Rumah Tak Berpintu dan Jendela

Setiawan Saputra
Chapter #28

Dua Puluh Delapan

Matahari menyingsing searah dengan kapal ferry yang sedikit serong ke tenggara, Sekar dan Joel kini sedang duduk di sisi kiri dek kapal, menyaksikan terbitnya sang mentari di tengah Selat Lombok.

“Tadi kamu abis ngapain, kok sampai dikejar-kejar polisi?” Di waktu-waktu itulah, Joel mencoba untuk bertanya lagi.

Sementara Sekar masih diam, tidak langsung menjawab pertanyaan Joel. Sebenarnya ia enggan untuk menceritakan kejadian itu. Tapi ya sudah, karena Joel terus mempertanyakan, dan ia tampak menunggu Sekar bercerita.

“Aku habis berkelahi.”

“Berkelahi?”

Sekar mengangguk, “Aku mengikuti pertarungan bebas di sebuah bar, yang tempatnya tidak jauh dari tempat kamu menabrakku tadi.” Dan akhirnya Sekar menceritakan tentang semua kejadian itu, tentang pertarungan terakhirnya yang berujung keributan, karena tindakan yang kontroversi oleh Bara dan anak-anak buahnya.

“Kenapa kamu melakukan itu?”

“Buat bertahan hidup, sekaligus membalas dendamku.”

“Harus dengan berkelahi?”

“Karena aku punya dendam.” Sekar menoleh menatap Joel yang duduk di sampingnya, “Itu-dah alasanku berkelahi, selain mendapatkan uang.”

“Dendam dengan siapa? Dan bagaimana kamu bisa punya dendam seperti itu?”

“Panjang ceritanya.” Sekar menghela napas, ia menyandarkan kepalanya di dinding dek kapal, pandangannya menatap hamparan lautan dan gelombang-gelombang yang terbelah oleh kapal yang ia naiki, “Dendamku pada satu orang, tapi aku balas dendamku kepada orang lain, karena aku tak bisa membalas dendamku terhadap orang yang paling aku cintai.”

Lalu Sekar menceritakan semua tentang kehidupannya, mulai dari masa kecilnya yang sangat menginginkan kasih sayang kepada orang tua. Hingga kebencian seorang bapak terhadap dirinya yang tidak tahu apa-apa.

“Itu-dah kenapa balas dendamku pada orang lain, karena dia menunjukan dendamnya kepadaku, bukan kepada orang yang dia benci.”

Tak sadar sang mentari menunjukan separuh sinarnya. Dan mata Sekar saat itu sudah berkaca-kaca, sinar mentari memantul dari matanya. Di tengah itu, Joel mengeluarkan sebungkus rokok mild, ia menariknya satu dan membakarnya.

Pandangannya mengarah ke hamparan laut dengan buih-buih yang terbelah oleh lajunya kapal yang dinaiki. Joel mengangguk-anggukan kepala, mendengar dan memahami apa yang telah Sekar ceritakan tentang kehidupannya yang kelam itu.

“Aku udah berhenti dari pertarungan itu, aku ingin hidup baik-baik aja. Seperti halnya perempuan biasa.”

Joel menoleh ke Sekar, “Kenapa kamu berhenti? Apa kamu udah selesai membalaskan dendammu?”

“Belum.” Sekar menggeleng.

“Lalu?”

“Aku lelah mengejar dendam, yang membuatku semakin hancur.”

Lihat selengkapnya