya, Ardian benar-benar kecewa sama aku saat aku tertangkap di kos-kosan.Tapi bulan kemarin, tak sengaja bertemu dengannya lagi di pelabuhan, aku kira dia udah tak peduli lagi sama aku, tapi ternyata dia mau menurunkan egonya dan bilang masih cinta sama aku, Kar.”
Sekar tersenyum setelah mendengar cerita dari Eka barusan, ia juga ikut bahagia mendengarnya, “Kamu sangat beruntung, Ka. Bisa ketemu sama cowok yang mau menerimamu, padahal kamu mantan pecandu.”
Eka pun tertawa hingga badannya tersentak ke belakang setelah mendengar apa yang dikatakan Sekar, “Setidaknya, dia satu-satunya lelaki yang mau menerimaku, Kar. Sabar menuntunku ke jalan yang baik, dan dia bisa menjadi guru untukku, sekaligus imamku.”