Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #16

Malam Penantian.

Semburat jingga keemasan terbentang pada langit senja. Beberapa kelompok burung terbang ke arah yang sama. Mungkin melakukan perjalanan pulang ke rumah atau sedang berpindah posisi sebab tempat yang lama telah hilang. Hewan-hewan kecil mulai mendengungkan suara-suara mereka. Di kejauhan sayup-sayup terdengar lantunan ayat Al-Qur’an dari pengeras suara masjid. Suasana terasa damai dan tenteram karena jauh dari keramaian jalan. 

Sebentar lagi azan Magrib berkumandang, aku bergerak masuk dan menutup pintu. Beberapa menit yang lalu kami mengantarkan Ayah dan Om Sakya yang hendak pulang ke rumah. Setelah keduanya menghilang dari pandangan, para ibu dan Liya masuk lebih dulu, Kafa dan Pak Jaya menuju masjid.

Pada bangunan utama, terdapat ruang tamu sekaligus berfungsi sebagai ruang nonton, 7 kamar tidur, dapur, dan musala kecil. Kamarku sekeluarga letaknya tak jauh dari ruang tamu, sedangkan kamar Kafa persis di seberang kamar kami. Di setiap kamar terisi dua ranjang susun, lemari, meja, dan kamar mandi. Kerapian dan kebersihan pun terjaga dengan baik.

Aku masuk ke kamar untuk mengambil mukena, mendapati Liya sedang berbaring pada ranjang atas yang posisinya dekat dinding. Adikku senang ketika melihat tempat tidur itu pertama kali. Sejak kecil ia berharap Ayah membuatkan ranjang susun untuknya, tetapi tidak pernah terkabul. Bukannya tidak bisa, Ayah mungkin memikirkan fungsi, aku dan Liya sudah memiliki kamar masing-masing, jika ranjang seperti itu ditaruh di kamar Liya, terkesan mubazir.

“Kau tidak salat?” tanyaku sembari mengambil mukena dari meja.

“Kau duluan saja.” Fokusnya hanya tertuju pada gimbot. Permainan itu resmi menjadi miliknya setelah Kafa menyerahkan sepenuhnya. Ketika aku dan Ibu sibuk berkemas, hanya itu yang bisa ia selamatkan.

Aku keluar dan berjalan menuju musala yang terletak antara kamar Pak Jaya dan ruang tamu. Kutaruh mukenaku dulu, lalu mengambil wudhu tak jauh dari situ. Selepas azan, aku langsung menunaikan salat Magrib.

Ibu dan Tante Eka bersiap-siap salat ketika aku selesai. Kulangkahkan kaki mendekati Bu Desi untuk mengambil Rina agar ia bisa ikut beribadah dengan yang lain. Setelah menemani Rina bermain siang tadi, aku tahu jika bayi itu tidak rewel, ia cepat beradaptasi dengan siapa saja. Sehingga aku dan Liya bergantian untuk menjaga, supaya Bu Desi dapat melakukan hal lain.

Aku membawa Rina ke karpet depan televisi. Sebagai anak umur 1 tahun, koleksi mainannya tergolong banyak. Saat aku meletakkannya di sekitar mainan, ia tersenyum lebar sembari mengoceh menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti olehnya dan Tuhan.  

Suara sepeda motor berhenti di depan bangunan. Aku menaruh bantal di belakang Rina, lalu berderap menuju jendela untuk mengintip, terlihat Pak Jaya dan Kafa baru turun dari kendaraan tersebut. Aku memutar kunci pintu dan kembali ke Rina.

Pak Jaya mengucap salam dan masuk lebih dulu. “Ibunya Rina mana?” tanyanya sambil meletakkan kunci motor di atas rak sepatu. Beliau duduk pada kursi kayu dekat pintu. 

“Masih salat kayaknya, Pak.”

Kafa akhirnya muncul, melempar senyum masam padaku dan terus berjalan menuju kamarnya.  

Beberapa menit kemudian terdengar celoteh para ibu dari balik dinding. Pak Jaya berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri. “Ada informasi penting. Ayo duduk dulu.”

Seketika perasaan tidak enak menguar di dada, tetapi aku berusaha mengenyahkan bayang-bayang buruk itu dari kepala. Barangkali yang Pak Jaya ingin sampaikan adalah berita baik.

Ibu-ibu duduk satu per satu di sofa. Aku masih bersama Rina di karpet. Pak Jaya pun sudah duduk di samping sang istri. Kafa keluar dari kamar, pakaian salatnya sudah berganti dengan sweter dan celana panjang serba hitam, duduk pada kursi yang ditinggalkan Pak Jaya.

Butuh sekian detik untuk Pak Jaya kembali membuka suara. “Malam ini kita tidak bisa tinggal di sini. Kabarnya oknum penyerang sudah jalan kaki dari Towu bergerak menuju kota. Mereka akan meratakan perkampungan Muslim yang dilewati. Perkiraan subuh nanti mereka tiba di sini. Jadi, kita harus pergi.”

Aku mengembuskan napas perlahan dari mulut, mencoba tenang di tengah jantung yang mulai menggila dan dada sesak. Aku menarik Rina ke dalam pelukanku, lalu membawanya ke Pak Jaya. Saat itu kulihat wajah tegang dari Ibu, Tante Eka, dan Bu Desi.

“Ayah yakin ini bukan isu?” tanya Bu Desi memastikan, suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.

Pak Jaya mengangguk tanpa ragu. “Bukan, Bu. Ini kabar pasti. Ada orang Towu yang langsung datang melaporkan.”

“Jadi, kita harus bagaimana?” Kali ini Tante Eka yang bertanya, meski raut wajahnya penuh ketegangan, nada bicaranya masih tenang.

“Sehabis salat Isya, kita ke KORAMIL. Mereka siap menampung. Bawa barang-barang yang penting saja.”

Aku yang sejak tadi berdiri di samping Bu Desi, mengangkat kaki menuju kamar. Aku duduk di tempat tidur sambil mengusap wajah berusaha menenangkan diri, meskipun sadar kedua tanganku bergetar. Hawa dingin kembali menggerayangi tubuh, seperti menghisap seluruh energi, membuatku lemas.

“Kau kenapa?” tanya Liya yang baru keluar dari kamar mandi.

Kuangkat wajah sekaligus menghela napas. “Kau cepat salat. Kita harus berkemas lagi.”

“Pindah lagi?” Kedua kelopak matanya terbuka lebar.

“Iya. Sebaiknya kau salat dulu!” Kepanikan membuat nada suaraku agak tinggi. Aku berdeham, merapikan pita suara. Tidak seharusnya aku bicara begitu, adikku tidak tahu apa-apa. “Nanti Ibu ceritakan,” lanjutku dengan suara melembut.

Liya tidak bertanya lagi dan membuka pintu, bersamaan dengan Ibu yang hendak masuk. Setelah menutup pintu, beliau duduk di sampingku.

“Ibu sudah menghubungi Ayah?”

Lihat selengkapnya