Dua puluh tiga Mei tahun dua ribu, kami meninggalkan rumah dengan tujuan menyelamatkan diri. Saat itu kupikir konflik akan cepat berlalu dan kami segera pulang ke rumah. Siapa sangka butuh 24 tahun untuk kembali menginjakkan kaki pada halamannya.
Rumah sederhana kami, dinding putih mendominasi, karang berbentuk kaktus terhampar pada pekarangan, serta warna-warni bunga bougenville Ibu, menghilang. Di depan mata hanya ada semak belukar menyelimuti puing-puing rumah, menyisakan beberapa dinding berdiri dan pilar penyangga pada teras. Bak penampungan air kami masih tegak kukuh di sana. Dua pohon mangga kerdil Ayah bertahan, tumbuh menjulang tinggi dan rimbun. Entah bagian mana yang disebut kerdil atau jangan-jangan Ayah telah ditipu.
Hampir setengah tahun, Ayah baru bisa datang menjemput sepeda motornya sekaligus meminta tolong pada mantan rekan mengajarnya, untuk menyebarkan informasi bahwa tanah kami di jual. Sebulan lebih setelah Deklarasi Perdamaian Malino—tanggal 20 Desember 2001 tertandatangani, beliau berangkat ke Poso lagi, mengurus perpindahan kepemilikan sertifikat rumah.
Secara hukum rumah ini bukan milik kami lagi. Namun, secara kenangan rumah ini masih milik kami.
Aku menghembus napas, lalu memutar tubuh untuk bergerak pergi. Gazebo kebanggaan kami pun raib dan tidak ada perubahan yang terjadi pada tanah kosong di samping rumah. Kembali langkahku terhenti, berdiri mematung menatap sebidang tanah dengan sisa-sisa lantai, terlihat bersih tanpa semak belukar. Aku tersenyum sedih, wajah Kafa memenuhi pikiran.
“Bagaimana kabarmu sekarang?” tanyaku dalam hati. Hingga saat ini, Kafa tidak pernah memberi kabar. Tahun pertama kepindahan, menunggu teleponnya merupakan kesibukan sehari-hari. Tahun-tahun berikutnya, aku tidak lagi menantikannya, tetapi masih menyimpan sedikit harapan. Tahun-tahun berikutnya, aku berhenti berharap, bukan berarti melupakannya.