Matahari pagi ini menampakkan kuasanya, setelah beberapa hari kemarin warna abu mendominasi langit dan tirai-tirai hujan membasahi bumi. Aku menyukai minggu yang cerah, sebab membutuhkan panas matahari lebih dari hari apa pun untuk mengeringkan cucian atribut sekolah. Namun, pagi ini agak lain, aku sedikit mengeluh, ada kerjaan tambahan lebih rumit dari sekadar menyikat sepatu.
Ayah menyuruhku dan Liya membersihkan batu karang dari lumut, jumlahnya banyak ... sekali. Apalagi drum oli bekas yang beralih fungsi menjadi tampungan air, sedang penuh oleh limpahan air gratis dari langit. Selera Ayah memang agak unik, alih-alih mempercantik halaman rumah dengan krikil atau rumput jepang, Ayah lebih menyukai batu karang putih berbentuk kaktus untuk menambah estetika. Beliau memperoleh semua itu gratis dari pinggir pantai tak jauh dari rumah.
Gratis butuh usaha juga. Sewaktu aku dan Liya masih kecil, setiap minggu kami diajak Ayah berenang di pantai. Sebenarnya itu hanya bujukan halus agar kami antusias untuk ikut, tetapi hasil di lapangan sedikit melenceng, waktu kami hanya habis untuk mengumpulkan batu karang dan memasukkannya ke karung. Setelah karung penuh, Ayah membawanya ke rumah. Di saat itulah kami berenang sampai beliau kembali dan kami harus mengisi karung lagi. Begitu terus berulang-ulang dan beberapa minggu terlewati, hingga pekarangan rumah kami terhampar batu karang.
Kukira penderitaan kami sampai di situ saja, ternyata kami terikat kontrak dengan batu karang itu seumur hidup.
“Ayah tak punya keinginan untuk mengganti karang ini dengan rumput jepang?” tanyaku. Batu karang sudah kumasukkan ke dalam baskom berisi air, tinggal menambahkan sabun cuci dan merendamnya sebentar. “Perawatannya tidak susah.”
“Tapi rumput jepang di rumah Rara jadi WC umum kucing,” ujar Liya, melakukan hal sama denganku.
“Kita harus memanfaatkan yang gratis dari alam. Kerjakan saja. Nanti Ayah sewakan film india lagi,” jawab Ayah enteng. Padahal beliau tidak turun serta dalam kerja paksa ini, dengan alasan mau membersihkan kandang Peto—burung Nuri yang beberapa bulan lalu datang ke rumah kami dengan kaki terluka. Ayah mengobati luka Peto, kemudian membuatkan kandang dari bambu dan pelepah pohon sagu.
“Fara, kerja yang serius. Jangan pura-pura lambat.” Aku tertawa akan teguran Liya, sejak tadi mataku lebih fokus memperhatikan kegiatan Ayah tanpa memulai apa pun, sedangkan Liya sudah mengambil batu-batu karang yang baru.
“Liya, itu kumbang sagumu buang sebagian. Sudah mulai bau.” Ayah menunjuk tumpukan stoples plastik bekas astor di rak bunga bougenville Ibu, di dalamnya berisi kumbang sagu koleksi Liya.
Liya mengangkat kepala, memasang wajah protes. “Jangan. Itu aku kumpulkan bersama nenek. Kita tidak tahu kapan nenek bisa datang lagi.”
Aku membuka suara. “Itu termasuk penyiksaan binatang, harusnya mereka hidup di alam bebas. Di neraka nanti mereka akan balas dendam dan memasukkanmu ke stoples juga.”
Liya mencebik. “Iya, nanti aku ke wartel telepon nenek. Minta izin untuk dilepas.”
“Memangnya kau punya uang. Telepon interlokal itu mahal.”
Terdengar desahan napas dari Ayah. “Lepasin saja. Nenekmu pasti sudah lupa pernah mengumpulkan kumbang itu.”
Meskipun aku dan Liya lahir di sini, tapi orang tuaku terhitung pendatang di kota ini. Pengangkatan PNS Guru membuat mereka harus pindah dari Makassar dan bermukim di tempat ini. Awalnya di tanah milik kami, berdiri sebuah rumah yang dikontrakan oleh orang tuaku sewaktu awal-awal merintis karier. Pada tahun 1995 pemilik rumah menjual tanahnya pada Ayah. Terjadi kecocokan antara kedua belah pihak, akhirnya tanah ini menjadi milik kami, kemudian sedikit demi sedikit Ayah mendirikan rumah.
Setelah resmi menjadi warga kota Poso, hanya terhitung beberapa kali kami mudik ke Makassar. Selain biaya, kondisi jalan yang sering longsor membuat Ibu berpikir dua kali untuk pulang. Kami lebih banyak bersua dengan keluarga di Makassar via telepon interlokal atau surat. Namun, berbeda dengan Nenek dan Kakek dari pihak Ibu, yang hampir tiap tahun mengunjungi kami apa pun medannya. Di usia yang tua, mereka masih semangat menceritakan tentang suka duka melewati longsor, di mana mereka harus beberapa kali berganti bus untuk bisa sampai ke tempat kami. Memikirkannya saja sudah melelahkan.
“Lepas saja. Nanti kaucari yang baru lagi kalau nenek datang,” paksaku.
“Iya, Tuan Doro,” balas Liya, kesal.
“Coba tangan kalian lebih banyak kerja daripada mulut, pasti cepat selesai. Habis ini bantu Ayah menyapu halaman.”
“Astaga! Nasib jadi anak, ya, begini!” teriak Liya, sedangkan Aku dan Ayah tergelak.
Selain batu karang, hal unik lain dari Ayah adalah tanaman kerdilnya. Kali ini tidak gratis, ia membeli pada salah satu kenalan yang ahli dalam pencangkokan. Ada 2 pohon mangga ditanam di depan rumah, tapi sudah lima tahun berlalu, kami belum pernah mencicipi satu pun buahnya. Di antara pohon mangga tersebut, ada pohon jambu air putih, ini primadonanya, buahnya lebat dan sangat manis. Di halaman samping ada 3 pohon rambutan, belum pernah berbuah juga.
Kenapa pohon yang tak beruah tidak dieliminasi dari halaman kami? Kata Ayah lumayan untuk sumbangan 20 persen oksigen dan rumah jadi sejuk. Beliau sepertinya tidak memperhitungkan daun-daun kering yang berguguran atau sebenarnya tahu, tapi selama ada dua pekerja yang bisa digaji suka-suka, semua hambatan itu tak jadi masalah.
***