Rumah Tak Berpintu dan Jendela

Setiawan Saputra
Chapter #27

Dua Puluh Tujuh

Hingga akhirnya Diki dapat menangkis tangan Sekar, dan mengirim satu pukulan ke sudut bibirnya. Saat Sekar memegangi bibir, Diki punya kesempatan untuk memitingnya dari belakang.

Sekar memberontak, menggerakkan badannya ke kanan dan kiri, mendorongnya ke belakang. Namun pitingan Diki terlalu kuat, membuat Sekar sedikit kesusahan untuk melepaskan pintingan Diki. Hingga akhirnya ada salah satu cara, Sekar dapat mengangkat kedua kakinya ke tembok, lalu memberikan dorongan lebih kuat.

Sekar dan Diki jatuh bersamaan, tubuh Sekar menimpa Diki yang masih mendekapnya dari belakang. Saat itu hanya tangan kiri Sekar yang dapat digerakkan, ia langsung memanfaatkannya dengan menghajar hidung Diki menggunakan sikut.

Diki mengerang kesakitan sambil memegangi hidungnya yang sudah berdarah, Sekar terlepas dari dekapan Diki. Langsung saja Sekar berdiri dan menginjak-injak perut Diki, sesekali menendang kepalanya.

“Wooy, hentikan!”

Sekar menatap tiga orang petugas berlari ke arahnya, segera mungkin langsung bergegas pergi dari tempat itu. Dalam diri Sekar, jangan sampai tertangkap oleh petugas. Ia ingin segera pulang, dan jangan sampai waktu pulangnya terulur lagi gara-gara berurusan dengan petugas.

Sekar terus berlari menyusuri lorong-lorong, menghindari kejaran petugas yang masih ada di belakangnya. Lalu ketika ia sampai di persimpangan gang, Sekar melihat ada jalan raya di sebelah kiri. Di belakangnya, tiga orang petugas belum terlihat, mungkin masih jauh tertinggal di belakang. Sekar tadi berlari begitu kencang dan berbelok-belok masuk gang.

Dalam kesempatan itu, Sekar segera berlari ke arah jalan raya. Dalam pikir Sekar berharap, bisa menemukan jalan untuk segera pulang ke kosan dengan cepat. Sesampai kos nanti, Sekar ingin segera mengemasi barangnya dan segera pulang ke Mataram.

Namun saat sampai di jalan raya, Sekar muncul dari gang langsung berlari menyebrang. Di jalan yang lenggang dan besar itu, dari salah satu arah ada sebuah mobil grand max melaju kencang. Sekar tiba-tiba berhenti di tengah jalan ketika lampu mobil menyorot matanya.

Jaraknya antara mobil itu sekitar sepuluh meter, seorang pria yang mengemudi langsung memijak pedal rem seraya menekan klakson. Ketika jaraknya sudah sampai dua meteran, Sekar melompat ke arah mobil, lalu dengan tumpuan lengan kanannya menghantam kaca depan yang mengakibatkan kaca depan retak.

Tubuh Sekar seakan menggelinding ke atas mobil, lalu jatuh tepat di samping pintu kemudi. Sekar menelungkup di atas aspal, seperti seekor cicak jatuh dari atap. Tak lama pintu kemudi itu terbuka dan muncul seorang pria.

***

Sekar duduk di sebuah dipan dalam ruangan klinik, tangan kanannya sudah dipasang gips dan diperban. Saat ini Sekar seperti sedang menggendong tangannya sendiri. Sementara di luar, terdengar seorang pria dan perempuan petugas rumah sakit sedang berbincang-bincang.

“Jadi saya cuma butuh pertolongan sementara aja untuk anak itu. Nanti untuk perawatan lebih lanjut, biar saya antar ke rumah sakit atau klinik spesialis di Bima. Soalnya saya sedang buru-buru ini, Mbak.”

“Baik kalau begitu, Mas. Jadi ini hanya dipasangkan gips, sama saya kasih resep obatnya ya.”

“Terima kasih, Mbak.”

Tidak lama muncul dari pintu, seorang pria menyampirkan jaket hitam di bahunya, berjalan menghampiri Sekar yang masih duduk di dipan. Sekar masih belum mengenal siapa dia, sedangkan pria itu sudah tahu namanya, tadi ia sudah bertanya perihal namanya untuk urusan administrasi di klinik.

“Udah?”

“Udah.” Pria itu mengangguk, “Ayo, aku lagi buru-buru.” Ia hendak membantu Sekar berdiri, tapi tangan kiri Sekar coba melepaskan.

“Yang patah hanya tanganku, aku masih bisa jalan sendiri,” kata Sekar.

Ya wis.” Pria itu pun mengurungkan niatnya membantu Sekar, dan dengan sisa tenaganya yang sudah mulai melemah. Sekar pun berusaha untuk berdiri dan jalan sendiri.

“Habis berapa biayanya?”

Lihat selengkapnya