Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #12

Tempat Tinggal Baru.

Kelurahan Mapane berjarak sekitar 10 km dari Moengko Lama, tempat yang masih terbilang dekat untuk melindungi diri, setidaknya kami tidak berada pada sumber kerusuhan terparah. Terhitung sudah 3 kali, kekacauan selalu terjadi di pusat kota. Sehingga banyak orang yang memilih mengungsi ke daerah-daerah pinggiran kota. Sepanjang perjalanan, jalan raya dipenuhi hiruk pikuk kendaraan para pengungsi.

Sepertinya pemandangan menyedihkan tersebut sering terjadi di setiap kejadian. Maklum, ini merupakan pengalaman pertamaku dan tak pernah sekalipun kuharapkan dalam hidup.             

Kurang lebih 15 menit kami sampai di rumah kakek Kafa. Andaikan kunjungan kami tujuannya berlibur, aku pasti berseru senang karena tempatnya sejuk dan asri. Posisi tanah rumah lebih tinggi dari jalan raya, jadi terasa seperti di Villa. Bangunan rumah terdiri dua lantai, di mana lantai satu dari beton dan lantai dua beraksen kayu. 

Pekarangan yang luas ditanami beberapa pohon rambutan pada sisi depan dan pohon cokelat di belakang rumah. Kembang berbagai warna dan jenis tersebar pada setiap sisi halaman. Tanaman sayur-sayuran pun tak terlupakan. Ada ayunan besi dan bangku kayu panjang diletakkan di bawah salah satu pohon rambutan, yang menghadap langsung ke jalan Raya.    

Setelah orang tua Om Sakya meninggal, rumah tersebut ditempati keluarga kakak perempuannya—Tante Rini. Dari ceritanya, beliau dan keluarga lebih banyak berkegiatan di lantai bawah. Lantai dua dikhususkan untuk para tamu atau keluarga Om Sakya yang datang berkunjung. Sesampai di sana, putri pertamanya—Salsa, mengantarkan kami ke atas untuk meletakkan barang-barang.

Pada lantai 2 terdapat dua kamar tidur, satu kamar untuk keluargaku dan satu lagi keluarga Kafa. Perabot di atas lumayan lengkap, ada satu set sofa L yang dibuat dari kayu hitam dan televisi. Di setiap kamar tersedia tempat tidur berukuran paling besar, karpet, dan kipas angin. Semuanya tertata rapi dan bersih.

“Bagus, ya, Fa. “Liya berbaring di kasur, kedua tangannya mengusap-ngusap seprai biru tua bermotif bunga mawar merah muda. “Kita bukan seperti mengungsi, tapi liburan.”

Aku tersenyum kecut sambil merapikan beberapa keperluan pada meja rias di samping jendela. Di kamar tersedia lemari kecil, Kak Salsa sudah mempersilakan untuk menaruh pakaian kami kerena memang sedang kosong. Namun, aku tidak melakukannya dan membiarkan pakaian kami tetap di koper supaya lebih muda dibawa kalau-kalau harus pindah lagi.

Terdengar embusan napas kasar dari Liya. “Padahal hasil keterampilan bunga tempelku mau dikumpul jumat nanti. Rugi sekali uang dan waktuku. Enak sekali teman-temanku yang malas,” omelnya.

Aku mendaratkan pantat pada kursi meja rias, menghadapnya. “Jangan hanya lihat bagian itu. Namanya tugas harus diselesaikan tepat waktu, artinya kau disiplin. Apa yang enak dari sifat pemalas? Ingat kata Ayah, di dunia ini tidak ada orang—“

“Bodoh yang ada hanya si pemalas,” ucap kami bersamaan.

“Sampai kapan kita di sini?” tanya Liya.

“Tidak tahu. Mungkin sampai keadaan kota aman.”

Sewaktu kerusuhan pertama, Aku pernah mendengar Ibu bercerita pada salah satu pengungsi di rumah kami. Kata Nenek kalau keadaan daerah sedang kacau, kita perlu melihat keadaan langit di malam hari. Jika pada malam pertama kerjadian turun hujan, kerusuhan akan cepat terkendali. Dua kerusuhan sebelumnya hujan selalu turun di hari pertama dan kota kembali terpantau aman dalam beberapa hari saja, tak lebih dari seminggu. Aku paham itu kepercayaan orang tua dulu, semua yang terjadi hanya kebetulan. Namun, ada bagian kecil dari diriku yang menantikan hujan turun sesegera mungkin kali ini. Konyol sekali.

“Aku ingat tadi ada ayunan di halaman.” Liya bangun dan merapikan ikatan rambutnya. “Rambutan juga lagi berbuah.”

“Izin dulu, Liya.”

“Oke.” Adikku mengangkat jempolnya, lalu berjalan ke balkon.

Terdapat dua akses tangga untuk turun ke lantai satu. Tangga pertama dekat ruang televisi yang berhubungan dengan dapur pada lantai bawah. Tangga kedua terletak di balkon, langsung menuju teras.

Aku mengikuti langkah Liya ke balkon dan menemukan Kafa bermain gimbot Break Game sembari bersandar pada lengan kursi kayu dan menyelonjorkan kaki panjanya. Permainan itu pertama kali dibawa bapaknya sepulang dari perjalanan dinas di Jakarta. Untuk bisa bermain kami harus mengantre, satu orang memilih satu permainan, lalu yang kalah diganti dan mengantre lagi. Aku dan Maria kurang beruntung, karena Kafa dan Cakra selalu bermain bagus, jadi menunggu mereka kalah membutuhkan waktu cukup lama. Biasanya kalau sudah bosan, aku dan Maria pindah ke permainan lain dan akhirnya gimbot hanya dikuasai para lelaki. Kelas 6 Sd aku punya sendiri hasil merengekku pada Kakek.

“Sempat juga kaubawa begituan,” sapaku dan duduk di kursi yang tak jauh darinya.   

“Daripada tidak ada kerjaan. Kau baik-baik saja?” tanya Kafa tetap menekuri permainan tetris dengan serius.

Aku memandangi profil wajahnya dengan dahi berkerut, sedetik kemudian paham. Kafa paling tahu jika aku manusia penakut dan suka berpikir berlebihan. “Tidak baik-baik saja.” Bisa kudengar Kafa mendengus. “Tapi aku berusaha untuk tetap tenang, walau kadang aku merasa otakku kacau.” Kunaikan kedua kaki ke kursi, lalu sebelah tanganku memeluk lutut, sisanya memijat pelipis kanan pelan. “Tubuhku rasanya lemas, seperti terus-terus kehilangan energi padahal aku sudah sarapan. Aku pikir pergi dari rumah bisa memberi ketenangan, ternyata tidak.”

“Sebaiknya kau tidur. Manusia biasanya cepat stres jika kurang tidur.”

Aku meliriknya sebal. “Memangnya tidurmu cukup?”

“Tidak, tapi setiap orang punya kemampuan mengendalikan stres yang berbeda-bada. Dan kayaknya kau tidak punya kemampuan itu.” Sudut bibir Kafa berkedut menahan senyuman.

Pemuda itu sedang mengejekku, bukannya marah aku malah tersenyum lebar. “Bagaimana caramu mengendalikan stres?”

“Ini.” Kafa menunjuk gimbot di tangannya dengan dagu. “Liya sepertinya punya pengendalian stres yang baik. Dia tetap menikmati hidup, seakan-akan tidak sedang menghadapi kekacauan. Sejak tadi aku dengar ia tertawa keras.”

Aku berdecak dan menghentikan gerakan memijat. “Aku sangat iri padanya. Dia bahkan berpikir kalau kita ke sini untuk liburan.”

Kafa tertawa. “Harusnya kau minta ilmunya.”

“Dia akan berpikir aku gila. Eh ... tadi aku sempat ketemu Maria, tapi hanya bisa dada-dada saja,” ungkapku sedih.

“Aku juga waktu di pos ronda.”

Lihat selengkapnya