Sebelum Pak Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, film G30S/PKI rutin disiarkan pada stasiun televisi TVRI setiap tanggal 30 September. Sebenarnya jenis film tersebut bukan seleraku, tetapi terasa aneh ketika esok hari teman-temanku di sekolah berkumpul seraya membahas isi ceritanya dengan antusias dan aku tidak tahu.
Film G30S/PKI merupakan gambaran kesadisan para PKI yang bertujuan untuk mengkudeta. Mereka melakukan penganiayaan terhadap santri Indonesia dan para Petani. Mereka pun menyusun rencana penculikan 7 pahlawan revolusi; Jendral Ahmad Yani, Letjen M.T Haryono dan Mayjen Panjaitan gugur akibat diberondong peluru. Letjen Raden Suprapto, Letjen Siswondo Parman, dan Mayjen Sutoyo dibawa ke lubang buaya, mereka disiksa hingga gugur. Jendral Nasution berhasil lolos, digantikan ajudannya Kapten Pierra Tendean yang juga gugur disiksa. Kemudian mayat-mayat mereka dimasukkan ke dalam lubang buaya
Suatu malam aku, Liya, dan Ayah menonton film tersebut bersama-sama. Menurut Ayah genre seperti itu harus didampingi orang tua, supaya anak-anak di bawah umur bisa dibimbing tentang hal baik dan buruk untuk kehidupan. Sayangnya Ayah kecolongan sewaktu kami menonton Titanic, sampai sekarang pun beliau tidak tahu.
Setelah filmnya selesai, lagu “Gugur bunga” karya Ismail Marzuki diperdengarkan. Membayangkan bagaimana perasaan para keluarga almarhum saat ditinggalkan. Juga kisah tentang Ade Irma Nasution, anak 5 tahun yang menjadi korban keganasan PKI, padahal beliau belum tahu apa-apa. Air mataku berlinang.
Ibu menyuruhku dan Liya segera ke kamar, menurutnya jam tidur anak sekolah sudah lewat. Saat itu Ibu mengira jika aku menangis karena menolak untuk tidur, lalu mencubit sebelah pinggangku, tak lupa ceramah panjang lebar. Aku yang ingin memberi penjelasan tidak berani karena melihat ekspresi marahnya. Beberapa tahun kemudian, kami sempat membicarakan kesalahpahaman itu, Ibu sampai terbahak.
Ketika Pak B.J Habibie menjabat Presiden, film itu tak ditayangkan lagi. Beliau menganggap bahwa sebuah bangsa tidak akan maju, jika terus menggali masa lalu. Bukan berarti segala perlakuan kesadisan layaknya para PKI dulu, tak terjadi lagi di Indonesia. Anggapanku hal seperti itu hanya terjadi di film atau pada layar televisi saja. Namun, di kota yang kusangka memegang teguh persatuan dalam perbedaan, peristiwa penculikan dan pembunuhan tersebut terjadi.
Hari ketujuh kerusuhan berlangsung. Aku, Liya, dan Akbar sedang menonton film Warkop DKI di lantai 2 saat Ayah dan Om Sakya datang. Dibanding hari-hari biasanya, siang ini kemunculan mereka agak terlambat. Keduanya duduk di sofa, tempat berkumpul andalan bapak-bapak untuk menyaksikan berita. Awalnya aku turun guna menyapa dan menanyakan kabar Ayah seadanya, tetapi melihat para ibu berada di situ, aku pun memilih duduk di tangga dapur dan menguping.
“Tanggal 28 Mei kemarin, sekitar jam 9 pagi, para oknum perusuh datang ke Pasantren Walisongo Sintuwulemba. Mereka menggunakan pakaian serba hitam bawa parang dan senjata api kecil. Mereka membunuh beberapa santri dan sebagian besar santri disuruh keluar dan dibawa ke hutan,” jelas Om Sakya.
Seluruh orang di ruangan tersebut dan aku, tak ada yang membuat suara. Kami menantikan kelanjutan cerita.
“Sampai sekarang belum ada kabar pasti tentang keadaan mereka. Kerusuhan kali ini tidak akan selesai dengan cepat seperti yang sudah-sudah. Mungkin mereka akan berhenti kalau para Muslim di kota ini habis. Bahkan akses menuju Palu dan Sulawesi Selatan sudah mereka kuasai. Satu-satunya jalan untuk keluar dari kota ini melalui laut. Aparat pembantu yang dikirim dari luar Poso juga kesulitan masuk karena dihadang-hadangi. Aksi perlawanan masih terjadi di mana-mana dan sudah memakan banyak korban.” Om Sakya berhenti sejenak untuk menarik napas, lalu membuangnya pelan-pelan. “Kita berharap segera ada bantuan, agar korban tidak semakin banyak.”
Kuraup wajahku dan menyelipkan jemari di antara helaian rambut. Hawa dingin itu lagi-lagi menguasai tubuh dan dada terasa penuh membuat sesak. Aku berdiri dari tangga, lantas keluar rumah melalui pintu dapur, tak lagi memiliki kekuatan untuk mendengar lebih jauh. Otakku telah membuat adegan sendiri, bagaimana ketakutan-ketakutan yang menggerayangi para santri dan ketika mereka disiksa hingga dibunuh.
Semua manusia tahu kematian merupakan perihal mutlak, tetapi tidak ada yang menginginkan kematian seperti itu. Tak satu pun.
Beberapa kali aku menghirup udara dan mengembuskannya lewat mulut secara perlahan, hendak mengurangi sesak yang mencokol di dada, tapi tidak berhasil. Dengan langkah gontai kugerakan kakiku menuju ayunan dan duduk. Sekali lagi menghela napas keras, lalu lambat-lambat kedua kakiku mendorong tanah. Angin menerbangkan helai demi helai rambut pendekku yang terurai ketika tubuhku berayun. Sembari menutup mata, aku mencoba mengingat-ingat kembali akar masalah kengerian ini.
Kita kembali pada malam Natal 2 tahun silam, beberapa pemuda Kristiani mengadakan pesta miras di saat Muslim sedang melaksanakan salat Tarawih di masjid. Pengurus masjid mencoba menegur dan sesuai arahan para pemuda tersebut bubar. Namun, siapa sangka mereka menyimpan dendam. Lewat tengah malam mereka kembali mendatangi masjid, seorang tersangka bernama Roy Runtu Bisalemba menikam salah satu pengurus masjid—Ahmad Ridwan. Kronologinya terbagi menjadi dua versi; dari pihak Kristiani mengatakan Ridwan dikejar, lalu lari bersembunyi ke masjid dan dibunuh. Sedangkan dari pihak Muslim, Ridwan dibunuh ketika tengah tidur di masjid.
Kedua tokoh pemuka agama melakukan pertemuan dan sepakat jika akar dari permasalahan tersebut disebabkan alkohol. Selepas itu, timbul pro dan kontra atas kejadian penyitaan dan pemusnahan minuman keras, sehingga terjadi bentrokan kecil yang masih bisa ditangani. Tiga hari setelahnya, Herman Parimo tiba di Poso dengan membawa pasukan dari Tentena, kemudian kerusuhan tak terelakkan.
Entah siapa yang harus disalahkan atas semua kejadian tersebut atau peristiwa itu hanya bagian kecilnya saja. Sedangkan pemicu lebih besar sudah terpendam sejak dulu, lantas seperti bom waktu akhirnya meletus juga.
Awalnya hanya menggunakan alat tempur sederhana, sekarang melibatkan senjata api. Bahkan tak segan-segan menghilangkan nyawa secara sadis dan brutal.
Aku memang tidak tahu apa-apa, yang aku tahu hanya warga pemukiman kami hidup akur tanpa perselisihan, walaupun berdampingan dengan segala perbedaan. Belum lagi bersama teman-teman di sekolah dan juga guru-guru, tak adapun niat untuk mengusik kepentingan agama lain. Bukankah semua agama mengajarkan untuk tidak saling menyakiti, terlebih lagi bunuh membunuh?
Memikirkannya membuatku lelah. Aku hanya ingin hidup tenang dan damai seperti sedia kala, bersama keluarga dan teman-temanku. Aku membuka mata dan membiarkan kakiku mendorong tanah kian keras, lengkungan gerak ayunan semakin tinggi. Aku berseru kecil merasakan sensasi menggelitik, tetapi aku menyukainya.
“Kau mau menambrak pagar beton itu?”
Aku mengurangi kecepatan dan melirik Kafa sesaat.
Pemuda itu bersandar pada batang pohon tempat ayunan ini menggantung. “Ternyata konfliknya sudah sebesar ini.” Matanya mengikuti gerakan ayunanku.
“Aku ke sini karena tidak mau dengar cerita-cerita itu lagi. Jadi, jangan dibahas,” mohonku kesal.
Seulas senyuman hangat timbul di kedua bibir Kafa. Sebelah tangannya merapikan rambut yang dihancurkan oleh angin. “Apa kau tahu, kapan pertama kali aku dipanggil menghadap Kepala Sekolah?”
Aku kembali mengurangi kecepatan, memandangnya dengan alis nyaris bertaut. “Kau sering dipanggil karena prestasimu. Yang pertama? Hmm ... mungkin rangking pertama di kelas 1 SD.”
“Maksudku karena berkelahi.”
“Apa?” Aku melakuan pengereman dengan kaki untuk menghentikan ayunan. “Memangnya pernah?” tanyaku memelotot.
Kafa tertawa sekaligus mengangguk.
“Kapan?!” Kelopak mataku masih terbuka lebar. “Kenapa aku tidak tahu?”
“Kau ingat waktu TK ada anak laki-laki yang sering mengganggumu.”
“Siapa?” Aku berusaha mengingat kejadian yang sudah berumur lebih dari 10 tahun itu. “Arman? Amran?Amar?”
“Arman. Aku pernah memukulnya sekali. Karena kesal waktu dia mendorong ayunanmu dengan keras sampai kau menangis,” ungkapnya dengan senyuman.