Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #9

Kabar Burung.

Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) pada tingkat SMA, diselenggarakan selama seminggu. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban selama ujian, para siswa kelas 1 dan 2 diminta untuk belajar di rumah, tetapi kami lebih suka menyebutnya liburan.

Tidak ingin membuang-buang waktu luang begitu saja, aku memutuskan untuk menambah jam bimbingan pada kelas khusus mengaji di masjid. Ustazah Widya menerima usulanku dengan senang hati dan ternyata teman-teman lain yang juga mendapatkan jatah libur melakukan hal serupa.

Seperti biasa, setelah salat Magrib, aku dan 6 teman pembimbing bergerak menuju ruangan TPA yang terletak di belakang masjid. Sebelum kelas dimulai, kami menyusun meja pada beberapa tempat. Sudah menjadi kebiasaan ketika ruangan tersebut selesai digunakan, semua meja harus disusun rapi pada bagian belakang.

Aku duduk di depan meja tak jauh dari pintu, hari ini yang akan dibimbing adalah lansia. Aku memberikan posisi di depan dinding untuk mereka, agar bisa menyandarkan punggung ketika lelah. Tak perlu menunggu lama, seseorang mendekati mejaku sembari melempar senyum hangat. Namanya Nenek Fatimah, salah satu teman mengajiku setahun terakhir. Kusebut seperti itu karena sebenarnya Nenek cukup lancar, tapi beliau minta ditemani.

Meskipun punggungnya sudah bungkuk dan jalannya tertatih-tatih tak selincah dulu, tapi beliau sangat rajin mengunjungi masjid. Selain karena rumahnya tak jauh dari sini, kesepian termasuk alasan lain yang sering diungkapkannya. Suaminya telah meninggal 5 tahun lalu, sedangkan 3 anaknya sudah berkeluarga. 2 di antaranya tinggal di luar kota dan 1 menetap di sini, tapi tidak tinggal bersama Nenek lagi. Beliau ditemani seorang kemenakan yang kebetulan kakak kelasku di sekolah. Masjid menjadi tempatnya untuk mengusir rasa sepi, ia bisa bertemu dan berbincang dengan banyak orang. 

“Apa kabar?” tanya Nenek sebelum duduk pelan-pelan, kadang aku ingin membantu, tapi ia menolak. Masih kuat katanya.

Aku tersenyum lebar. “Baik, Nek. Alhamdulillah selalu sehat. Nenek juga?”

Nenek mengangguk. “Alhamdulillah,” jawabnya sambil membuka Al-Qur’an pada halaman terakhir yang dibacanya. “Ayo mulai, Nak.”

Rentang waktu antara salat Magrib dan salat Isya biasanya tidak cukup 60 menit. Jadi, kami selalu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya supaya setelah salat Isya tak ada lagi yang harus tinggal untuk melanjutkan. Biasanya, mereka membaca 1 hingga 3 lembar sekali, ini untuk kalangan remaja, dalam kasus para lansia membutuhkan waktu yang lebih lama dari itu. 

“Beberapa hari ke depan saya mau libur dulu mengajinya,” ucap Nenek setelah menyelesaikan 2 lembar bacaan.

“Nenek ada acara?”

“Tidak. Anak pertama saya mengajak ke Parigi. Katanya sebentar lagi istrinya mau melahirkan,” jelasnya dengan senyuman. Mungkin beliau sedang memikirkan bakal cucunya.

“Nenek bisa mengaji sendiri di sana. Nenek, kan, masih lancar. Nanti kalau Nenek pulang dari sana, kita tinggal melanjutkan bacaan itu saja.”

Nenek mengangguk-angguk, lalu beliau menepuk-nepuk tangaku sayang. “Semoga kita diberi umur panjang, supaya bisa bertemu lagi.”

Aku tersenyum sekaligus menatap Nenek penuh haru. “Aamiin.” Aku berdiri lebih dulu, lalu membantu Nenek kemudian. Beliau kembali menepuk-nepuk bahuku sebelum beranjak menuju pintu.

Selesai Nenek Fatimah, ada Mbah Sontong yang sudah menunggu sejak tadi. Seperti hari-hari biasa sembari menanti gilirannya, Mbah berkumpul bersama kelompok remaja yang juga sedang mengantre. Ia senang berbagi kisah hidupnya dari kecil sampai sekarang. Bahkan Mbah punya cerita khusus tentang masa-masa penjajahan negara kita, waktu itu umurnya 8 tahun dan masih menetap di Madiun. 

Aku tertawa saat Mbah sudah duduk di hadapanku. “Cantik sekali, Mbah,” pujiku pada ginju merah mudanya. Ada beberapa bagian yang keluar dari garis bibir dan pada bagian tengahnya memudar.

Mbah tersenyum dan menatapku malu-malu. “Cantikan kaulah.”

 “Ayo kita mulai, Mbah.”

Kendatipun umurnya sudah tua, tubuh Mbah masih terlihat segar bugar. Badannya tegak, berjalan dengan normal, dan matanya belum rabun. Aku mengenalnya sejak kecil, Mbah merupakan tukang pijat langganan Ibu. Jika ada keluarga yang datang dari Makassar pun, beliau selalu dipanggil. Dari ceritanya, dulu ia melakukan dua pekerjaan, tukang pijat dan penjual jamu gendong. Namun, setelah anak pertamanya bekerja, ia diminta untuk berhenti menjual jamu karena terlalu berat. 

Rumah Mbah tidak jauh dari rumahku, hanya saja kalau Ibu atau keluarga lain membutuhkan jasanya, aku dan Liya harus mendaki bukit dan melewati sungai kecil untuk sampai ke sana. Sebenarnya ada jalan lurus beraspal, hanya saja daerah itu dikuasai oleh banyak anjing. Kami takut dikejar apalagi digigit, tapi herannya ketika berjalan bersama Mbah, anjing itu terlihat sungkan. Kemudian, Mbah mengajarkan kami satu mantra agar hewan tersebut tidak menggonggong dan mengejar, bunyinya; loko loko jempolku Mbah, loko loko lidah anjing. Apakah berhasil? Aku tidak tahu, karena saat melihat anjing pada jarak sekian, aku memilih menghindar lebih dulu sejauh-jauhnya. 

“Ke sini sama siapa?” tanyaku ketika Mbah selesai membaca doa mengaji.

Mbah memasukkan Al-Qur’an ke dalam tas kain. “Sama Trisno.” Trisno adalah anak bungsunya.

“Naik motor?”

“Tidak. Jalan kaki. Motor, kan, dipakai Jaka pergi kerja. Kau pulang sama siapa nanti?” Mbah mengangkat tubuhnya untuk berdiri.

Aku juga ikut bangkit seraya menggenggam sebelah tangannya. “Ada Kafa, Mbah.”

Mbah membuang napas dan berdecak. Ia memandangiku, lalu ke setiap orang yang ada di ruangan. “Kalian kalau pulang malam hati-hati. Jangan sendirian. Jika bisa tidak usah keluar rumah.”

“Iya, Mbah,” balasku sambil tersenyum kalem. Teman-teman yang lain pun menimpali dengan jawaban yang sama.

Sambil menunggu salah satu teman selesai, aku bergerak mendekati rak buku yang letaknya tak jauh dari meja Ustazah Widya. Buku-buku tersebut adalah sumbangan dari warga sekitar dan juga dibeli menggunakan dana masjid. Sewaktu zamanku, fasilitas baca tersebut belum ada, malahan ruangan ini masih sangat biasa. Alih-alih kipas angin di mana-mana, sumber pendingin kami hanya dari angin alam yang masuk dari jendela darurat yang diberi papan. Sekarang sudah senyaman ini, seharusnya anak-anak lebih giat lagi untuk belajar mengaji.

Lihat selengkapnya