Rumah Tanpa Kasih

Luv
Chapter #2

01| Melati dan Payung Hitam

Meja makan di ruang makan rumah mereka terasa hening, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Hanya suara napas yang terdengar pelan, terbungkus dalam keheningan.

Tangan mereka bergerak secara alamiah, menyuap makanan dengan ritme yang hampir sama. Namun, seolah-olah ada jarak tak kasatmata yang memisahkan mereka. Ini bukan hal baru. Selama bertahun-tahun, begitulah suasana rumah ini. Sunyi, tanpa canda dan tawa.

Di atas meja, makanan sederhana terhidang. Dua orang perempuan duduk berhadapan, keduanya menundukkan kepala, fokus pada makanan masing-masing.

Sesekali, mata anak tujuh belas tahun itu melirik ke arah wanita yang duduk di seberangnya. Wanita yang hampir lima tahun menjadi ibunya. Tidak, jauh lebih tepat jika ia disebut istri mendiang ayahnya saja, bukan ibu. Karena selama ini, Saniya, mengisi posisi kosong itu hanya sebatas status saja. Dia tidak pernah benar-benar menjadi seorang ibu baginya.

Makanan di piring mereka hampir habis, namun tak ada yang berinisiatif untuk memecah kesunyian. Bintang menunduk, memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. Terkadang ia ingin membuka pembicaraan, tetapi bibirnya terasa berat, seakan kata-katanya tertahan di tenggorokan.

Di luar, gerimis mulai turun. Bau tanah basah tercium hingga ke dalam, menusuk ingatan. Bau itu ... membawa kembali semuanya.

Gerimis belum juga reda. Bau tanah yang pekat tercium di udara. Payung-payung hitam bertumpuk seperti sayap burung gagak, mengerubungi sebuah gundukan tanah. Perlahan, orang-orang beranjak pergi, menyisakan dua sosok di sana.

Di tepi gundukan tanah yang diselimuti taburan bunga, seorang wanita berdiri kaku, matanya merah bekas tangis. Di seberangnya, seorang remaja duduk bersimpuh. Tangan kurusnya yang dingin menyentuh gundukan tanah yang lembab. Seikat bunga melati ada di pangkuannya.

"Ayah ...." Suaranya serak, air mata jatuh, membentuk bercak di tanah.

"Aya jadi sendirian sekarang. Ayah ...." Bahunya mulai bergetar. Isak tangisnya kencang, air mata mengalir semakin deras. Ia berulang kali menyebut "Ayah" di sela sesenggukan.

Udara begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Rintik gerimis berubah menjadi tetesan hujan yang kian deras. Butir-butirnya membasahi wajah, bercampur dengan air mata.

Suara dentingan sendok dan derit kursi memecah lamunannya. Bintang mendongak, Saniya telah beranjak dari tempat duduk, meninggalkan Bintang yang masih belum selesai dengan makan malamnya. Seperti biasa, ibu tirinya pergi tanpa sepatah kata.

Ia menghela napas berat, memandangi piringnya yang masih setengah penuh. Harinya selalu berakhir dengan cara yang sama. Ia tahu, selamanya akan seperti ini. Meski begitu, hatinya selalu berharap, suatu hari nanti ... keadaan akan berubah.

Lihat selengkapnya