Oven tangkring Ibu sudah turun dari singgasananya di atas lemari, ada dua kemungkinan jika hal itu terjadi, lebaran sebentar lagi atau hari kelahiran masusia paling bontot di rumah kami. Hari ini ulang tahun Liya Purnama, satu-satunya orang yang mengharuskan adanya kue ulang tahun di setiap perayaan. Meskipun tidak ada acara perayaan yang sesungguhnya, hanya kumpul bersama teman-teman yang jumlahnya tidak sampai 5 kepala.
Kemarin sore Ayah dan Ibu sudah ke pasar untuk membeli semua perlengkapan, siang ini sepulang dari mengajar Ibu tinggal mengeksekusinya. Selain kue, beliau juga berencana membuat nasi kuning, menu kesukaan yang selalu menjadi incaran di setiap acara ulang tahun.
Setelah mengganti seragam sekolah dengan kaus kuning dan celana pendek hitam, aku langsung menuju dapur untuk menjadi asisten Ibu. Sedangkan yang punya acara, sedang asyik mengobrol dengan gagang telepon menempel di telinga kanannya, aku yakin itu dari keluarga kami di Makassar.
Aku mencepol rambutku agar tidak gerah, lalu duduk bersila pada lantai, tepat di hadapan Ibu. Semua alat dan bahan kuenya terhampar di lantai tak jauh dari meja makan. “Hari ini mau bikin kua apa?”
Ibu melirikku sekejap, lalu menggunting plastik tepung. “Kue seperti biasa. Ibu hanya tahu yang begitu.” Ia menakar tepung menggunakan sendok makan dan menaruhnya pada loyang besi. Beliau melakukan hal yang serupa terhadap gula, mentega, dan susu bubuk. “Tolong telurnya, Fa.”
“Berapa, Bu?” tanyaku sembari menjulurkan tangan untuk mengambil telur. “Yang besar apa sedang?”
“4, yang besar saja.”
Aku memecahkan telur ke wadah yang lain dan memasukkan sampahnya ke kantong plastik merah tak jauh dariku.
Ibu mengambil pengadon dan mencampur semua bahan-bahan tadi hingga menjadi adonan yang diinginkan. “Nyalain kompor, Fa,” perintahnya di tengah-tengah kebisingan mesin pengadon.
Aku berdiri dan bergerak menuju dapur. “Kompor yang mana ini?” Di dapur Ibu, ada 3 kompor minyak tanah berjejer rapi pada meja kayu yang dibuat Ayah. Walaupun sebenarnya, Ibu tidak pernah memakai ketiganya secara bersamaan, paling banyak sekali masak hanya 2 kompor yang menyala.
“Warna cokelat. Itu minyak tanahnya sudah diisi penuh.”
Segera aku mengambil korek kayu dan penusuk kompor, lalu menyalakan api. Wangi sumbu dan minyak tanah yang terbakar adalah salah satu aroma favoritku selain lemari tua. Setelah itu aku menaikkan oven ke kompor, tak lupa mengecilkan api.
“Kalau sudah, tolong cuci beras, ya, Nak.”
Berasnya sudah Ibu sediakan di baskom dan ditaruh pada tempat cuci. Aku menarik kursi kecil dan duduk di depan baskom tersebut, menambahkan air, lalu mencuci beras sesuai metode yang telah diajarkan.
Semenjak kecil aku dan Liya sudah dibimbing untuk melakukan tugas-tugas rumah. Dimulai dari hal yang paling sederhana seperti merapikan kamar tidur dan juga mencuci peralatan sekolah sendiri. Pelan-pelan Ibu mulai membagi tugas di luar dua tanggung jawab tersebut, aku menyapu dan mengepel lantai, sedangkan Liya cuci piring. Awalnya kami ingin protes, tapi perintah Ibu itu layaknya hipnotis, meskipun tidak setuju, tetap kami kerjakan dengan linangan air mata.
Seiring berjalannya waktu kami sadar, apa yang dilakukan Ibu itu benar dan baik untuk kami. Sekarang kegiatan-kegiatan tersebut sudah seperti kewajiban yang memang harus dilaksanakan.
Kelas 4 SD, aku mulai belajar memasak. Berawal dari pelajaran Keterampilan dan Rumah Tangga, guruku memberikan satu resep tumis kangkung sederhana. Pulang sekolah aku langsung minta izin Ibu untuk membuatnya, beliau setuju sambil melakukan pengawasan. Ketika sayurnya matang, menurutku itu adalah tumis kangkung terlezat yang pernah kumasak. Anehnya, saat aku memasak berkali-kali dengan resep yang sama, rasanya tidak pernah sama lagi. Kata Ibu terasa enak karena itu masakan pertamaku, tapi Liya bilang biasa-biasa saja, lebih enak tumis kangkung Ibu.
Setelah itu aku gemar bermain masak-masak dengan Maria dan beberapa teman yang lain. Perlu digaris bawahi, memasak dengan api, wajan, dan sudip yang asli. Menu andalan kami adalah nasi goreng, ikan goreng, dan tumis kangkung. Kami biasa mengadakan acara masak-masak di dekat gazebo.
Satu hal yang selalu kuingat dari Ibu. Beliau tidak pernah memaksaku dan Liya untuk bisa melakukan semua hal, setidaknya ada dasar-dasar yang harus kami kuasai. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendri. Orang tua dan anak-anak tidak akan hidup berdampingan selamanya. Ada kalanya terbentang jarak antara keduanya, di situlah harapan orang tua, bahwa semua ajaran yang telah diterima mampu membuat kami bertahan hidup.
“Hari ini lauknya apa saja, Bu?” tanyaku sekaligus mengeringkan tangan dengan lap.
Ibu menuangkan adonan ke loyang kue bulat, lalu berjalan menuju oven. “Telur dadar potong dan mi goreng saja. Hanya teman-teman Liya, paling nanti temanmu datang juga,” jelasnya seraya memasukkan benda tersebut ke oven. “Kau bisa masak mi, kan?” lanjut Ibu, jari telunjuknya diarahkan pada bungkusan mi yang tergantung di samping rak piring.
Aku mengangguk, langsung bergerak mempersiapkan alat dan bahan. “Telurnya kapan dimasak?”
“Nanti sore saja. Teman-temannya datang habis magrib.” Ibu mencampur beras, santan, dan bumbu-bumbu lainnya untuk membuat nasi kuning ke dalam wajan besar. Ia kembali memintaku menyalakan kompor, kemudian dengan bantuanku meletakkan wajan tersebut di atasnya.
“Bu, ada bapak tukang Air.” Liya muncul dari balik pintu ruang makan, di sampingnya ada Rara.
“Tolong bangunkan ayahmu, Nak.”
Liya mengangguk dan menghilang.