Zendi duduk di sebelah Sekar, mungkin ini momen langka bagi Zendi yang baru pertama kali duduk di sebelah Sekar. Sungguh rasanya cukup mendebarkan, dadanya seketika terasa sesak, dan Zendi berusaha mungkin untuk tenang.
“Enak, kan. Ayam bakarnya?”
Sekar mengangguk, tidak menjawabnya dengan kata. Pandangannya masih mengarah ke langit. Mulutnya mengunyah sisa potongan ayam yang ada di dalamnya.
“Pasti enaklah ya, orang yang ngeracik bumbunya anaknya juragan sate terkenal se Ponorogo.”
Sekar mendeham, mengangguk, mengigit dan mengunyah lagi potongan ayam bakar itu. Sungguh Sekar ingin sekali melemparkannya ke kolam, tapi ia urungkan niat itu.
“Sekar.”
“Hmm, apa?” Akhirnya Sekar mengeluarkan suaranya, setelah sedari tadi hanya diam.
Zendi pun tersenyum ketika baru saja mendengar suara Sekar. Sejenak ia mendeham, mengatur kalimatnya, terlihat kedua telapak tangannya saling bergesekan, memikirkan sesuatu.
“Sekar, kalau boleh jujur aku sangat menyukaimu.” Zendi berusaha mungkin memberanikan diri, untuk mengungkapkan semua yang ada di dalam perasaan hatinya. Sementara Sekar yang awalnya memandang langit, langsung turun ke kolam setelah mendengar perkataan Zendi barusan.
“Kamu itu perempuan yang kuat, tangguh, dan aku sangat men… “
Sekar tiba-tiba langsung berdiri, berjalan menjauhi Zendi yang masih duduk di situ. Zendi langsung menatap punggung Sekar yang berjalan menjauhinya.
“Kar, aku belum selesai ngomong.”
“Ngomong aja sama ikan sana.”
Sekar masih terus melanjutkan langkahnya, mengarah ke orang-orang duduk berkumpul di pembakaran. Zendi yang masih tertinggal di gazebo pun ikut berdiri, dan mengikuti langkah Sekar.
“Nggi, ayo kita pulang.”
“Loh kenapa? Kan, belum mulai tahun barunya.”
“Ngantuk.”
***
“Karr, sekalilah kamu terima cinta dari seorang cowok. Jangan kelahi terus hidupmu.”
“Kalau tak berkelahi, aku tak bisa makan.”