Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #15

Tempat Tinggal Baru lagi.

Masalah kelistrikan baru dapat terselesaikan sekitar jam 9 pagi. Informasi dari Om Sakya, telah terjadi kerusakan pada beberapa unit karena kebakaran. Petugas PLN didampingi oleh TNI, mencoba memperbaiki bagian yang masih bisa diselamatkan. Beruntung kelistrikan pada sektor pinggiran kota terpantau aman, di pusat kota beberapa daerah belum tertangani akibat masifnya pembakaran rumah warga.

Kejadian serupa terjadi pada kabel telepon, itulah mengapa kami tidak bisa menghubungi keluarga di Moengko. Sayangnya, belum ada pergerakan dari pihak TELKOM, sehingga masalah tersebut belum teratasi hingga saat ini.

Tadi malam Aku, Ibu, dan, Tante Eka memutuskan untuk tidur di karpet depan televisi. Sedangkan Tante Rini turun ke lantai 1. Seperti biasa, para lelaki memilih tidak tidur untuk melakukan penjagaan. Kafa di lantai 2, Om Didi dan Akbar di lantai 1.

Setelah menumpahkan seluruh air mata dan beban semalam, akhirnya aku memiliki tidur berkualitas. Aku terkesiap ketika Ibu membangunkan untuk salat Subuh, tak menyangka bisa terlelap selama itu, padahal beberapa hari terakhir mataku terpejam setelah subuh. Meskipun mujarab sebagai obat tidur, tetapi menangis cukup memalukan apabila dilakukan setiap malam.

Sampai sekarang, kami belum tahu siapa dan apa tujuan dibalik kegaduhan seseorang semalam. Beberapa saksi mengatakan, hanya orang melintas dengan sepeda motor sambil berteriak. Mereka tidak ingin mencari tahu lebih lanjut karena minimnya pencahayaan, ditakutkan oknum melepaskan umpan guna menjebak. Walaupun begitu, para warga tetap bersiap-siap di dalam rumah barangkali ada penyerangan tiba-tiba, tapi syukur daerah tetap aman hingga matahari terbit.

Dan tidak ada yang lebih melegakan ketika Ayah datang.

“Ayah semalam tidur di mana?” tanya Liya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

“Kami kumpul di masjid. Bapaknya Kafa mau mencari info tentang mati lampu itu, tapi tidak bisa karena telepon rusak. Ustad Ali mengajak kami ke masjid, dalam keadaan gelap gulita kita tidak tahu oknum akan menyelinap di mana. Semalam kalian bagaimana?”

Aku mendekat dan duduk di samping Ayah pada sofa lantai 2. “Jangan tanya dia, Yah. Dia tidur sepanjang malam. Malahan tidak sadar kalau mati lampu.”

Adikku cengengesan. “Kan, lagi hujan. Enak sekali buat tidur.” Ia beranjak dari hadapan kami untuk menjemur handuk.   

“Semalam ada yang teriak-teriak, Yah. Bilang Bunuh ... Bunuh! Begitu. Aku jadi takut, mana mati lampu,” ungkapku cemas. Di kepalaku masih tercetak ketakutan-ketakutan yang disebabkan orang iseng itu.           

Ayah menghela napas. “Mungkin orang-orang yang suka menyebar isu. Seperti yang selalu terjadi pada kerusuhan-kerusuhan sebelumnya.”

Aku mengangguk. Cerita-cerita terkait manusia seperti itu tidak pernah hilang pada setiap kekacauan yang terjadi. “Apa alasannya berbuat begitu? Tidak ada isu-isu begitu saja orang sudah takut. Ditambah mereka datang teriak-teriak, bagaimana orang tidak tambah takut. Bahaya kalau ada yang jantungan, kasian nanti.”

“Tidak ada yang tahu, Nak. Ada orang yang memang suka mencari-cari masalah.”

“Bagaimana keadaan di rumah?” tanyaku sedih.

Sudah seminggu lebih kami meninggalkan rumah. Selain teman-teman, aku juga merindukan tempat tidur dan suasananya. Mungkin alasan lain dari kesulitan tidurku karena aku tidak berada di kamarku. Padahal jarak pulang tak begitu jauh, tapi memang sesulit itu untuk kembali.

“Masih sama seperti waktu terakhir kau pergi. Para perempuan rata-rata dievakuasi keluar kota. Hanya tinggal kami saja, bapak-bapak. Beberapa pemuda juga ada,” jelas Ayah sembari tersenyum. Pada setiap kerusuhan, beliau selalu memasang raut wajah tenang, tak terlihat takut sedikit pun.

Senyumannya menular padaku. “Ayah pernah ketemu bapaknya Cakra? Beliau pasti tidak ke mana-mana karena Polisi.”

Ayah menggeleng. “Mungkin Pak Sandi sudah tinggal di kantor Polisi. Cakra dan mamanya tidak ada, kan?”

“Iya. Seminggu sebelum kerusuhan mereka berangkat ke Palu.” Pemikiranku ternyata meleset, tangan Cakra tidak akan memegang benda itu, karena ia dan keluarganya sudah berada di tempat yang aman. Namun, aku yakin kekhawatirnya sama dengan kami, lantaran bapaknya masih berada di sini.    

“Nanti kalau situasi kota cukup kondisif, kita jalan-jalan ke rumah. Sekalian bersih-bersih.”

Kepalaku mengangguk antusias dan bibirku tersungging senyum lebar. “Semoga secepatnya, ya, Yah.”

Seketika keributan terdengar dari lantai 1, kami saling berpandangan dalam kebingungan. Lengkingan suara Tante Rini membuatku semakin penasaran.

“Kenapa itu?” tanyaku membeliak.

Ayah menggeleng tak peduli. “Sudah. Itu bukan urusanmu.”

Aku tidak mengindahkan kata-kata Ayah, tubuhku bangkit dari sofa dan berjalan menuju tangga, lalu turun dengan langkah pelan. Kulihat Ibu sedang mengupas pepaya pada meja makan dan Liya di sampingnya menunggu buah tersebut disajikan. Seperti menyadari kehadiaranku di tangga, Ibu menolehkan kepala.

“Kenapa, Bu?” tanyaku dengan suara pelan nyaris berbisik.

Lihat selengkapnya