Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #11

Dua Puluh Tiga Mei Dua Ribu.

Teng ... teng ... teng.

Kelopak mataku sontak terbuka dan degup jantung bertalu-talu panik. Aku menatap langit-langit kamarku nyalang, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Apakah bunyi yang tertangkap indra pendengaranku nyata atau mimpi buruk semata? Harapanku semoga semua hanya mimpi buruk. Suara nyaring tersebut kembali terdengar, bersaut-sautan semakin banyak, menyadarkanku bahwa kerusuhan terjadi lagi.

Aku bangkit dari tempat tidur, setelah menarik napas panjang berusaha mengurangi sesak akibat asam lambung yang turut mengamuk. Kubuka pintu kamar, bersamaan dengan Ibu yang juga baru keluar dari kamarnya. Beliau tersenyum getir, mungkin ingin memberitahu bahwa semua baik-baik saja, tapi itu tidak akan berhasil. Aku bukan anak kecil yang tidak bisa membaca situasi. Kulirik jam dinding yang tak jauh dari kami, menunjukkan pukul 02.35.

Ibu berjalan menuju pintu depan, aku mengikutinya. Ayah sudah ada di luar untuk mengecek keadaan. Ia dalam percakapan serius dengan salah satu pertugas ronda, yang juga menggetok tiang listrik di dekat kediaman kami.

“Lalu, bagaimana situasi, Cuk?” tanya Ayah, mendekat ke pintu pagar, tetapi tidak membuka gemboknya.

Kak Ucuk berjalan menghampiri Ayah sembari merapikan posisi kupluknya yang miring, dari luar pagar ia menjelaskan, “Pasukan kelelawar hitam muncul, Pak Guru. Mereka berpakaian seperti ninja membawa tombak dan golok. Tubuh mereka tidak mempan dengan barang tajam, langsung mental. Dari kabar terakhir yang saya dengar, sekarang sudah di Moengko Baru. Pak Abdul Sukur, mantan Lurah di sana meninggal, sewaktu Almarhum memukul tiang listrik, langsung dibacok. Katanya mayatnya masih tergeletak di parit. Ada satu korban lagi, meninggal juga.”

“Inna lillahi wa inna ilahi rajiun,” gumam Ayah dan Ibu berbarengan.

Jantungku terasa digelontorkan ke tanah, hawa dingin menjalar ke seluruh bagian tubuh. Daerah Moengko Baru hanya berjarak sekitar 1 km dari pemukiman kami, membayangkan pasukan tersebut berjalan dan menghabisi siapa pun yang mereka temui membuat bulu kudukku meremang ngeri.   

“Sebaiknya kalian hati-hati. Jangan berkeliaran di jalan raya dulu. Kalau dilihat dari ceritanya, mereka hanya membantai sekitar jalan raya saja,” saran Ayah.

“Warga Moengko Baru tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan. Ada yang bilang ilmu kebal mereka akan hilang ketika matahari terbit. Ya sudah, Pak Guru. Saya lanjut cari informasi lagi. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah.”

“Iya, Cuk. Hati-hati.” Ayah memutar tubuhnya ke arah kami. “Kalian baiknya tunggu di dalam saja. Ayah mau ganti baju, lalu ke pos ronda mencari kabar akurat.” Ia berderap memasuki rumah.

Aku menatap Ibu cemas. “Bagaimana ini, Bu?” tanyaku dengan suara bergetar.

Ibu mengusap kedua bahuku, mengulas senyum singkat. “Tidak apa-apa. Petugas pasti tidak akan tinggal diam. Ayo masuk, lalu bangunkan adikmu.”

Kami masuk dan menutup pintu. Aku mengangkat kedua tungkai menuju kamar Liya, sedangkan Ibu menuju dapur. Liya masih terlelap saat aku masuk, pintu kamarnya memang tidak pernah terkunci. Ibu melarang karena anak itu termasuk manusia paling susah dibangunkan di rumah ini. Contohnya sekarang, kegaduhan tiang listrik tidak menembusi gendang telinganya. 

“Liya.” Aku duduk pada pinggir kasur, lalu mengguncang sebelah bahunya. “Liya,” panggilku lagi. Tubuh Liya menggeliat, kedua tangannya terangkat ke atas, tetapi kelopak matanya masih setia menutup. “Liya, Bangun!” pekikku.

Gadis itu mengerjap-ngerjap, kemudian membuka mata sempurna. “Sudah pagi, kah?” tanyanya sambil mengarahkan pandangannya pada ventilasi. “Di luar masih gelap.”

Aku menghela napas. “Kerusuhan terjadi lagi.”

“Hah?!” Liya menegakkan tubuh sekaligus menggaruk-garuk kepala. “Terus sekarang bagaimana?”

“Bangun saja dulu. Kalau ada apa-apa, kita bisa langsung pergi.” Aku tidak menceritakan kejadian secara detail, kurasa umurnya masih terlalu muda untuk mendengar perihal tragis seperti itu.

 Ketika keluar dari kamar Liya, aku berpapasan dengan Ayah. Beliau memakai celana panjang hitam dan jaket tebal hijau muda. Aku bisa melihat kepala badik yang menyembul dari saku celananya. “Ayah sudah mau keluar?”

Ayah mengangguk, lalu berjalan ke pintu. “Ayah ke pos ronda. Kalau ada apa-apa lari ke sana. Jangan lupa kunci pintunya.”

Netraku mengiringi kepergian Ayah dengan gamang, memohon dalam hati agar ia diberi pelindungan dan keselamatan oleh Yang Kuasa. Setelah sosoknya tak terlihat aku mengunci pintu.

Aku kembali ke kamar, meraih tas gendong besar yang tergantung di belakang pintu. Perkataan Ayah tempo hari melintas dipikiranku, sehingga aku bergerak mengumpulkan barang-barang penting. Kumasukkan tiga pasang baju, beberapa perhiasan emas hadiah dari Nenek, buku rangkuman rumus dan soal, celengan dari kaleng oli bekas, kotak obat-obatan, senter, dan album foto kecil. Sekalian menganti pakaian yang aman untuk bergerak: baju lengan panjang dan celana training.     

Pada akhirnya berita-berita yang berseliweran itu benar. Kami kembali pada kondisi di mana masa-masa mencekam dan ketakutan merajalela. Kali ini entah butuh berapa hari untuk meredam semua amarah dan dendam yang tersulut satu sama lain. Seminggu, 3 hari, ataukah sebulan?     

 Jam dinding menunjukkan pukul 03:50, aku pindah ke ruang nonton dan menyalakan televisi, yang terlihat hanya siaran warna-warni serta suara melengking. Kuputuskan untuk memutar VCD, mataku menyisir kumpulan kaset di atas televisi dan menarik serial Mr.Bean, hadiah yang diberikan oleh salah satu Omku, ketika nilai Matematika Liya mencapai angka 9.

“Kenapa tidak tidur lagi?” Pertanyaan itu berasal dari Ibu.

Aku memasukkan kaset disc ke alat pemutar, lalu menoleh ke belakang. Ibu pun sudah mengganti baju. “Siapa yang bisa tidur lagi, Bu,” jawabku tak semangat. Aku mengambil posisi berbaring dengan dua bantal menumpuk di bawah kepala.

Liya ikut rebahan di sampingku. Sepertinya baru saja mencuci muka karena ujung kepalanya terlihat basah. Berbeda dengan aku dan Ibu yang memilih menggunakan daster saat tidur, adikku lebih suka memakai celana panjang dan kaus, jadi tidak perlu repot-repot mengganti andaikan situasi genting terjadi. Sebaiknya aku mengikuti kebiasan itu mulai sekarang.  

Sejurus kemudian, Mr. Bean jatuh dari langit.  

Selepas salat Subuh, Ibu menyuruh kami sarapan, ia memasak menu darurat andalan semua orang; mi instan kuah campur telur. Aku duduk di kursi makan lebih dulu, lalu mengisi piring kosong dengan mi dan nasi. Seperti biasa aroma kuahnya selalu menggugah selera, tetapi bila perasaan sedang tak tenang, selezat apa pun sajiannya tetap akan sulit dinikmati. Hanya saja dalam kondisi mengerikan ini, manusia memerlukan energi lebih banyak dari biasanya, perut harus terisi penuh.     

Lihat selengkapnya