Rumah Tak Berwujud

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #21

Selamat Tinggal.

Jadwal keberangkatan kapal perintis TNI telah ditentukan, besok pagi pukul 09:00 di pelabuhan Poso. Perasaan tidak sabar untuk bertemu keluarga besar pasti ada, walaupun perjalanan menuju ke sana masih panjang dan melelahkan. Di lain sisi kesedihan tetap memberatkan hati, setelah kaki terangkat dari tanah ini, kemungkinan besar akan sulit untuk kembali lagi.

Ternyata tiga hari tidak cukup untuk menerima dan merelakan semuanya.

Sampai saat ini, kami belum membereskan barang-barang untuk dibawa pergi. Seperti kata Ayah, jumlah barangnya tidak banyak: tas pakaian dan surat-surat penting. Beliau menitipkan sepeda motor sebab persyaratannya tidak boleh membawa kendaraan, penumpang lebih diutamakan. Jika tidak setuju, maka boleh menunggu sampai jumlah pengungsi berkurang, itu pun belum jelas waktunya. Bagi Ayah dibanding benda itu keluarga lebih penting. Bila situasi sudah benar-benar aman, ia akan datang lagi untuk mengambilnya. 

Sedangkan perlengkapan di teras yang dibawa dari rumah dibiarkan tetap di situ. Kalaupun nanti keluarga Tante Eka pergi, Ibu berpesan untuk diberikan ke pengungsi yang membutuhkan. Begitu pula dengan karung-karung pakaian dan beberapa benda elektronik di tempat Pak Jaya. Beliau mendapat kabar, jika tempat tersebut tidak dibakar, tetapi banyak pintu yang dirusak. Entah barang-barang tersebut hilang atau tidak, kami sudah mengikhlaskan.

Beberapa jam sebelum kepindahan, aku masih memenuhi kewajibanku di musala KODIM, membimbing anak-anak mengaji setelah salat Asar. Sore ini suasana hati kembali kelabu, mungkin karena hari terakhir bersama teman-teman kecilku. Awal kedatanganku di sini, kupikir kegiatanku hanya akan diisi dengan makan, ibadah, dan tidur. Ternyata ada cerita-cerita menarik yang berlangsung, meskipun dalam situsi terbatas.   

Sesudah bimbingan, aku mengumumkan pengunduran diri dan sepata kata perpisahan, bukan hanya untuk para anak, tetapi para kakak yang sudah mengajakku bergabung di sini. Air mataku menetes lagi tatkala anak-anak itu memelukku erat, kami menangis bersama. 

Hujan tak pernah lagi menyapa sejak hari itu. Langit cerah kembali menjadi pemandangan sehari-hari. Begitu pula dengan kepulan asap yang membumbung tinggi. Seperti bisa, setelah urusan dengan anak-anak selesai, aku duduk di teras musala, sembari memperhatikan Kafa yang serius mengajar les Matematika. Hingga hari ini jumlah siswanya konsisten, mungkin memang anak-anak itu mengerti dengan penjelasannya. Hatiku terenyuh, mengingat tinggal beberapa jam lagi kesempatanku untuk memandang dan bicara dengannya secara langsung.

Di arah lain ada anak-anak sedang bermain, kemarin salah satu Tentara wanita memberikan mereka bola kasti. Dua hari bertutur-turut permainan boys rutin dimainkan. Sebuah permainan antara dua tim, sebelum dimulai para ketua setiap tim melakukan suten (Hompimpa) untuk menentukan tim menang dan kalah. Tim menang akan menyusun menara batu dan harus siap menghindari lemparan bola dari tim kalah. Bila tim menang berhasil menyusun menara batu, mereka menang dan mendapatkan poin satu, lalu permainan diulang. Namun, jika tim kalah berhasil mengeliminasi anggota tim menang sebelum menara berdiri, permainan dimulai lagi dengan posisi ditukar.

Tiba-tiba Sasa, Windi, dan Anisa memblokir pandanganku, mereka berlari kecil dari arah lapangan.

“Kak Fara,” panggil Sasa ngos-ngosan. “Ini surat untuk Kak Fara. Kenang-kenangan.” Tangan kecilnya menyodorkan kertas yang dilipat berbentuk baju.

Aku tersenyum haru meraih kertas tersebut dan menatap mereka satu per satu. “Makasih, ya. Aku baca dulu.” Tanganku bermaksud membuka lipatan kertas, anak-anak itu memekik. Anisa menahan gerakanku.

“Jangan dulu, Kak. Kita malu. Baca kalau Kak Fara sudah di jalan,” mohon Windi dengan tersipu. “Iya, kan, teman-teman?”

Sasa dan Anisa mengangguk berbarengan.

“Oke.” Kurapikan kembali lipatan yang sempat terbuka.  

“Kami main dulu, ya, Kak.” Windi menarik teman-temannya pergi, mereka beranjak sambil melambaikan tangan.

Ketika sosok mereka hilang dari pandangan, tanganku kembali membuka lipatan surat tersebut. Aku tidak bisa menahan diri, anak-anak itu terlalu lucu. Tulisan besar dan jarak antar kata yang jauh membuatku terkekeh. 

Untuk Kakak Cantik Kak Fara.

Terima kasih sudah ajar kami mengaji dan hapal Alfateha dan surah kul.         

Kami sangat senang diajar kakak. Tapi sedih karena kakak mau pergi dari sini.

Kakak juga suka dengar cerita-cerita kami.

Kakak juga tidak suka marah kalau kami nakal.

“Kau bikin apa?”

Tanpa melihat, kutahu suara itu milik Kafa. Aku menaruh jari telunjuk di depan bibir, memintanya diam. Ia mematuhi perintah dan duduk disebelahku.

Jangan lupa sama kami, ya, Kakak. Semoga Kakak selamat sampai rumah baru.

Semoga Kakak bisa kembali lagi ke sini, baru kita bertemu lagi.

Semoga Kakak selalu bahagia dan dilindungi Allah.

Kami akan rindu Kakak.

Dari Anisa Imut. Windi Cantiq. Sasa maniest.

Aku menyapu mata yang mulai basah dan berdeham keras. Melipat surat tersebut dengan lipatan biasa karena aku tidak tahu model lipatan seperti semula. Anak-anak itu sungguh kreatif.

“Surat dari anak-anak?” tanya Kafa lagi.

“Iya.” Kata-kata polos itu menghadirkan keharuan dan mampu menyentuh hatiku, padahal kami baru beberapa hari bersama. Bagaimana dengan temanku-temanku yang menemani lebih dari sepuluh tahun? Beratus-ratus kenangan yang bertumpuk di kepala satu-satu menghampiri, membuat hatiku teramat sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk. Kugigit bibir bawahku sembari menahan tangis, sesekali mengusap mata yang kembali basah. Apa ini yang dikatakan patah hati?

“Fara, mau main boys dengan anak-anak itu?” ajak Kafa yang sudah berdiri di depanku.

Aku menengadah, membuat pandangan kami setara. “Sekarang?”

Kafa mengangguk. “Sudah lama kita tidak main itu, kan?” Seulas senyuman terbentuk pada bibir tebalnya. “Dan untuk terakhir kalinya. Bersama-sama,” lanjutnya seraya menatapku dalam. Laki-laki itu memutar badan, berjalan pelan menuju lapangan.

Kuletakkan tas mukena di samping buku-buku dan alat tulis Kafa, pada teras musala. Aku berdiri dan berusaha menyamai langkahnya, kemudian berujar, “Kalau biasa aku selalu mengekor di kelompokmu. Sekarang ayo kita jadi lawan,” tantangku angkuh.

Pemuda itu tersenyum lebar, melirikku sambil manggut-manggut. “Oke,” tandasnya sekaligus mengangkat kedua jempol.

Aku tertawa, lalu berlari lebih dulu dan menyatakan keterlibatan kami. Untuk yang terakhir, aku akan menikmati sisa-sisa kebersamaan ini.

***

Suara kokokan ayam jantan yang masih terikat pada batang kembang sepatu memaksa kelopak mataku untuk membuka. Seiring berjalannya waktu, aku bisa menerima keadaan mereka di situ, bahkan memberi mereka makan setiap hari. Radio musala masih memutar selawat Tahrim, berarti azan Subuh belum berkumandang.

Tatapanku tertuju pada langit-langit teras yang berjamur, cat putihnya telah menghitam di beberapa bagian. Ini merupakan pagi terakhir untuk memandangnya, merasakan kerasnya lantai yang hanya beralaskan karpet dan seprai, juga udara dingin dari alam langsung. Jika perjalanan kami hari ini lancar, malam nanti aku akan tidur di tempat baru, lebih bersih, lebih empuk, dan lebih hangat, tetapi ada bagian di dalam diriku tidak menginginkannya.

Aku mengembuskan napas. Hari terakhir? Setelah ini tidak akan ada Kafa, Maria, Cakra, Tante Eka, dan Om Sakya. Wujud mereka akan menjelma menjadi kenangan yang tak mungkin lagi bisa kusentuh. Entah suatu hari kehidupan akan berbaik hati atau tidak, untuk mempertemukan kami kembali pada waktu yang tepat.

Kutarik tubuh atasku dan duduk. Ibu dan Tante Eka sudah sibuk di dapur darurat. Aroma bumbu tumisan menyapa indra penciuman sejak tadi. Aku yakin tetangga-tetangga kami pun terkena impaknya, tetapi sudah terbiasa. Walaupun sebenarnya hari ini mereka memasak terlalu pagi.  

Lihat selengkapnya