Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #17

Hari itu.

Kelopak mataku terbuka lagi dan lagi. Semalam aku mencoba untuk tidur atas desakan Ibu. Namun, yang terjadi hanya aku mengistirahatkan kedua mata, tidak dengan pikiran dan telingaku. Aku masih bisa mendengar cerita acak Ibu dan Tante Eka, pembicaraan-pembicaraan samar dari luar, dan tangisan anak-anak. Sesekali gelak khas bapak-bapak menembus kaca jendela. Aku juga merasakan tubuh Liya yang gelisah di sampingku, entah ia sedang mimpi buruk atau tidak bisa tidur.

Hingga saat ini belum ada kejadian penting yang terjadi, kondisi terpantau aman. Terdengar suara azan Subuh, perasaan haru menguar dalam dada, di situasi seperti ini beliau masih berani ke masjid untuk memenuhi kewajiban. Aku bangun dari pembaringan dan tidak menemukan Ibu dan Tante Eka, karena tempat kami sempit, sepanjang malam mereka hanya duduk bersandar. Beberapa jam lalu, tubuh Liya berhenti bergerak, mungkin sudah menemukan posisi tidur yang baik.

Aku mengusap wajah, lalu mengikat rambut. Kutarik tubuhku untuk berdiri dan berjalan keluar kamar untuk menunaikan salat Subuh. Ketika ingin ke kamar mandi, Aku mendapati Ibu dan Tante Eka duduk pada kursi meja makan.

“Sini duduk dulu. Minum air hangat.” Ibu menarik kursi di sebelahnya dan kudaratkan tubuhku di situ. “Adikmu belum bangun?”

Kuseruput air putih pelan-pelan, lalu mengangguk. Rasa hangat sontak memenuhi kerongkongan dan dada. Aku menyesapnya sedikit demi sedikit hingga tandas, kemudian beranjak ke kamar mandi.

Untuk melaksanakan salat Subuh, kami harus mengantre karena ruangan dipenuhi manusia. Memanfaatkan bagian kosong di depan televisi, itupun hanya muat dua orang saja

Selepas salat aku berjalan ke luar, menatap langit gelap, matahari belum memperlihatkan kuasanya, sedikit lagi. Jika diperhatikan jumlah pengungsi lebih banyak dari semalam. Para pria dan TNI masih terlihat santai berbincang serta menikmati kopi dan rokok. Aku mencari sosok yang kukenal, tetapi netraku tak menemukannya. Setelah menghirup udara dan mengembuskan perlahan, kuputar tubuh kembali ke kamar.

Liya sudah bangun ketika aku masuk, Ibu dan Tante Eka pun membereskan dan memindahkan barang-barang ke tempat yang terjangkau. Sudah berapa jam terlewat, belum ada kabar terkini, bagaimana dan kapan penyerang itu menggapai titik kami. Dalam doa selalu kusisipkan permohonan, agar mereka menderita kelelahan yang maksimal serta didera kantuk teramat sangat, kemudian memutuskan untuk rehat dalam waktu lama. Supaya Ayah dan Om Sakya datang menyelamatkan kami lebih dulu. 

“Sini duduk, Fa. Tante tadi dikasih Kafa.” Beliau meletakkan buah pisang berukuran kecil itu di atas tasnya. “Lumayan pengganjal perut.”

Aku duduk di sampingnya, lalu menarik 1 buah. Semua orang dalam kamar tersebut mendapat jatah. Ibu sudah kembali bercakap dengan kepala sekolahnya. Liya bermain bersama Rina dan Tante Desi. Keceriaan balita itu membuatku nelangsa, bahkan bayi-bayi di luar sana yang belum pantas mengalami kengerian ini.  

“Kau baik-baik saja?” Tante Eka mengelus punggungku.

Mungkin kesedihan itu tergambar jelas di wajahku. Aku tersenyum masam. “Tidak, Tante. Tidak baik-baik saja.”

Tante Eka ikut tersenyum. Ia mengangkat telapak tangannya dari punggungku. “Kalau kita berhasil melalui hari-hari ini dengan selamat, apa yang akan kau lakukan?”

“Pulang kampung,” jawabku tanpa berpikir. Aku ingin bertemu keluarga besarku di sana. Saat ini mereka pasti kebingungan dan ketakutan, mendengar jumah korban kian banyak yang terus-menerus disiarkan di televisi. Beberapa hari ini kami tidak bisa memberi kabar, karena alat komunikasi satu-satunya telah rusak. “Tante bagaimana?”

“Mungkin pulang kampung juga. Neneknya Kafa pasti sudah stres, karena tidak ada lagi kabar dari kami,” gumamnya dengan raut wajah pilu.

“Sama. Eh ... bagaimana kabar Tante Rini sekeluarga?”

“Dari tadi malam Tante memikirkan itu, tapi tidak tahu juga cara mencari kabar mereka. Semoga tetap dilindungi, ya.”

Aku mengangguk.

Tiba-tiba keributan terjadi di luar, beberapa teriakan terdengar. Aku sontak berdiri, detak jantungku melonjak memukul-mukul rongga dada keras. Atmosfer kedamaian dan ketenangan, berubah menjadi ketegangan, pucat pasi menghiasi raut setiap orang. Liya berlari menuju Ibu, Bu Desi mendekap Rina erat.

Tanpa sadar tanganku sudah membuka pintu dan berlari keluar untuk mengecek situasi. Banyak pengungsi yang berlari ke semak belukar di belakang bangunan KORAMIL. Para ibu dan anak-anak mulai menangis histeris. Para pria dan TNI maju ke jalan Raya, siap-siap menghadapi oknum penyerang. Di tengah kekacauan itu aku melihat Kafa berlari ke arahku.

“Mereka sudah dekat?” tanyaku dengan suara bergetar.

Kafa bergeming, menarik tanganku untuk masuk ke ruangan. Bisa kurasakan genggamannya yang dingin. Kami melangkah ke kamar. “Ayo keluar ke ruang tengah.” Laki-laki itu memberi aba-aba, melepas tanganku dan mendekati mamanya, membantu mengangkat barang-barang. Aku pun melakukan hal yang sama.

Bangunan yang kami tempati sudah kosong, semua penghuni berlari ke belakang.

Setelah kami berkumpul, Kafa duduk di samping mamanya, lalu berkata, “Penyerang baru melewati jembatan Puna, sekitar 4 km dari sini. Apa pun yang terjadi tetap tenang dan jangan pernah lari ke belakang. Kita tidak pernah tahu apa yang bersembunyi di sana. 1 truk BRIMOB sudah datang dan berjaga di dekat pasar. Semoga bantuan yang lain segera menyusul.”

Tante Eka meremas tangan putranya, kedua matanya berkaca-kaca. “Mama tahu kau tidak bisa dilarang. Tapi tolong kalau situasinya tidak terkontrol, kau harus berlari ke Mama.”

“Iya, Ma.” Kafa memeluk mamanya sekejap, lalu berjalan keluar.

Kutatap kepergian sahabatku dengan nanar. Tak terasa punggung kecilnya berangsur-angsur melebar seiring berjalannya waktu. Sekarang turun berperang tanpa rasa takut, menggantikan Om Sakya dan Ayah untuk melindungi kami. Perasaan bangga dan lara melebur menjadi satu. Suatu hari ketika semuanya berakhir, aku akan menceritakan ini pada Cakra dan Maria, betapa gagahnya si kutu buku itu.                

Empat kilometer, berapa waktu tempuh dibutuhkan untuk sampai di sini? 20 atau 30 menit? Menunggu merupakan hal paling tidak kusukai, tetapi aku berharap apa yang dinantikan kali ini datang sangat terlambat, jika perlu tidak usah datang.

Lihat selengkapnya