Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #8

Memancing di Hari Minggu.

Hari minggu ini aku beraktivitas lebih pagi dari biasanya. Kami berempat sudah menyusun rencana untuk berenang di pantai sekaligus memancing. Sembari menunggu Cakra dan Maria pulang dari gereja, aku dan Kafa mengais-ngais di sekitar gazebo untuk mengumpulkan cacing tanah sebagai umpan ikan.

Kegiatan memancing dimulai dua tahun yang lalu. Sewaktu bapak Kafa bersama beberapa teman kantornya mengajak kami ke pantai, ternyata bukan untuk berenang, tapi memancing. Mereka menyewa tiga perahu milik nelayan sekitar. Cakra dan Kafa ikut juga, dari sana mereka memperoleh ilmu baru tentang cara memancing yang benar. Saat itu hasil tangkapan mereka lumayan banyak. Aku, Maria, dan Tante Eka langsung mengeksekusi ikan-ikan tersebut di pinggir pantai. Kami mencelupnya pada air garam dan jeruk nipis satu atau dua menit, kemudian membakarnya. Nasi panas dan dabu-dabu sebagai pelengkap.

Sehabis itu memancing menjadi kegiatan rutin kami sebulan sekali. Walaupun dari rata-rata pengamatan selama ini, Cakar dan Kafa lebih banyak tidak membawa pulang apa-apa. Namun, mereka tetap menumbuhkan kepercayaan diri dari waktu ke waktu, meskipun hasilnya tetap di situ-situ saja, tidak ada perubahan yang signifikan.

“Kalian buat apa?”

Aku mengangkat kepala, Om Sakya—bapak Kafa berdiri di depan pintu pagar rumahku. Tangan kanannya disandarkan di atas pagar kayu, sebelahnya lagi di pinggang. “Biasa, Om. Mau mancing.”

Om Sakya mengangguk-angguk, melirik putranya sebentar, lalu kembali bertanya, “Ayahmu ada?”

“Ada. Om langsung masuk saja.” Om Sakya bergerak masuk ke rumah. “Tumben bapakmu ada, Ka. Dia tidak tahu kalau kita mau mancing?” Aku kembali meneruskan kegiatan menggali tanah dengan pisau kecil.

“Paling nanti sekitar jam 11 pergi lagi. Aku cuma kasih tahu Mama.”

Aku berdiri perlahan dari posisi jongkok sekaligus mengusap bulir-bulir keringat yang muncul pada dahiku. Waktu masih mendekati pukul 10, terik matahari sudah cukup menyengat kulit. “Aku selesai, ya. Bagianku sudah banyak ini.” Aku berjalan menuju gazebo, seraya mengecek hasil tangkapan cacingku pada stoples plastik.

Semua peralatan kami sudah ada di gazebo. Alat pancing 2 buah, karena hanya Cakra dan Kafa yang akan melakukan itu. Tikar plastik untuk aku dan Maria bersantai di pinggir pantai. Bekal makanan dan minuman, biasanya setelah berenang rasa lapar muncul karena tubuh butuh energi yang besar untuk menormalkan suhu tubuh.

“Kalian hanya berangkat berdua?” tanya Om Sakya yang sudah keluar dari pekarangan rumahku. Di tangannya sudah ada kotak besi hijau penyimpanan kunci-kunci perbengkelan Ayah.

“Lagi tunggu Cakra, Pa.” Kafa melontarkan pandangan pada benda di tangan kanan bapaknya. “Bapak mau buat apa?” tanyanya sambil berdiri.

“Motor Mama tidak mau menyala. Bapak mau coba dulu, kalau tidak bisa baru bawa ke bengkel. Hati-hati kalau main di pantai,” ujar Om Sakya dan berderap pergi sebelum melempar senyum lebar padaku. Suara gesekan sandal dan hentakan sarung terdengar mengisi keheningan di antara kami.  

“Oi ... bagaimana cacingnya?” Cakra sudah muncul di depanku. Sama dengan kami, laki-laki itu sudah memakai baju lengan panjang dan celana panjang. Tak lupa memakai topi.

“Itu sudah lumayan banyak. Ditambah punya Kafa. Memancingnya tidak usah lama-lama, paling hasilnya sama,” ejeku dengan muka datar.

Cakra berdecak sekaligus mendelik. “Jadi orang jangan pesimis. Rezeki hari ini tidak sama dengan hari kemarin. Ngomong-ngomong, Maria titip pesan meminta kita pergi duluan saja. Dia masih di gereja, ada urusan penting. Nanti menyusul.”

Dahiku berkerut berat. “Aku sediri kalau begitu,” keluhku, memasang wajah tak senang.

“Jadi kau mau ikut atau tidak?” tanya Kafa yang sudah bergabung dengan kami. Pemuda itu memasukkan stoples ke dalam kantong plastik hitam.

“Maria, kan, bilang nanti mau menyusul, bukan tidak jadi pergi,” jelas Cakra menekan setiap kalimat.

“Ya, sudah. Ayo berangkat.” Aku memakai topi jerami dan turun dari gazebo.

Kafa mengambil 2 buah pancing dan tikar untuk dibawanya. Cakra menjinjing rantang bekal dan kantong berisi minuman. Sedangkan aku mengurusi stoples plastik berisi cacing.

Jarak dari rumah ke pantai sekitar 700 m, memerlukan waktu tempuh kurang lebih 10 menit dengan berjalan kaki. Setelah berjalan hingga ujung lorong besar, kami menyemberangi jalan raya provinsi, kemudian masuk lorong besar lagi, hingga menemukan pantai. Disediakan tangga beton yang landai untuk akses turun, yang kehadirannya baru setahun terakhir. Selain tangga ada juga jalan khusus untuk pemotor.  

Kami meneruskan langkah ke sisi kanan pantai, menuju ke satu pondok tanpa dinding, untuk menemui Pak Raki, salah satu kenalan kami. Bersama anaknya—Teo, pria tua itu sedang memperbaiki jalanya yang robek. Beliau sering memiminjamkan perahu gratis, awalnya kami bermaksud untuk menyewa, tapi selalu ditolak, padahal kalau orang lain ia mematok harga sekian. 

“Pagi, Pak,” sapa Kafa di balik punggung Pak Raki.

Pak Raki menoleh dan langsung berdiri ketika melihat kami. Rokok dimulutnya dilepaskan, lalu diselipkan pada pinggiran asbak tak jauh dari kakinya. “Kenapa baru datang? Matahari sudah mulai tinggi, ikan-ikan juga biasa sudah kenyang jam begini,” jelasnya dengan senyum ramah.

Aku mengibas tangan sekali. “Tidak apa-apa, Pak. Mereka ini sebenarnya memancing supaya bosan saking tidak ada kerjaan. Dapat tidak dapat itu urusan belakang.” Kepalaku sedikit tertarik ke belakang saat Kafa manarik ujung kuciranku. Aku menatapnya sinis.

Pak Raki memperdengarkan suara tawa khas bapak-bapaknya. “Tidak masalah. Memacing kegiatan yang baik, daripada lari ke tempat salah. Beberapa hari ini ombak lagi bagus juga. Ayo kita dorong perahunya.” Beliau berjalan menuju jejeran perahu kayu di sebelah pondok.

Kafa dan Cakra meletakkan peralatan tak jauh dari kakiku, tanpa basa-basi mereka langsung mengikuti Pak Raki, Teo juga turut serta.

Profesi Pak Raki adalah Nelayan. Ketika kembali dari melaut, Teo akan berkeliling dengan berjalan kaki ke pemukiman-pemukiman terdekat untuk menjual hasil tangkapan bapaknya. Ikan tersebut digantung pada batang bambu dan Teo memikulnya sembari berteriak ‘ikan baru’. Ibu adalah pelanggan tetap, setiap dua hari sekali Teo mengantarnya ke rumah, ikan-ikan yang dibawa selalu dalam wujud segar, dagingnya sangat manis. Selain ikan besar, ada juga nike, salah satu bahan masakan andalan kami, sayangnya kemunculan ikan-ikan kecil ini tidak setiap hari, ada waktu-waktu tertentunya.    

“Kau mau ikut atau menunggu di sini?” tanya Kafa. Ia menghampiriku untuk mengambil peralatan ketika sudah berhasil membawa perahu kecil ke air.

Aku baru sadar kalau Maria tidak ada, artinya aku harus menunggu mereka di pinggir pantai sendirian, walaupun sebenanrnya ada beberapa orang yang sedang berenang dan bermain, tapi mereka orang lain, bukan kenalanku.

Kafa masih menunggu jawabanku, alat pancing dan stoples cacing sudah berada di tangannya.

Lihat selengkapnya