Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #13

Tempat Persembunyian dan Hujan.

Tiga hari berlalu selepas kerusuhan ketiga pecah, belum ada perkembangan baik yang terjadi. Berita penyerangan dan korban tak henti-hentinya terdengar. Di jalan raya kian banyak pengungsi menuju luar kota. Meskipun sejauh ini daerah Mapane dan sekitarnya masih tergolong aman, para pria tetap melakukan penjagaan secara bergantian, mempersiapkan diri kalau-kalau ada penyusup. 

Sejak hari pertama para perempuan selalu diberitahu, seumpama situasi darurat terjadi, kami diminta keluar melalui pintu belakang dan terus berjalan hingga ujung kebun cokelat. Katanya di sana terdapat tempat persembunyian sederhana, terbuat dari tumpukan daun kelapa. Aksesnya pun selalu dibersihkan dari semak belukar atau benda-benda tajam yang mungkin dapat melukai ketika menyusuri tanpa alas kaki.

Dan arahan itu membuatku sulit memejamkan mata di malam hari. Pikiranku selalu ke mana-mana semakin gelisah dan cemas setengah mati. Terlebih lagi Ayah tidak tinggal bersama kami. Setiap sore beliau dan Om Sakya kembali ke rumah untuk berjaga. Selama konflik berlangsung banyak rumah-rumah ditinggal oleh penghuninya, para pencuri pun tidak tinggal diam, mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan. Seperti pengalaman sebelumnya, selain dibakar atau dihancurkan, banyak rumah yang menjadi sasaran pencuri.

Rasa kantuk masih bergelayut pada kedua kelopak mataku. Aku memaksakan diri selalu bangun pagi untuk membantu Tante Rini membersihkan halaman. Awalnya beliau melarang, tetapi aku mengotot. Tinggal di sini saja sudah sangat merepotkan, apalagi Kak Salsa sedang tidak ada di rumah, jadi beliau kekurangan tenaga tambahan.

Keberangkatan Kak Salsa sore itu penuh haru. Ibu dan anak tersebut tak henti-hentinya menitikan air mata. Sampai sekarang pun, ketika Kak Salsa memberi kabar lewat telepon Tante Rini akan menangis. Dari cerita beliau di Palu putrinya tinggal bersama sang Nenek. EBTANAS kemarin para siswa dikumpulkan pada salah satu ruangan di kantor Dinas Pendidikan dan ujiannya selesai dengan baik. Kak Salsa mengutarakan niatnya untuk kembali ke Poso setelah ujian, tapi Tante Rini melarang.

“Semalam kau tidak tidur lagi?” tanya Liya. Ia selalu membantuku untuk memasukkan daun kering yang telah kusapu ke tempat sampah dan membawanya ke penampungan besar.

“Dua jam mungkin.” Sebenarnya aku tidak tahu, apa benar-benar tidur atau hanya mencoba terlihat tidur. Soalnya jika ketahuan, Ibu pasti marah, walaupun aku merasa kualitas tidurnya sama tidak nyenyaknya denganku. “Bagaimana caranya kau bisa tidur lelap?”

Liya terlihat berpikir sejenak, lantas menjawab, ”Seperti biasa, baca doa dan menutup mata.”

Aku mengembuskan napas keras dari mulut. “Kau tidak ada rasa cemas seandainya ada penyerang begitu?”

Adikku menggeleng dan tangannya kembali bekerja mengurusi daun-daun kering ke tempat sampah. “Kau dan Ibu pasti akan membangunkanku, kan?” balasnya enteng.

Kudengar kekehan Kafa dari lantai dua. Aku menengadah, mendapati laki-laki itu sedang menyandarkan sebelah tubuhnya pada pilar balkon. “Sejak kapan kau di situ?”

“Baru-baru. Kau harus mengikuti cara Liya. Kalau seminggu seperti itu, bisa-bisa kau sakit. Nanti jadi masalah baru.”

Entah saat ini Kafa sedang prihatin dengan keadaanku atau lagi-lagi mengejek. “Aku rajin tidur siang,” dalihku. Padahal kalau diingat-ingat ia dan Akbar juga kurang tidur, karena setiap malam bersama para pemuda sekitar melakukan ronda. Sepertinya sosok yang benar-benar bisa tidur di rumah ini hanya Liya.

“Kak Kafa, Aku bisa pinjam gimbot-nya?” tanya Liya dengan senyum cerah, secerah matahari pagi ini.

 Kafa mengangguk. “Ambil saja di dekat televisi.”

“Iya. Aku mandi dulu. Fara aku selesai, ya.”

Aku melontarkan pandangan pada dua tumpukan daun-daun kering yang belum terbuang. “Itu bagaimana?”

Kedua Alis Liya tertaut matanya memohon. “Kau bisa, kan? Tinggal sekali buang saja itu.”

“Iya. Sana mandi.” Aku mengizinkannya masuk ke rumah dengan dagu dan Liya langsung menghilang dari hadapanku. Kupalingkan pandangan ke lantai dua, Kafa pun sudah tidak ada di sana.

 Aku segera melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Setelah sampah kering tersebut masuk ke dalam tempat sampah, aku mengangkatnya ke bak pembuangan besar pada halaman belakang, nantinya akan dibakar oleh tuan rumah.

Ketika hendak berbalik kembali ke rumah, seketika aku teringat tentang tempat persembunyian darurat di area belakang. Penasaran, kuletakkan tempat sampah di samping dinding bak pembuangan, lantas melangkah menyusuri kebun cokelat. Selama ini yang mengetahui tempat tersebut hanya penghuni rumah, sedangkan kami tinggal menunggu arahan.

Ada sekitar 15 lebih pohon cokelat yang ditanam berjejer rapi, beberapa pohon sudah siap panen dan buahnya besar-besar. Kebun kecil-kecilan ini pun tergolong bersih, seperti dari cerita yang kudengar, Om Didi memang merawatnya dengan sepenuh hati. Bagaimana tidak sungguh-sungguh, kalau penghasilan dari menjual buahnya sangat menguntungkan.

Aku memiliki satu pohon cokelat pada bagian samping belakang rumah. Meskipun hanya satu, tapi buah yang muncul lumayan banyak dan besar. Aku dan Liya selalu menantikan masa-masa panen, selain karena uang, kami suka mencicipi daging buahnya, rasa manis asamnya segar di mulut. Saat akan dijemur, Ayah menggelar paranet dan mengupas kulit buah. Kami memasukkan biji cokelat ke mulut, mengemut sebentar, lalu menyemburkan ke paranet. Sayangnya, mungkin karena hama atau sudah tua, dua tahun terakhir pohon cokelat kami jarang berbuah.

Langkahku kian menjauh ke belakang, kata kecil untuk menggambarkan kebun ini salah besar. Sambil mengamati, aku membayangkan bagaimana kami melintasinya di tengah-tengah pencahayaan yang minim. Semak belukar dan bebatuan tajam tidak menjadi kendala, tapi aku yakin bebarapa tangkai pohon akan menghantam kepala kami lebih dulu. Ketika panik semua bisa terjadi.

Aku berhenti, membalikkan tubuh ke arah rumah. Pandanganku menyisir seluruh area, memperhatikan setiap tangkai pohon yang aman untuk dilalui. Kemudian netraku menangkap sosok Kafa yang sedang berjalan ke kebun.

“Bikin apa?” tanyanya dari jauh.

“Observasi,” jawabku asal. Aku menunggunya hingga tak ada jarak terbentang di antara kami. “Kau tahu di mana tempat persembunyiannya?”

Kafa menyelipkan tangan kirinya ke saku celana, lalu bergerak lebih dulu. “Kenapa kau penasaran?”

Lihat selengkapnya