Dua hari berlalu setelah kabar burung itu tersiar. Walaupun sudah merasa tenang, tapi pikiranku belum benar-benar lupa. Hari pertama aku terjaga hingga subuh. Seperti pengalaman sebelumnya, tiang listrik selalu dipukul pada dini hari sebagai tanda kekacauan telah terjadi. Aku baru bisa memejamkan mata setelah salat Subuh, beruntung sekolah libur sehingga tidak ada drama mengantuk di kelas. Setelah orang rumah berangkat melakukan aktivitas masing-masing, aku tidur lagi. Hari kedua aku mulai merasa santai, hanya saja sering terbangun beberapa jam sekali. Paginya tetap terserang kantuk juga.
Keadaan ini mengingatkanku pada suatu kejadian di tanggal 9 September 1999, angka cantik, tapi ditakuti banyak orang. Seorang peramal mengatakan jika hari itu akan terjadi bencana dahsyat yang skalanya menghampiri kiamat. Sebenarnya yang ketakutan hanya Aku, Liya, dan Maria, lainnya terlihat biasa saja. Di pagi hari itu, aku dan Liya duduk diteras menanti terbitnya matahari, sambil merapalkan doa semoga sang surya tak terbit dari barat. Setelah tahu sinarnya berasal dari arah yang biasa, kami sujud syukur dan bergegas mandi, kemudian bersiap-siap ke sekolah. Ternyata banyak orang yang tertipu peramal tersebut, setengah siswa dalam kelasku absen hari itu.
Bisa jadi perkataan Kafa benar, manusia bisa menderita karena pikirannya sendiri. Jika satu titik itu kacau balau, seluruh organ ikut amburadul. Karena berpikir berlebihan, aku tidak bisa tidur, nafsu makan berkurang, dan malas beraktivitas. Apabila semua itu terganggu, otomatis dapat mempengaruhi kerja tubuh. Kendatipun sudah mengerti dengan akibat yang ditimbulkan, kebiasan itu tidak bisa berhenti begitu saja. Aku butuh proses, biarkan waktu yang menyembuhkan.
Hari ini aku memutuskan berkegiatan di luar rumah. Sore nanti Tante Eka mendapat giliran sebagai tuan rumah acara arisan bersama teman-teman kantornya dulu. Sudah menjadi kebiasaan, ketika ada acara dengan jumlah tamu yang banyak, Ibu dan Tante Eka akan saling membantu. Selesai mengajar Ibu langsung ke rumah tetangga, kalau sudah begitu mau tidak mau aku harus ikut serta.
Jam 3 sore bersama Maria, aku pergi ke rumah Mbak Erna untuk mengambil pesanan bakwan dan tahu isi. Biasanya ia menyediakan jasa antar, dikarenakan si anak yang paling besar belum pulang dari pasar, Ibu meminta kami untuk menjemputnya. Selama libur, ini pertama kalinya aku bertemu Maria dalam durasi yang lama. Setiap hari ia ke pasar untuk membantu orang tuanya di toko. Ketika mengetahui ada acara kecil-kecilan di rumah Kafa, maminya meminta Maria untuk tinggal membantu.
Matahari sudah condong ke barat, tetapi rasa panasnya masih meninggalkan perih pada permukaan kulit, padahal kami sudah menggunakan payung, banyak yang bilang kalau matahari di Poso itu ada 7. Rumah Mbak Erna terletak pada ujung BTN yang lorong kompleksnya sama dengan Maria. Jaraknya lumayan jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki, tapi kami tidak punya pilihan selain itu.
Sewaktu SD aku dan Maria terbiasa berjalan mengelilingi kompleks BTN untuk menjajakan pisang goreng dan kue perahu milik Tante Ani dengan gaji 500 rupiah. Itu sebelum suaminya mendapatkan pekerjaan tetap. Selain di BTN, biasanya kami ke daerah sekitar pantai, di sana ada perumahan karyawan perusahaan Pertamina yang kata orang dari kalangan menengah ke atas. Gosip itu mungkin benar adanya karena jualan kami selalu habis.
Bersama teman-teman yang lain kami suka bermain petak umpet—di Poso dikenal sebagai tendang bleg, di lahan kosong samping rumahku, tapi lari bersembunyi pada rumah-rumah yang tak berpenghuni di perumahan tersebut. Entah pengelolanya memikirkan apa sampai-sampai banyak pintu dan jendela dibiarkan tidak terkunci, sehingga kami leluasa masuk. Sayangnya, banyak teman-teman kami pindah sebelum dan setelah kerusuhan pecah. Kendatipun terlihat menyeramkan karena banyak yang kosong dan tak terawat, BTN itu menjadi saksi bisu setiap memori indah kami yang sekarang tinggal kenangan.
“Cakra kapan pulang?” tanyaku, sesaat setelah kami melewati rumahnya. Selama libur pemuda itu dan mamanya berangkat ke Palu untuk menghadiri pesta pernikahan salah satu sepupunya.
“Tidak tahu. Mungkin sampai liburan EBTANAS juga. Lumayan dia bisa jalan-jalan. Tidak kayak kita, di sini terus.”
Aku terkekeh, kugamit tangannya yang memegang payung. “Kenapa kau tidak ke Pendolo juga, ke rumah nenekmu.”
Maria mendengkus. “Kaupikir papiku akan mengizinkan. Katanya bahaya untuk anak perempuan pergi jauh sendirian,” gerutunya.
“Memangnya kau berani pergi sendirian?”
“Hmm ....” Keheningan terjadi beberapa detik, lantas Maria melanjutkan, “Tidak berani.” Tawa kami bergema pada lorong sepi. “Selama liburan kau bikin apa?”
“Hanya nonton, tidur, dan makan.”
Maria berdecak sembari geleng-geleng. “Harusnya kau mengisi waktu luang dengan belajar.”
“Ha-ha-ha,” tawaku tanpa humor. “Ceramahi dirimu dulu, baru ceramahi orang lain.”
“Aku sibuk bantu orang tuaku,” dalihnya, memasang tampang serius. “Memangnya kau tidak pusing di rumah terus? Kau bisa ke pantai minum es kelapa.”
Banyak hal yang sudah kami bagi satu sama lain, hampir semua. Namun, sedekat-dekatnya kami, kerusuhan adalah pembahasan yang paling dihindari. Menurutku itu terlalu sensitif untuk dibicarakan. Jika memang harus diperbincangkan, kami hanya mengangkat bagian besarnya saja, seperti korban, rumah, dan fasilitas umum yang dirusak atau dibakar, itu pun sangat jarang terjadi.
Sewaktu kerusuhan, Cakra dan Maria selalu pergi dari rumah, mengungsi keluar kota. Saat keadaan kondusif mereka kembali dan seperti tidak terjadi apa-apa pertemanan kami tetap baik-baik saja. Bukan hanya para anak, para orang tua juga masih saling menghargai serta menjaga satu sama lain.
Itulah alasan kenapa aku tidak menceritakan pada Maria penyebab utama aku memingit diri. “Tidak ada teman. Kau dan Cakra pergi dan Kafa lebih memilih bermain catur dengan siapa pun yang bisa ia ajak main.”
Maria mendorong pintu pagar kayu rumah Mbak Erna, lantas bertanya, “Kenapa kau tidak ajak Liya dan teman-temannya.”
“Asal kau tahu, ya. Liya sudah malas main denganku. Itulah kenapa dia tidak mau diajak pergi-pergi dengan kita sekarang.”
Maria tertawa. Sedangkan aku mengucapkan salam di depan pintu yang terbuka. Aroma sayuran dan tepung menyatu dengan minyak goreng panas mencapai indra penciuman kami.
Mbak Erna keluar dari dapur melewati gorden. “Eh ... sudah datang,” katanya dengan wajah setengah panik. “Padahal tadi Mbak sudah kasih tahu Dadang, suruh jemput jam setengah empat.”