Penampilan pria seperti Zendi, bukan membuat orang-orang kagum dengannya, tapi malah membuatnya seperti orang aneh. Zendi ini berasal dari Ponorogo, ia ikut sekolah masak di Bali karena utusan dari bapaknya.
Yang harapannya, Zendi bisa meneruskan bisnis rumah makan milik bapaknya di Ponorogo. Katanya, bapaknya Zendi punya usaha rumah makan sate ponorogo terbesar, yang memiliki cabang se Karesidenan Kadiri.
“Heh Kribo, katanya mau jemput aku, kok berangkat sendirian di sini?” Kedatangannya langsung menuju ke kursi yang di tempati Aji.
“Kan, aku udah bilang, Zen. Bensinku tinggal dikit.” Aji pun menjawab, “Lagian jauh banget jemput kamu dulu ke Cempaka. Sedangkan aku tinggalnya di Pecatu.”
“Alah alasan, bilang aja nggak mau jemput aku, Bo.. Bo.” Zendi terlihat kesal, ia menendang pelan kaki kursi milik Aji. Lalu ia menduduki kursi di ujung meja, berhadapan dengan Sekar.
“Kamu itu, Zen. Datang-datang bikin ribut.” Alma menegurnya, “Lagian udah dijemput Riki, kenapa sih?”
“Iya, untung aja Riki rumahnya dekat sama kontrakanku.”
“Nah, kan. Bisa dijemput Riki, kenapa harus aku yang jemput.” Aji kembali bersuara untuk mencari pembelaan dirinya.
“Kamu kan, best friend aku, Bo.”
“Aku nggak dianggap nih?” Riki yang duduk di tengah-tengah antara kursi Aji dan Zendi, dengan datarnya ia bertanya begitu pada salah satu temannya.
Zendi pun langsung kicep dibuatnya, semua orang yang ada di meja itu langsung menuding Zendi sambil berkata, “Hayooo.” Serempak mereka berseru.
“Makanya, kalau cari kontrakan itu jangan jauh-jauh. Lagi pula kamu juga punya motor, kenapa nggak dipake?” kata Aji.
“Aku udah bilang, motorku bensinnya habis. Lagian kontrakan di tempatmu mahal-mahal.”
“Katanya orang kaya.” Kini giliran Juwita yang bertanya, “Kok nggak bisa beli bensin?”
“Ya, aku harus hematlah.” Mereka pun langsung ber'oh ria mendengar jawaban itu. “Aku harus bisa mengatur keuanganku di sini, untuk kehidupanku di Bali.”
Mereka pun kembali ber'oh ria sambil mengangguk-anggukan kepala. Percaya saja apa pun yang dia katakan, daripada mereka harus mendengar ocehannya hingga tiga jam ke depan.
Sementara itu, di tengah-tengah Zendi sedang mencerocos tak henti-hentinya. Sekar pun berbisik-bisik pada Anggi. Ia berkata, “Tuh, kan. Mulai si burung kelaparan.”
Anggi cekikikan, lantas membalas bisikan Sekar, “Kasihlah dia makan, biar diam.”
“Kasih makan apa? Aku nggak bawa biji-bijian sama ulat.”
Sekar dan Anggi pun langsung tertawa setelah itu, membuat lima orang yang duduk di antara mereka berdua langsung menatap dan bertanya ‘kenapa ketawa?’ Anggi pun menggelengkan kepala, langsung menjawab, “Nggak papa.”
Setelah hampir dua jam mendengar Zendi bersabda, mereka pun akhirnya mengalihkan topik pembahasan. Alma yang memulai topik, mempertanyakan tentang acara malam tahun baru nanti. Mau kemana dan mau ngapain?
Zendi pun langsung menjawab, “Kalau bisa di malam tahun baru nanti, kita ke kafe yang mahal.”
“Berangkat-dah sendiri kalau itu.” Sekar menceletuk.