Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #18

Kehidupan di Pengungsian.

Seperti yang diketahui, Indonesia memiliki dua musim: hujan dan kemarau. Namun, beda kondisi jika kita membahas perihal musim di kota Poso. Masyarakatnya sering melontarkan lelucon jika di kota tersebut terdapat tiga musim, yaitu hujan sedikit, panas, dan panas sekali. Tak ayal tanah-tanah di sekitar rumah selalu kekeringan hingga membentuk retakan—teman-temanku lebih percaya itu terjadi karena ulah setan yang berkeliaran.  

Ketika musim panas dan panas sekali datang, biasanya aku, Liya serta Ibu tidur siang di teras rumah, tak jauh dari pohon mangga. Kami menggelar tikar, juga mengeluarkan bantal dan guling. Ada waktu di mana Maria turut serta, meskipun lebih banyak berakhir dengan cerita ketimbang tidur siang.

Pada tahun 1999 terjadi gempa dengan skala MMI IV. Beberapa tembok rumah di BTN roboh, foto-foto yang digantung berjatuhan, air dalam drum tampungan tumpah hingga setengah, dan ada perkampungan mengalami kerusakan parah karena tanahnya amblas. Warga diminta waspada akan adanya gempa susulan, bisa jadi lebih besar dari sebelumnya. Mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan, keluarga kami memutuskan untuk tidur di teras malam itu.    

Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, sekali lagi kami harus tidur di teras dengan keadaan terpaksa. Bukan karena kepanasan atau menghindari bahaya bencana alam singkat. Mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus menikmatinya.

Setelah turun dari truk kami sempat kebingungan, apalagi waktu itu Ayah dan Om Sakya belum sampai. Pengungsi baru diarahkan menuju lapangan, letaknya di bagian dalam KODIM. Para ibu meminta aku, Liya, dan Kafa menunggu di bawah pohon mangga tak jauh dari pintu masuk, sedangkan mereka bergerak mencari informasi tentang apa yang akan dilakukan setelahnya. Ternyata ada pendataan pengungsi yang masuk, perihal ini bertujuan untuk mempermudah seseorang yang barangkali sedang mencari keluarga.

Sambil menunggu kedatang Ayah dan Om Sakya, kami menikmati air mineral dan roti yang dibagikan oleh Tentara. Mungkin karena situasi tidak lagi mencekam layaknya tadi pagi, camilan tersebut terasa nikmat. Kami tidak pernah beranjak dari tempat itu barang sedikit pun, agar memudahkan para bapak menemukan kami nantinya.

Kurang lebih satu jam menunggu, mereka datang dengan banyak perbekalan, bahkan Ayah sempat-sempatnya memasak nasi dan telur ceplok untuk makan siang. Kemudian para pria itu berkeliling untuk mencari tempat tinggal sementara. Sejak awal kami tidak mengharapkan tempat bagus, seperti saat mengungsi ke KORAMIL, karena jumlah pengungsi sebelum kami saja sudah banyak. Otomatis ruangan sudah penuh dengan mereka. Teras-teras pun nyaris tak ada yang kosong. Pilihan terakhir mendirikan tenda layaknya pengungsi pada halaman depan.

Beberapa menit kemudian, dengan berlari Kafa datang memberi kabar, jika mereka menemukan tempat lumayan baik. Posisinya di teras dekat kamar mandi umum, mungkin alasan itulah membuat tempat tersebut sepi peminat. Ibu dan Tante Eka langsung setuju, kami para anak hanya mengikuti, lagi pula dibandingkan harus tidur di tenda, teras lebih baik.

Kami mulai membersihkan dan merapikan tempat baru tersebut dengan sapu ijuk dan sapu lidi yang dibawa Om Sakya dari rumah. Memasang karpet merah di lantai dan juga tirai panjang pada sisi dekat kamar mandi. Di depan tirai, Ayah meletakkan tiga kursi kayu, selain berfungsi sebagai penahan, tas-tas kami pun bisa disimpan di situ.

Pada bagian depan para pria memasang terpal biru besar untuk menghalau sinar matahari dan tempias hujan. Terpalnya dibuat miring, karena satu meter tanah di depan teras dibuat dapur darurat. Ayah dan Om Sakya masing-masing membawa satu kompor, beserta alat dan bahan memasak yang tersisa di dapur rumah.

Dikarenakan pakaian-pakaian kami belum sempat diambil dari tempat Pak Jaya, Ayah hanya membawa pakaian lama yang sengaja ditinggalkan di rumah dan biasanya akan berakhir di dapur Ibu sebagai lap. Namun, siapa sangka pakaian tersebut berguna pada situasi ini.   

Bagian teras selesai, para pria mendirikan tenda di lapangan seperti yang lain. Selain karena ukuran tempatnya kurang luas, tidak mungkin kami tidur berbaur satu sama lain. Lagi pula mereka hanya akan berada di situ saat tidur di malam hari. Ketika semua pekerjaan rampung, kami makan siang dengan bekal yang dibuat Ayah.

Tempat untuk tidur sudah beres, bukan berarti semua masalah terselesaikan begitu saja. Di malam hari pertama dan kedua, sangat sulit memejamkan mata karena suara-suara percakapan dan tangisan tak henti-hentinya terdengar. Juga langkah-langkah manusia yang masuk dan keluar kamar mandi umum. Tiupan angin kencang pun membuat keributan tersendiri, sebab tempat tersebut sangat dekat dengan pantai. Belum lagi ketika hujan deras turun membasahi bumi, kalau sudah begitu para pria yang di tenda pindah ke musala. Dan paling unik, bunyi kokokan dua ayam jantan yang terikat pada batang bunga kembang sepatu, tak jauh dari tempat kami, entah punya siapa.

Untuk menu makanan sehari-hari, kami harus bersabar dengan lauk mi dan telur saja. Bahan makanan tersebut merupakan pembagian dari Tentara, sumbangan yang berasal dari luar daerah. Di luar sana pertikaian masih berlangsung, tidak ada pasar maupun toko bahan makanan yang buka. Sudah pasti krisis pasokan makanan untuk jangka panjang menjadi kekhawatiran yang lain.

Persediaan air bersih pun memiliki permasalahan tersendiri. Jumlah pengguna jelas 10 kali lipat dari biasanya, jika tidak pintar-pintar dalam pemakaian, tidak akan ada air untuk sekadar memasak. Demi menghemat air, selama dua hari kami memilih tidak mandi, hanya mencuci muka dan beberapa bagian tubuh yang penting untuk dibersihkan, serta menggosok gigi. Sedangkan urusan mencuci pakaian, Ibu dan Tante Eka melakukannya dini hari, ketika volume air sedang banyak dan jumlah pemakaian sedikit. Itu pun mencuci seadanya. 

Bukan hanya menampung, Tentara pun melakukan kegiatan-kegiatan penghiburan untuk masyarakat. Tidak bisa ke mana-mana jelas akan mengakibatkan stres. Mereka berusaha membuat kami tetap dapat menikmati hidup dalam keadaan serba terbatas.

Setiap pagi beberapa Tentara wanita memutar radio dan mengajak para pengungsi untuk senam bersama. Menjelang sore ada kegiatan untuk anak-anak, seperti les dan mengaji. Dilanjutkan dengan bermain, yang diharapkan dapat menyembuhkan dan menghilangkan trauma. Dan kadang-kadang anak-anak itu dibawa berenang ke pantai.

Pada malam hari, para pria dan Tentara bermain kartu dan catur, selain untuk berjaga, mereka juga butuh hiburan untuk menghilangkan kepenatan. Sedangkan para wanita, lebih gemar saling mengunjungi antar pengungsi berbagi kisah dan pengalaman.

Di tengah-tengah keterbatasan tersebut, ada banyak hal yang patut disyukuri. Paling utama adalah bisa merasakan keamanan dan kenyamanan, di mana pada situasi sekarang merupakan sesuatu yang langkah. Pun, diberi keselamatan dan masih berkumpul dengan keluarga utuh tanpa kekurangan. Semua nikmat itu sudah lebih dari cukup. 

***

Dua belas hari kerusuhan berlangsung, belum ada perubahan yang signifikan. Setiap hari pemandangan asap pekat tak pernah bosan menghiasi langit. Suara sirene kendaraan aparat militer masih terdengar sibuk sepanjang waktu. Cerita tentang korban pun menjadi pembahasan teratas semua orang.

Baru-baru ini tersiar berita menggemparkan. Ditemukan puluhan tubuh yang mengambang di sepanjang sungai Poso dengan kondisi mengenaskan. Mayat-mayat tersebut merupakan korban penculikan di Pesantren Walisongo tanggal 28 silam. Menurut salah satu saksi yang berhasil lolos, saat disandera tangan-tangan mereka diikat dan dibawa ke daerah Ranononcu, di sana mereka disiksa tanpa ampun. Dengan truk mereka kembali dipindahkan ke Tagolu daerah pinggiran sungai Poso. Begitu korban-korban itu turun dari truk, tubuh mereka langsung ditebas dengan parang hingga tewas, lalu mayatnya dibuang ke sungai.    

Keji. Nista. Biadab. Jahanam. Entah sebutan apa yang cocok untuk para oknum tersebut. Mereka tak segan-segan memperlakukan manusia seperti hewan. Bahkan untuk menghilangkan nyawa hewan juga ada hukum dan adabnya. Mereka tak pantas dipanggil manusia. Mungkin setan pun tak sudi bersanding dengan mereka, saking bejatnya.

Itu hanya salah satu kejadian, masih banyak peristiwa-peristiwa pembantaian yang terjadi di setiap sudut daerah, hanya belum diketahui berapa korban pastinya. Lambat laun para oknum mulai menguasai beberapa daerah Muslim, sesuai tujuan utama mereka ingin menduduki kota, yang selama ini dikuasai oleh Muslim. Namun, perlawanan pihak Muslim pun tiada henti-hentinya, bantuan selalu datang dari luar daerah. Kata damai sepertinya telah diterbangkan angin sejauh-jauhnya. Berharap Tuhan segera memberikan jalan keluar di antara dua kubu, melembutkan hati yang penuh amarah, dan memberikan balasan bagi pelaku zalim.

“Kak Fara.”

Lihat selengkapnya