Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #19

Rumahku Sayang, Rumahku Malang.

Setiap hari setelah senam, kami rutin berkegiatan di pinggir pantai, satu-satunya tempat penghiburan diri kala kebosanan datang mendera. Pantai tersebut masuk dalam wilayah KODIM, sudah dipastikan aman dari oknum penyerang. Jaraknya pun sangat dekat, pada ujung lapangan terdapat tangga sebagai akses turun ke tempat tersebut. Kondisinya bersih dan terawat. Ada beberapa pohon kelapa yang buahnya bisa dinikmati sepuasnya, asalkan dipetik sendiri.

Jika sore hari lapangan dipenuhi anak-anak, di pagi hari mereka menguasai pantai. Berenang dan bermain dengan riang, layaknya kunjungan wisata alam. Di tengah-tengah keceriaan itu, masing-masing orang tua akan memanggil anak-anak mereka untuk sarapan, masih di pinggir pantai. Layaknya kehidupan normal di hari minggu pagi.

Hari ini Om Sakya mengajak kami makan-makan di pinggir pantai dengan sajian ikan bakar. Setelah tiga hari berkutat dengan mi dan telur, seseorang datang menyelamatkan menu makanan kami. Namanya Pak Darius, salah satu Nelayan yang pada sore hari tiba-tiba datang membawa beberapa ikan segar untuk dijual. Entah takut karena sumber ikannya tidak jelas atau tidak memiliki cukup uang, banyak yang menolak. Ayah, Om Sakya, beberapa pengungsi dan Tentara yang melariskan dagangannya. Sampai hari kelima ini kami masih sehat bugar, meskipun telah mengonsumsi ikan-ikan Pak Darius berkali-kali.

Semalam bantuan makanan kembali didistribusikan. Ada tambahan beras, minyak kelapa, dan bumbu masakan. Minyak tanah pun turut dibagikan, tetapi dibatasi 2 liter per kepala rumah tangga. Selain makanan, bantuan kebutuhan lainnya pun mulai tersedia, seperti obat-obatan, keperluan bayi, dan keperluan wanita. Semua barang-barang tersebut diangkut dari luar kota Poso dengan kapal perintis milik TNI.

Ayah dan Om Sakya menyusun daun-daun kelapa kering sebagai alas kami duduk. Letaknya agak jauh dari keramaian, walaupun Ibu telah mengatakan jika sebentar lagi orang-orang itu akan meninggalkan pantai karena matahari mulai terik. Alat pembakaran dipinjam dari Tentara, tugas Kafa mengumpulkan sabut dan tempurung kelapa kering, lalu menyalakan api. Para ibu masih di atas untuk menyiapkan nasi dan dabu-dabu. Liya tengah berenang bersama teman-temannya dan aku tidak melakukan apa-apa, hanya menikmati tiupan angin silir-semilir.

“Kau mau naik perahu?” tanya Kafa. Ia membersihkan tangannya dengan lap, setelah berhasil membuat bara api.

Aku menatapnya dengan dahi berkerut.   

Kafa tertawa, lalu menunjuk perahu putih kecil yang terikat pada pohon kelapa dengan dagunya.

“Memangnya boleh. Itu punya orang.”

“Boleh,” jawabnya enteng. “Tunggu di sini.” Laki-laki itu berjalan menuju pondok kecil dekat tangga.      

Tak lama berselang Kafa keluar dari sana, kedua tangannya menjinjing masing-masing dua buah kelapa muda.

“Kau merampok di mana?” tanyaku ketika Kafa sudah dekat.

“Di kasih siapa, Ka?” Om Sakya juga ikut bertanya.

“Pak Santo. Di pondoknya banyak, kalau mau tambah bisa ke sana. Yang lain juga bisa dikasih tahu.”

“Wah ... bagus ini,” seru Ayah seraya mengetuk-ngetuk kelapa. “Langsung dibuka saja, ya.” Ayah mengambil parang yang terikat pada pinggangnya, lalu mengeksekusi kelapa tersebut.

“Ayo,” panggil Kafa, kepalanya mengangguk sekali.

Aku berdiri, tetapi dalam hati menyimpan keraguan. “Kau yakin kita tidak akan ditembak oknum?”

“Memangnya kita mau ke mana? Tidak usah jauh-jauh.” Pria itu membuka ikatan perahu. “Bisa bantu dorong?”

Kuputar bola mataku dan mendengus keras. Namun, kakiku tetap bergerak untuk membantu.

“Mau ke mana?” tanya Ayah yang baru saja selesai meneguk air kelapa dari batoknya.

“Jalan-jalan sebentar Om,” balas Kafa.

Om Sakya yang membelakangi kami, memutar tubuhnya penasaran. “Hati-hati, Nak. Jangan jauh-jauh.”

Aku dan Kafa mengangguk berbarengan. Ketika perahunya sudah berada di air, Kafa menyuruhku naik, kali ini ia menahannya sendiri karena tidak ada Cakra di sini. Kendatipun hanya seorang diri, laki-laki itu berhasil membuatku naik tanpa drama dan basah. Ia naik pada ujung yang lain, kemudian mendayung perahunya pelan-pelan.

Teriakan anak-anak terdengar, tangan mereka melambai-lambai penuh semangat. Bahkan ada yang berusaha berenang untuk menggapai kami, tetapi ditahan. Aku tergelak melihat tingkah mereka, jika salah satu dari mereka diajak, yang lain pasti merengek ingin ikut juga. Jalan terbaik memang tidak membawa siapa-siapa.

Kafa berhenti mendayung ketika mendapat posisi terbaik, membiarkan kami terombang-ambing oleh ombak kecil terkesan tenang. Sinar hangat matahari menyapa kulit, tetapi terasa sejuk karena tiupan angin. Aku menutup mata sesaat, sambil menghirup udara dan membuangnya perlahan. Kami terdiam dengan pikiran masing-masing, sembari menikmati ketenangan yang tercipta.

Setelah terjadi rentangan keheningan cukup panjang, Kafa membuka suara. “Di sana itu daerah pantai dekat rumah.” Telunjuknya tertuju ke arah barat.

Aku mengikuti arah ujung telunjuknya, lantas bertanya,”Kau mau mendayung sampai ke sana dan pulang ke rumah?”

Kafa menjawabnya dengan helaan napas lelah.

“Bagaimana kabar Maria dan Cakra, ya?” gumamku, menerawang.

“Cakra pasti aman karena tidak berada di sini. Semoga Maria juga begitu.”

Di hari pertama, setelah persiapan tempat tidur terselesaikan, Aku dan Kafa ke pos pendataan nama-nama keluarga pengungsi untuk menemukan Maria. Hal tersebut kami lakukan ketika tak sengaja mengetahui jika KOMPI tidak hanya menampung pengungsi Muslim, tetapi ada juga non-Muslim. Namun, hasilnya tak sesuai harapan, Maria berada di tempat lain, entah di mana. Pendapat Ayah, bisa jadi keluarga Maria sudah kembali ke Pendolo, sebab para Kristiani tidak memiliki hambatan bila melewati perbatasan. Semoga yang terjadi seperti itu.

“Katanya di beberapa tempat pengungsian, banyak anak-anak yang menderita diare karena sanitasi buruk. Sudah pasti korban akan terus bertambah, kalau kerusuhan berlanjut. Bantuan tim medis dan wartawan diminta segera pergi dari Poso, tidak ada yang bisa bertanggung jawab atas keselamatan mereka. Ditakutkan oknum semakin menggila dan membabi buta membunuh siapa saja. Bahkan mereka sudah mulai melakukan penculikan terhadap tokoh-tokoh berpengaruh.”

Meskipun tidak memandang wajah Kafa, aku mendengar seluruh ceritanya dengan saksama. “Bagaimana cara tim kemanusiaan itu keluar dari sini?”

“Kapal perintis TNI yang mengantarkan pasokan barang, kembali ke Parigi dengan membawa orang-orang yang ingin meninggalkan Poso.”

Baru kali ini kepalaku menoleh ke arahnya. “Apa yang pergi sudah banyak?”

Kafa mengangguk. “Sudah dilakukan sejak 3 hari yang lalu.”

Lihat selengkapnya