Aku masih ingat percakapan bersama teman-temanku, tatkala kami menyelesaikan tugas mengarang mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan tema Suatu Hari Aku Ingin Menjadi.
“Kau yakin dengan yang kau tulis? Jadi Bidan?” tanya Maria dengan wajah tak setuju yang kentara. Matanya memelotot.
Aku mendengus tidak setuju juga dengan protesnya. “Apa yang salah dengan itu?”
“Biasanya buah itu tak jatuh jauh dari pohonnya. Harusnya kau itu seperti orang tuamu, jadi guru juga,” timpal Cakra, baru saja bergabung bersama kami dan bokongnya didudukkan di mejaku. “Kayak Mbak Erna, katanya orang tua dia di Lamongan jualan tahu isi dan bakwan. Akhirnya Mbak Erna meneruskan usaha itu,” tambahnya, tangan kanannya bergerak-gerak seperti sedang pidato.
Alisku semakin berkerut. “Apa hubungannya dengan Mbak Erna. Ayah dan ibuku sudah setuju dengan itu. Mereka tak memaksaku untuk jadi seperti mereka.”
“Yang aku lihat, kau sangat cocok jadi guru. Selain pintar kau juga mampu menjelaskan dengan baik, rapi, dan jelas. Tidak seperti Kafa,” ujar Maria masih berkeras hati.
“Terus kau?” tanyaku pada Maria, sembari mengendikkan dagu ke arahnya. “Kenapa kau mau jadi Polwan? Padahal orang tuamu pedagang.”
“Hmm ... karena aku tidak ada bakat ke bisnis,” balasnya polos.
“Aku juga merasa tidak cocok bekerja di sekolah, mengerti? Aku yakin bisa menjadi Bidan yang baik dan membantu persalinanmu nanti dengan aman.” Maria memukul bahuku keras. “Jadi kau dan Cakra akan berada di kantor yang sama nanti?” tanyaku mengejek.
Maria melirik Cakra kesal. “Rasa-rasanya waktu SD kau bilang ingin jadi TNI kayak kakekmu. Kenapa sekarang Polisi?”
“Bapakku, kan, Polisi. Aku pernah dengar cerita. Ini rahasia.” Cakra membungkukkan sedikit tubuhnya, tangan kanannya diletakan di ujung bibir, dengan berbisik ia melanjutkan,“ katanya anak Polisi itu sudah disimpankan satu kursi, seperti warisan begitulah.”
“Iih ...,” seruku dan Maria. “Nepotisme itu namanya,” tambahku sambil mendorong jidatnya dengan jari telunjuk.
Cakra terkekeh. “Itu sudah jadi rahasia umum. Tapi, yang paling tidak masuk akal itu, ya, Kafa. Masa’ dia belum tahu nanti mau jadi apa. Bilangnya mau jadi manusia yang bermanfaat saja. Padahal dengan otaknya yang seperti itu, dia bisa jadi apa pun yang dia mau. Bahkan jadi Presiden gantikan Pak Gusdur dia bisa. Ah ....” Pemuda itu refleks mengusap kepalanya.
“Berhenti mengurusi cita-citaku. Perjalanan masih panjang, semua rencana bisa berubah kapan saja,” ujar Kafa, berkacak pinggang di depan Cakra. “Apa juga itu? Ganti Presiden? Kalau sampai didengar orang luar bisa ditangkap kau.”