Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #5

Kebun di Bukit.

Aku memindahkan kursi kayu dari meja belajar ke depan lemari, kemudian menaikinya untuk mengambil topi jerami yang terletak di bagian pojok atas lemari. Hidungku langsung gatal tatkala topi tersebut sudah di tangan, dipikir-pikir memang cukup lama benda ini baru terpakai lagi. Selain wajah, rambut, dan tinggi badan, Ibu juga menurunkan alergi debu padaku.

Setelah menempatkan kursi ke posisi semula, kubersihkan topi jerami dengan kain lap setengah basah. Aku menyisir rambut menggunakan tangan lalu mencepolnya, anak rambutku yang berombak mencuat-cuat pada ujung kepala, itu tidak bisa diselamatkan kecuali rambut sedang basah. Aku pernah nekat memotongnya, berharap mereka akan menghilang, ekspektasiku salah, jangan tanya hasilnya bagaimana.

Aku keluar dari kamar memakai baju garis hitam putih lengan panjang, celana panjang kain, dan juga topi jeramiku. Sore ini sinar matahari masih terik, sehingga aku harus melindungi tubuhku dengan baik.

Sesampai di teras, aku menemukan Ayah sedang memotong pucuk-pucuk batang bunga bougenville Ibu. Beliau pasti sedang melakukan eksperimen yang disebut sambung pucuk, sebuah metode yang dapat menghasilkan kembang warna-warni dalam satu pohon bunga. Dari puluhan kali Ayah mengerjakannya, hanya berhasil sekali. Setidaknya Ibu telah memiliki satu pohon dengan warna kembang kuning dan putih.

“Ayah, aku ke kebun Mas Ed. Mau ambil ubi kayu,” pamitku, mengambil sendal pada rak sepatu.

“Memangnya sudah waktunya panen?” tanya Ayah tanpa mengangkat kepala dari pucuk-pucuk tersebut.

“Iya. Ibu dikasih tahu sama Tante Ani. Aku pergi, ya.” Aku menuruni teras dan berjalan keluar dari pekarangan rumah. Menyusuri jalan kecil berbeton, menuju jalan lorong besar.

“Hei, mau ke mana!”

Aku memutar kepala ke sisi kanan pada tanah kosong di samping rumah, ada Liya yang sedang mengajari temannya bersepeda, rambut panjangnya lepek oleh keringat dan wajah kusam. Aku berdecak sambil geleng-geleng, adikku itu sudah kelas 1 SMP, tapi perangainya masih seperti bocah SD. “Mau ke rumah Mas Ed. Pulang kau mandi!” teriakku.

“Nanti!” balasnya tersenyum lebar, memperlihatkan gigi putih yang kontras dengan kulit gelapnya hasil dari pembakaran matahari.

Sampai di ujung jalan kecil, aku melihat Kafa pada pintu pagar rumahnya. Persis seperti gayaku, ia menggunakan baju lengan panjang hitam dan celana panjang hitam. “Ayo!” Aku menunggu hingga laki-laki itu berdiri di sampingku.

Kami meneruskan langkah menuju jalan kecil lainnya, berseberangan dengan jalan kecil ke rumahku. Di daerah itu terdapat 10 pintu rumah petak berbentuk L, di tengah-tengahnya terdapat pemandian umum yang sumber airnya berasal dari pompa air tangan. Sesekali aku membalas sapaan para penghuni tersebut, merekalah yang biasa datang menonton ke rumahku. Sedangkan Kafa berjalan dalam diam, hanya menanggapi sapaan dengan anggukan dan senyum tipis.

Setelah melewati pemukiman itu, rumah kayu putih milik Mas Ed terlihat. Di depan rumah terdapat 3 sepeda motor terparkir, dipastikan tuan rumah sedang menerima tamu. Aku berjalan masuk melalui pintu belakang dan Kafa memilih duduk menunggu di kursi rotan tak jauh dari pintu.

Tante Ani yang menyapaku lebih dulu, lalu menyuruhku duduk. “Kau sendirian?”

“Ada Kafa.” Aku menunjuk ke arah pintu sambil bergerak ke kursi meja makan. “Anak-anak mana?”

Terdengar suara sendok beradu dengan cangkir, seketika aroma kopi menggapai penciumanku. “Yaya lagi mengaji. Kalau Amin masih tidur.” Tante menyusun cangkir ke atas baki. “Kalian mau dibuatkan teh?”

Aku mengibaskan tangan, menolak. “Tidak usah, Tante. Makasih, kami langsung ke kebun saja. Keburu magrib.”

“Tunggu, ya. Mau antar ini ke depan.” Tante bergerak meninggalkan dapur menuju ruang tamu.

Setelah suasana dapur berubah sunyi, samar-samar terdengar percakapan dari ruang tamu.

“Di sekitar rumahku sudah ada beberapa keluarga yang pindah.”

“Di sini belum ada.” Aku tahu suara ini milik Mas Ed.

“Mungkin mereka sudah diberi tahu kalau akan ada penyerangan lagi.”

Aku membeliak, detak jantungku melonjak mendengar kabar tersebut.

“Istriku ingin ikut pindah, mau keluar saja dari Poso. Dia sudah takut. ”

“Iya, mau bagai—“

“Ini peralatan berkebunnya, Fa.” Tante kembali, membuat kegiatan mengupingku berakhir di situ. Aku meraih cangkul kecil dan beberapa kantong plastik merah dari tangannya. “Kalian duluan. Nanti Tante menyusul.”

Aku keluar menemui Kafa. Pemuda itu langsung mengambil alat-alat tersebut dari tanganku. Aku menatapnya dalam tanpa kata, isi kepalaku berkecamuk antara ingin menceritakan tentang topik yang barusan kudengar atau tidak.

“Kau kenapa?” tanyanya, kedua alis legamnya berkerut.

Aku mengembus napas kasar, lalu menggeleng. “Tidak ada. Ayo ke kebun.” Kuputuskan untuk tidak berbagi cerita, bisa jadi itu hanya isu yang sering berseliweran. Meskipun hatiku masih tak tenang.

Kami melangkah ke kebun yang berada di atas bukit di belakang rumah Mas Ed. Tenang saja, bukitnya tidak terlalu tinggi. Tempat tinggal kami terletak di keluarahan Moengko Lama yang sebagian pemukimannya berbatasan langsung dengan kaki bukit, sebagian lagi dengan pantai.

Semenjak Mas Ed membangun rumah di tanah tersebut, beliau juga membersihkan bukit kecil di daerah itu dan menanaminya dengan umbi-umbian dan sayuran. Saat musim panen datang, ia membagi hasil kepada para tetangga. Kami pun tidak enak jika diberi cuma-cuma, sehingga memutuskan untuk memanennya sendiri, tentunya dengan kesadaran untuk tidak mengambil secara berlebihan.

Sesampainya di atas, aku memilih duduk di bangku kayu yang tersedia untuk mengistirahatkan otot kaki dan mengatur napas. Tiupan angin sepoi kuat menyapa tubuh kami, andai saja topi jeramiku tidak memiliki karet penahan di dagu, sejak tadi benda itu sudah diterbangkan angin.

Aku menghirup udara segar, lalu membuangnya perlahan dari mulut. Di kejauhan terlihat pemandangan laut biru, beberapa kapal nelayan, dan matahari yang akan segera pulang. Betapa indahnya ciptaan Tuhan.  

Lihat selengkapnya