Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #6

Nomor Urut Empat.

Tepat pukul sembilan pagi, kami berempat berangkat menuju Pantai Toini yang lokasinya sekitar 10 menit dari rumah, ditemani oleh Pak Saleh. Beliau salah satu penghuni BTN yang sama dengan Cakra dan Maria. Sebelumnya, Pak Saleh berprofesi sebagai sopir bus antar kota. Ia sering memarkirkan busnya pada lahan kosong samping rumahku. Pintu bus tersebut kadang dibiarkan terbuka, sehingga kami leluasa naik dan bermain di dalamnya.

Jika Pak saleh memanaskan mesin mobil, kami tahu kalau sebentar lagi ia akan berangkat. Kami pun langsung naik dan mencari tempat duduk masing-masing, Cakra lebih suka berdiri di depan pintu. Nantinya Pak Saleh akan menurunkan kami di ujung lorong, lalu kami akan pulang dengan berjalan kaki. Beberapa tahun kemudian, ia membeli mikrolet, memutuskan untuk mencari rezeki di dalam kota saja dan kami adalah pelanggan setianya.

Sebelum pukul 6, aku ke rumah Maria untuk mengepang rambutnya. Sesuai prediksi, kepang yang dibuat lebih dari 10, malahan mendekati angka 20. Belum lagi harus menambahkan 3 pita warna warni di setiap kepangan. Satu setengah jam kemudian, aku baru bisa pulang ke rumah untuk mandi dan bersiap-siap, beruntung pakaian yang akan kupakai sudah disiapkan pada malam hari.

Maria terlihat cantik dan anggun dengan dandanan tipis, kostum oranye menyalanya pun sangat pas pada tubuhnya. Aku dan maminya memasang kain rumbai untuk melihat hasil akhir, penampilan Maria kali ini mendekati sempurna. Mata maminya sampai berkaca-kaca ketika memotret sang buah hati. Sayangnya, beliau terlalu sibuk untuk ikut. Lagi pula Maria sudah cukup dewasa dan mampu mengurus diri sendiri. Setelah melakukan sesi foto bersama keluarga, kain rumbainya dilepas lagi, dikhawatirkan akan menganggu jika digunakan di perjalanan atau yang lebih ditakutkan kainnya rusak. Maria memakai kardigan hitam dan rok ungu terong untuk menutupi kostumnya.

Cakra pun tidak ingin kalah saing hari ini. Pemuda itu memakai kemeja polos biru tua yang ujungnya disisipkan ke dalam celana denim biru, tidak lupa ikat pinggang, kaca mata hitam menggantung di atas kancing kemeja, dan sepatu kets hitam. Seandainnya ada kontes untuk laki-laki, ia mungkin akan melompat ke panggung juga. 

Berbeda dengan mereka, aku hanya memakai sweter putih, celana denim biru, dan sandal tali. Sedangkan Kafa, tidak jauh dengan penampilan sehari-harinya; kaus putih lengan panjang dan celana denim biru. Ditambah topi hitam dan sepatu warna senada.       

Lagu Ricky Martin “Livin’ la Vida Loca” menyambut kedatangan kami di pantai. Setelah membeli tiket masuk, kami berjalan mendekati panggung, Kafa dan Cakra mencari tempat yang nyaman untuk menggelar tikar. Dibandingkan tahun lalu, sepertinya kali ini jumlah pengunjung tidak terlalu banyak.

Kafa menemukan satu tempat strategis yang berada pada sisi kiri, tak jauh dari panggung dan posisi tanahnya sedikit tinggi. Berharap tubuhku yang pendek ini, tidak perlu mendekati panggung dan berdesak-desakan untuk menikmati kontes.

Aku dan Maria berderap menuju meja panitia untuk pendaftaran ulang, sedangkan para lelaki merapikan tempat tersebut. Butuh beberapa menit hingga Maria bisa berdiri di depan meja karena antrean cukup panjang. Ia menyodorkan formulir pendaftaran, kemudian mengambil satu gulungan kertas dari dalam kotak untuk menentukan nomor tampil. Angka 4, panitia menuliskan namanya pada tabel yang tertera pada kategori remaja.

Kembali dari sana, payung pelindung dan tikar sudah terpasang, semua itu hasil dari pengalaman kami sekian tahun. Tahun pertama, kami benar-benar kepanasan dan kelaparan karena tidak membawa perlengkapan apa pun, padahal waktu itu orang tua Maria juga ikut. Tahun kedua, para pemuda itu mulai membuat pelindung terik matahari dari payung besar dan kayu, lengkap dengan bekalnya. 

Seperti tahun-tahun sebelumnya, bekal kami hari ini disponsori oleh Ibu dan mama Kafa. Pada rantang plastik besar berwarna merah muda terdapat; tingkat pertama diisi bakwan dan tahu isi buatan Mbak Erna, Ibu sudah memesannya pada malam hari dan diantarkan tadi pagi. Tingkat kedua ada mi goreng dengan irisan kacang panjang buatan Ibu. Tingkat ketiga ikan tongkol sambal balado ala Mama Kafa. Tingkat terakhir nasi. Tak lupa piring, sendok, dan botol air, semua ini dimasukkan dalam satu tas. Selain itu Mami Maria membekali kami banyak camilan dan orang tua Cakra dengan uang.

Cakra sudah memakai kacamata, berbaring di atas tikar seperti orang berjemur dan Kafa sedang membaca buku. Aku dan Maria duduk di tengah-tengah keduanya. “Mana Pak Saleh?” tanyaku.

Kafa menoleh ke arah warung kecil yang tak jauh dari kami. “Di sana. Ada teman-teman sopirnya. Mau minum kopi juga.”

“Kau tampil jam berapa?” tanya Cakra. Ia mengangkat tangan kiri dan mengecek arlojinya. “Sudah mau jam 10.”

“Acaranya saja belum mulai, Cakra. Semoga tepat waktu. Aku urutan ke 4 kategori remaja,” jawab Maria sambil mengipas-ngipas wajahnya.

Aku mengeluarkan karet ikat rambut dari saku celana dan mengucir rambutku yang sudah kering. “Supaya tidak bosan, ayo kita main kartu kwartet.” Aku mengambil kartu dari dalam tas dan menaruhnya di tikar.   

“Okelah daripada bosan.” Cakra bangkit dari pembaringan, tawanya menyembur ketika melihat gambar pada kartu. “Kau tidak punya gambar lain selain Scooby-Doo?”

Aku mendelik ke arahnya. “Tidak ada masalah. Yang penting ada tulisannya.” Kubuka plastik kartu dan mengocoknya. “Kafa, kau juga harus ikut. Kita ke sini untuk rekreasi bukan belajar.” Tanpa protes laki-laki itu meletakkan bukunya dan menggeser posisi agar kami bisa membentuk setengah lingkaran. 

MC membuka acara sesuai jadwal, lalu disusul penyampaian sambutan. Pertama oleh panitia pelaksana dan kedua perwakilan dari pemeritah kota. Setelah itu kontes Putri Kacamata resmi dimulai. MC mengumumkan jumlah peserta kontes, ada 17 peserta kategori anak, 22 peserta kategori remaja, dan 10 kategori dewasa. Setiap peserta hanya diberi waktu 2 menit untuk tampil di panggung.

“Waktunya cukup segitu?” tanyaku pada Maria seraya menggerakkan tangan untuk membagi kartu.

Maria mengangguk dan mengumpulkan kartu miliknya. “Cukup. Panggungnya tidak panjang.”

Cakra semringah, kacamatanya sudah pindah ke kepala. “Bukannya lebih bagus. Kesempatanmu menang lebih besar dan yang lebih penting kita bisa cepat pulang.”

Lagu “My oh My” milik Aqua diputar, terdengar sorakan dan tepuk tangan yang meriah. Kepala kami sontak kembali menoleh ke arah panggung, terlihat satu anak kecil dengan kacamata kebesaran bersiap-siap memulai langkah indahnya.

“Kenapa tahun-tahun lalu kita tidak menemukan tempat ini?” Aku bersyukur karena bisa menikmati pertunjukan selapang ini.

Kafa tertawa. “Pengunjung tidak banyak. Kalau yang datang seperti kemarin kita pasti tidak akan ada di sini. Ada yang rela datang pagi-pagi buta untuk tempat strategis. Kayaknya tinggi panggung juga sedikit dinaikkan.”

Aku mengangguk, mengerti. “Yang pertama turun siapa?”

“Sesuai urutan dari kanan saja,” saran Cakra. Telujuknya ia gerakkan dari Kafa, Aku, Maria, dan dirinya.

“Maria, bukannya sekarang kau harus siap-siap,” ujar Kafa beberapa menit kemudian. Tatapan kami tertuju padanya. “Di panggung sudah peserta kedua. Jumlah peserta 17 orang dengan batas tampil 2 menit, jadi sekitar 34 menit. Tapi, dilihat dari peserta kesatu dan kedua ... lihat sudah mau peserta ketiga, anak-anak itu tidak butuh 2 menit untuk tampil. Waktumu siap-siap tidak selama dulu.”

“Oh, iya, benar. Pesertanya tidak sebanyak dulu.” Maria melepaskan kartu-kartunya di tikar.

Aku melakukan hal yang sama. “Tidak perlu terburu-buru. Kita hanya perlu merapikan dandananmu, memasang kain rumbai, dan merapikan beberapa bagian.” Aku membantunya mengumpulkan peralatan yang akan dibawa ke belakang panggung.

Lihat selengkapnya