Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #20

Rencana Pergi.

Sejak sore hingga pukul delapan malam, tirai-tirai air terus menghiasi bumi, intesitasnya sedang. Lapangan yang biasanya penuh dengan hiruk-pikuk suara para bocah mendadak sepi, begitu pula kegiatan lainnya. Hujan rupanya bisa membaca sebagian perasaan-perasaan manusia di sini.

Sempat terpikirkan, kenapa baru turun sekarang? Kenapa tidak dari hari-hari kemarin? Ketika oknum penyerang membakar rumah kami. Seandainya hari ini merupakan hari kejadian, mungkin saja rumah tidak akan dilahap habis oleh si jago merah. Kemudian aku tersadar, menyalahkan hujan merupakan tindakan paling bodoh. Kenapa tidak sekalian melimpahkan kesalahan itu kepada Ayah yang tidak membeli rumah di kompleks BTN? Tak ada satu pun rumah yang dibakar di situ.    

Hatiku terasa kosong, sesuatu terasa hilang. Sepanjang kerusuhan ini, permintaan yang paling sering kupanjatkan kepada Sang Khalik adalah kembali ke rumah dengan selamat. Penantian terkabulnya harapan tersebut, membuatku semangat bertahan dan menantikan hari esok. Selalu ada keyakinan besar di setiap harinya bahwa mungkin besok sudah waktunya pulang. Meskipun kenyataan terus mematahkan angan-angan itu, tetapi kurakit lagi serta membuatnya lebih kuat.

Namun, manusia hanya bisa berencana dan berharap, Allah yang menentukan akhirnya. Kendatipun dalam benak tertumpuk banyak kalimat pengandaian, pun mencari sosok yang harus disalahkan atas kejadian ini, tetapi kata-kata Ayah tertancap jelas di ingatan, kita hanya perlu ikhlas dan sabar, sisanya biar Allah yang mengurus.

Masih diberi umur, artinya kehidupan harus terus berjalan. Tinggal memikirkan bagaimana menjalani kedepannya dengan baik.

“Boleh Ibu bicara?” tanya Ibu tiba-tiba, nada suaranya merebak serius.

Aku yang sedang berusaha mengalihkan segala pikiran buruk dengan mengerjakan soal Matematika, mengangkat kepala dari kertas coretan angka, lalu meletakkan pensil. Liya mematikan permainan gimbot-nya dan mengubah posisi dari berbaring ke bersila. Tante Eka ikut mendengarkan.

“Sekarang rumah tidak bisa lagi ditempati dan kita tidak punya keluarga di sini. Seandainya konflik selesai, Ayah dan Ibu belum tahu mau tinggal di mana. Setelah kerusuhan, waktu berbenah pasti akan lama. Jadi, kami sudah memutuskan.” Terjadi jeda sesaat, pangkal tenggorokan Ibu terlihat bergoyang. Beliau menatapku serius, lantas melanjutkan. “Kita akan pulang ke Makassar.”

“Jadi kita ke rumah nenek?” tanya Liya antusias, ada binar pada kedua bola matanya.

Aku mengerutkan kedua alis, belum sepenuhnya mengerti maksud perkataan beliau. “Pulang sebentar atau pindah selamanya?”

Seulas senyuman sendu Ibu tercetak di bibirnya. “Ibu tahu ini berat, Fara. Ayah dan Ibu memutuskan untuk memulai kembali semuanya di sana. Sekolahmu dan Liya. Pekerjaan kami. Kemudian sedikit demi sedikit membangun rumah lagi di tempat yang lebih aman.”

Tanpa terasa air mataku mengalir. Bukannya tidak setuju dengan keputusan itu, siapa aku yang berani menentang keduanya? Bagiku apa yang ditetapkan oleh mereka merupakan kesimpulan yang telah dipikirkan matang-matang dan untuk kepentingan seluruh keluarga. Lagi pula selain pulang ke Makassar, tidak ada jalan keluar lain yang bisa ditempuh. Bertahan di sini pun sampai kondisi aman untuk apa. Namun, tetap ada perasaan aneh bercokol di dada, membuatku patah hati dan nelangsa.

“Maaf, karena kami tidak membicarakannya bersama kalian,” kata Ibu, mengusap lenganku.

Aku menggeleng sambil mengusap air mata. “Tidak apa-apa, Bu. Jika buat Ibu dan Ayah ini yang terbaik, aku pasti menerimanya.”

“Kenapa kau menangis? Kan, enak, kita jadi dekat dengan Kakek dan Nenek. Juga keluarga lain. Tidak perlu ke wartel lagi buat menelepon atau capek-capek menulis surat. Kita juga tidak terlalu sedih kalau lebaran, karena tidak bisa mudik. Harusnya kau senang, Fara,” celoteh Liya dengan riang.

Apa yang kuharapkan dari anak kecil yang belum mengerti apa-apa ini? Aku mendengus, tetapi perkataan Liya benar adanya. Sayangnya, demi kebahagiaan tersebut, ada kebahagiaan lain yang harus kulepas. Apa tidak bisa memiliki keduanya?

“Kita naik kapal perintis?” Aku teringat percakapanku bersama Kafa, tentang orang-orang yang meninggalkan Poso menggunakan satu-satunya alat transportasi itu.

Ibu mengangguk.

“Kapan?” tanyaku harap-harap cemas. Dalam hati berharap kata besok tidak keluar dari mulut Ibu. Tolong beri aku sedikit waktu untuk merelakan semuanya.

“Menunggu kapalnya datang lagi. Ayah sudah mencari informasi, paling lambat tiga atau empat hari. Kita akan turun di Parigi, lalu ke Palu untuk naik kapal lagi ke Makassar.”

Meskipun jawaban Ibu sesuai harapan, keadaan hatiku tetap tidak membaik. Aku sempat menginginkan agar orang tuaku pergi dari sini, menuju ke suatu tempat yang lebih aman. Namun, sifatnya hanya sementara, bukan pindah selamanya.

“Mendengar keputusan ini Tante agak terkejut, tapi selalu mendukung yang terbaik satu sama lain. Makassar ke Poso tidak terlalu jauh, kan? Suatu hari kalian bisa kembali lagi untuk jalan-jalan dan bertemu teman lama,” timpal Tante Eka.

Aku memandangnya sembari tersenyum. “Bagaimana dengan keluarga, Tante?”

Tante Eka menghela napas. “Mungkin sementara waktu akan ke Palu juga. Tapi belum sekarang. Bapaknya Sakya mau mencari keberadaan Kak Rini dulu.”

Benar. Sampai saat ini kami belum mengetahui kondisi beliau sekeluarga. Satu-satunya cara hanya mencari ke berbagai titik penampungan pengungsi, itu pun menunggu situsi agak tenang dan didampingi Tentara.

“Padahal kita bisa keluar dari sini sama-sama,” ujarku kecewa.

“Bapaknya Sakya sudah ada gambaran mau cari ke mana?” tanya Ibu.

“Belum ada. Itu yang susah, tapi aku sudah kasih batas waktu. Kita tidak bisa tinggal di sini terus. Sudah tidak ada apa-apa,” keluh Tante Eka, ada kesedihan pada raut wajahnya.

Lihat selengkapnya