Tiga tahun lalu, Masjid Nurul Janah melakukan perombakan besar terhadap pengurus masjid. Sejak saat itu para remaja di sekitarnya dilibatkan, sehingga terbentuklah kelompok remaja masjid, yang diharapkan menjadi wadah dan magnet penarik pemuda pemudi agar lebih bersemangat mengunjungi masjid.
Setiap bulannya para remaja ini mengadakan kegiatan kerohanian. Pun, menyelenggarakan lomba keagamaan yakni ceramah, hafal surah, dan sambung ayat-ayat Al-Qur’an, peserta dibagi menjadi beberapa kategori umur. Pendanaan kegiatan berasal dari sumbangan para donatur masjid.
Di belakang masjid terdapat taman pendidikan Al-Qur’an yang dimulai pukul 3:30 sampai 5:30 sore. Masjid juga menyediakan kelas khusus bagi yang ingin belajar mengaji, tetapi berhalangan hadir pada jadwal resmi. Kelas tersebut lebih banyak dihadiri oleh anak-anak jenjang SMP ke atas. Ada juga para ibu dan lansia yang ingin memperbaiki bacaan mereka.
Kelas 2 SMP aku keluar dari kepanitiaan remaja masjid. Aku dan beberapa teman memfokuskan diri sebagai asisten Ustazah Winda untuk mengajar mengaji di kelas khusus tersebut. Diadakan tiga kali seminggu dan dimulai setelah salat Magrib hingga sebelum azan Isya berkumandang, akan dilanjutkan setelahnya apabila ada yang belum tuntas.
Berkegiatan di masjid bukanlah hal asing untukku, Liya, dan Kafa. Selain pernah menjadi siswa TPA, semenjak kecil kami selalu diajak Ayah salat berjemaah. Bahkan saat ayah berhalangan hadir kami bertiga tetap datang, walaupun niat awal hanya untuk bertemu teman dan bermain. Ada kalanya aku dan Liya terlalu rajin, sampai-sampai salat Jumat pun kami datang, tentu saja itu membuat Ayah kesal. Sayangnya, sekarang aku hanya hadir saat ada kelas khusus atau ketika acara besar digelar.
Aku memicing tatkala sorot cahaya menyerang penglihatanku. Lengan kiriku yang tertutup mukena refleks terangkat untuk melindungi. Sedetik kemudian suara itu terdengar. “Kelamaan, ya?” tanya Kafa.
Aku menurunkan tangan, cahaya itu sudah menuju benda lain. Aku berdiri dari bangku panjang tak jauh dari pintu masjid. “Baru selesai?” tanyaku, yang dijawab Kafa hanya dengan anggukan.
“Ayo pulang,” ajaknya sembari menuruni tangga masjid, mengambil sandal, dan melangkah menuju pintu pagar samping.
Aku mengikuti dalam diam. Tidak sepertiku, Kafa masih aktif dalam kepanitiaan. Harusnya tadi setelah salat Isya kami langsung pulang. Dikarenakan rapat dadakan, akhirnya laki-laki itu memberi pilihan mau pulang bersama, tapi menunggu atau pulang sendirian. Tentu saja aku memilih menunggu.
Bukan tanpa alasan. Normalnya, jarak dari masjid ke rumahku kurang lebih 150 meter apabila melewati jalan lorong besar, tapi akan sangat menghemat waktu dan tenaga jika melalui jalan pintas. Namun, jalan tersebut tak selebar, seramai, dan seterang jalan besar, ukuran jalannya pun tidak sampai 1 meter. Pemandangannya hanya berupa tanah kosong penuh semak belukar, kandang kambing Pak Yunus, pohon jambu monyet dan 3 rumah kosong di kiri kanan jalan.
Sebenarnya terasa biasa saja andaikan langit masih terang, tapi terasa berbeda bila malam datang. Meskipun sudah melewati jalan ini berkali-kali, aku tetap memilih jalan besar jika harus pulang sendiri.
Padahal sewaktu kecil aku bersama teman-temanku suka mengintip dari celah jendela yang diberi penghalang papan ke dalam rumah kosong tersebut. Semata-mata untuk membuktikan apakah setan itu benar ada di bumi. Kami juga gemar memanjat pohon jambu monyet dan memakan buahnya, hingga ujung bibirku robek yang konon katanya diakibatkan oleh getah jambu monyet. Sering juga, kami bermain dengan kambing-kambing Pak Yunus, memberi mereka makan hingga digaji. Paling konyol, kami pernah membedah kotoran kambing, untuk mengetahui kenapa bentuknya bulat.
Apakah semakin dewasa seseorang semakin penakut?
Suara daun-daun kering yang repih menjadi alunan yang mengiringi perjalanan kami. Aku berjalan di depan Kafa dengan bantuan cahaya kecil dari senter yang digenggamnya. “Bagaimana hasilnya?” tanyaku.
“Melihat kondisi yang belum sepenuhnya stabil, lomba untuk bulan ini dan bulan depan resmi ditiadakan. Jangankan lomba, Ustad Ali bilang masjid harus tutup lebih awal. Saat-saat ini lebih baik cepat pulang, mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan.”
Aku menghela napas. “Katanya kota sudah aman.” Perkatanku itu bukan sekadar omong kosong tanpa bukti. Seminggu setelah kerusuhan, kami sudah kembali bersekolah, malahan pembelajaran sangat aktif. Kakak kelas tingkat akhir pun sedang mempersiapkan diri untuk EBTANAS bulan ini. Begitu juga pasar, toko-toko, dan juga perkantoran telah dibuka. Ya, meskipun orang tuaku selalu mewanti-wanti untuk tidak bepergian sendiri apalagi jika langit sudah gelap.
“Bisa saja di permukaan tenang, tidak ada yang tahu di bagian dalamnya bagaimana, Ra. Memangnya selama 2 kali kerusuhan ini kita sudah tahu jauh-jauh hari? Yang ada kita dibangunkan tengah malam oleh suara tiang listrik. Apa salahnya berjaga-jaga.”
Aku mengetuk kepalaku tiga kali sebagai ritual membuang sial. “Ihh ... amit-amit. Semoga sudah selesai di situ. Tapi, Kau sadar tidak, Ka, setelah Pak Suharto lengser kerusuhan terjadi di mana-mana. Sewaktu beliau masih jadi Presiden, kita aman-aman saja.”
Kafa mendengus, jelas sekali menolak pernyataanku barusan. “Sebaiknya kau menonton sinetron saja, daripada mengurusi negara.”
Aku menghentikan langkah, membalikkan badan, dan mendongak hingga tatapan kami setera. “Kaupikir aku tidak tahu sejarah? Setidaknya kita harus tetap mengatakan hal baik biar sedikit.”
Pemuda itu mengangguk cepat. Aku tahu ia masih tidak setuju, tapi melakukan itu agar masalah kelar. Aku berbalik dan kembali melangkah sembari merengut, samar-samar aku mendengar kekehannya di belakang.
“Aduh!” pekikku sambil mengarahkan fokusku ke bawah.
Sorot cahaya senter Kafa sontak mengikuti arah pandanganku. “Kenapa? Kau menginjak tai kambing Pak Yunus?” kelakar Kafa.
“Bukan!” jawabku kesal. “Ish ....” Aku mengangkat kaki kiriku dan meraih sandal yang kupakai, sesuai dugaan ternyata putus. “Padahal tadi sudah ada firasat, tapi kenapa tetap kupakai.”