Sepulang sekolah aku meluncur ke rumah Maria, untuk mengerjakan proyek penting yang belum terselesaikan di hari minggu kemarin. Orang tuanya mengambil kompleks BTN yang posisinya tepat di belakang rumahku. Hanya ada lorong kompleks sebagai pemisah antara rumah kami, karena Ayah membuat pintu di belakang rumah, jadi aku tak perlu jalan memutar untuk mengunjungi Maria.
Pintu rumahnya terbuka lebar ketika aku datang, kami sudah membuat janji sebelumnya. Rumah Maria senantiasa sepi, ia sering ditinggal sendirian karena orang tuanya harus mengontrol toko campuran mereka di pasar. Sedangkan kakaknya—Yoga, 3 tahun lalu berangkat ke Palu untuk kuliah.
“Langsung ke kamar saja, aku mau cuci piring dulu,” ujar Maria. Ia sedang mengelap meja makan yang terletak di belakang lemari TV, beberapa langkah dari tempatku berdiri.
Sesuai perintah, aku menuju kamar nomor dua dari pintu masuk. Tidak seperti kamar tidurku yang tak memiliki tema apa pun dan warna putih polos mendominasi, kamar Maria dipenuhi pernak-pernik Micky Mouse dengan dinding kuning lembut sesuai warna kesukaannya. Di atas kepala tempat tidur terdapat tempelan kata-kata mutiara yang didapatnya dari tabloid dan majalah. Ada potret kami ketika mengikuti lomba paduan suara dan perkemahan Pramuka tingkat SD, jalan-jalan ke Danau Poso dan lomba cerdas cermat tingkat SMP. Ada juga foto-foto keluarga, kegiatan gereja, dan saat mengikuti kontes model.
Aku mendaratkan tubuh ke tempat tidur, mengambil posisi miring dengan tangan kiri menyangga kepala, lalu meraih majalah di samping bantal yang tersusun. Semenjak Maria tertarik dengan dunia model ia menjadi pelanggan tabloid Femina dan majalah Aneka, itu dilakukannya untuk menambah referensi gaya. Dari kegemarannya tersebut, aku kecipratan untung karena bisa membaca tabloid dan majalah gratis.
Maria masuk ke kamar, di tangannya ada bungkusan kue pia kesukaan kami dan meletakkanya di meja belajar dekat pintu. Aku mengubah posisi berbaring menjadi duduk bersila, masih di tempat tidur.
Perempuan itu menarik salah satu laci dan mengeluarkan kain dari dalam sana, lantas duduk di hadapanku. “Aku mau ganti model bawahan. Kain diikat-ikat itu sudah ketinggalan zaman.”
“Memangnya masih sempat?” tanyaku memelotot. “Tinggal berapa hari lagi.”
Maria mengangguk tanpa ragu. “Sempat. Tinggal selesaikan rumbainya saja. Aku mau pakai celana pendek.”
Dahiku mengedut, mencoba memikirkan penggambaran singkat tersebut. Entah seaneh apa raut wajahku sampai membuat Maria terbahak. Gadis itu beranjak menuju lemari dan kembali mengeluarkan sesuatu. Pupil mataku membesar tatkala mendapati kain oranye dengan motif bunga-bunga kuning merah, bertransformasi menjadi blus dengan leher sabrina dan lengan pendek berbentuk balon.
“Cantik sekali,” pujiku dan menjulurkan tangan untuk menggapainya. “Cepat juga jadinya.” Aku menilik modelnya dengan saksama. “Untuk bawahannya bagaimana?”
Maria menarik celana oranye yang tertumpuk dengan kain. “Celananya pendek. Sejengkal dari lutut,” jelasnya seraya merentangkan benda tersebut. “Kainnya akan kupasang mengelilingi celana, tapi sampai di sini saja.” Ia menyentuh pinggang kanan dan kirinya. “Di depannya tidak.”
Aku manggut-manggut, mengerti. “Kalau begitu kita harus buat rumbai yang lebih panjang. Supaya nanti kau jalan di panggung dan rumbainya tertiup angin, huh ... akan menjadi lebih dramatis,” saranku sambil mengangkat kedua jempol.
“Kau pintar sekali!” pekik Maria dan memelukku senang. “Ayo kita lebih semangat lagi kerjanya.” Ia menepuk-nepuk punggungku sebelum melepaskan dekapan.
Beberapa tahun terakhir kontes Putri Kacamata rutin digelar di Kota Poso. Salah satu peserta abadinya adalah Maria Salisa, terhitung sudah 3 kali sahabatku itu ikut, tapi belum pernah memboyong piala, hanya sertifikat peserta saja. Selain mendapatkan dukungan penuh dari keluarga, postur tubuhnya memang mumpuni untuk berlenggak-lenggok pada ajang tersebut.
Maria mewarisi gen tinggi orang tuanya. Umurnya masih 15 tahun, tapi tingginya sudah mencapai 161 cm—12 cm jauh di atasku. Badannya sedikit berisi dengan ukuran pinggang kecil seperti bentuk jam pasir. Ia tetap percaya diri dengan mata sipit dan pipi tembam yang menjadi sasaran ejekan teman-teman kami sewaktu kecil. Ditambah kulit putih dan rambut lurus hitam panjangnya yang selalu terlihat sehat. Sejak SMP pun ia tekun melatih ekspresi wajah dan cara berjalan ala model secara autodidak. Sedangkan aku selalu dipaksa menjadi penilainya. Apa yang ia harapkan dari orang awam sepertiku? Mungkin evaluasi asal-asalanku itulah sumber terbesar kegagalannya.
Aku membuka lipatan kain dan menggelarnya di lantai. Rumbai-rumbai pendek sudah terlihat hasil dari pengerjaan kami sebelumnya. “Rumbainya harus dibuat hingga lututmu.”
Maria mengambil meteran dan spidol hitam di meja belajar dan menyodorkan padaku. Tanpa perintah perempuan itu mengambil poisisi berdiri tegak agar aku bisa melakukan pengukuran. “Waktu itu kita bikin rumbainya 10 cm. Tinggal menambah sekitar 26 cm lagi.” Aku mengukur kain mengikuti hasil terbaru dan membubuhkan beberapa titik dengan spidol sebagai penanda batas.
Aku duduk bersila di lantai, mulai melanjutkan pekerjaan yang tersisa. Maria mengambil kue pia dan menaruhnya di dekat kami. Untuk membikin rumbai, kami harus memisahkan jalinan benang pada kain. Kami mengeluarkan helaian benang horizontal satu per satu menggunakan pinset, tapi kalau aku lebih suka dengan tangan. Cara ini kami pelajari dari guru keteramilan di SMP, ketika itu putrinya mengikuti kontes yang sama, meskipun hasilnya seperti Maria, tidak membawa pulang kemenangan.
“Bagaimana perlengkapan yang lain?” tanyaku sambil mencomot kue pia isi kacang hijau dan melahapnya.
“Kacamata aku pakai yang lama saja. Aku sempat minta sama Mami dicarikan yang bingkainya oranye, supaya senada dengan bajunya, tapi susah. Untuk rambut nanti aku kepang kecil-kecil.” Maria menunjuk beberapa titik di kepalanya.