Rumah Tanpa Pagar

Ayumi Hara
Chapter #1

Keresahan

Sunyi malam membuat pikiran mengembara. Bayangan tentang masa depan berkelebat. Salim percaya suatu hari bumi akan runtuh, termasuk tanah yang kini ia pijak. Meski begitu, sebelum malaikat mencabut nyawanya, ia tak rela tanah yang sejak dulu ia tinggali harus runtuh sebab tangan manusia. Apabila itu terjadi, ia tahu siapa yang patut disalahkan. Orang itu adalah Gayuh. Perempuan yang tak begitu ia kenal, tetapi sering ia jumpai di pasar pagi.

 Setiap Minggu pagi, Gayuh dengan kebaya melekat di tubuh pergi ke pasar pagi untuk membeli kebutuhan dapur majikannya. Perempuan berbadan sintal itu membeli jajanan pasar, sesisir pisang raja, kembang setaman, dan kemenyan. Sejak saat itu, Salim sering mengamati anak semata wayang Sanucipto itu.

 Di kamar, Salim sibuk mondar-mandir. Dahi lebarnya berkerut. Sesekali ia berhenti, lalu duduk di kasur, di kursi rias istrinya, atau jongkok membelakangi pintu yang tertutup. Alimah, istrinya, hanya melirik sebentar, lalu kembali menekuri buku Ilmu Fikih. Perempuan berjilbab itu tak heran suaminya berlaku seperti seterika.

 Sudah tiga hari Salim resah. Sebagai ketua RW yang disegani warga, dia tak bisa diam ketika dunia di luar dukuhnya semrawut. Kabar kisruh di Ibu Kota dan beberapa bencana di kota lain, yang muncul di televisi dan surat kabar langganannya, membuat ia gelisah. Ditambah kabar burung yang ia dengar dari tongkrongan warung kopi ataupun pasar. Apa yang lebih menakutkan dari sebuah bencana? Pikir Salim. 

Sejak kecil sampai sekarang, Salim belum pernah benar-benar mengalami sebuah bencana dahsyat. Entah bagaimana. Meski di daerahnya beberapa kali terjadi bencana alam, dukuh kecil tempat ia tinggal tidak pernah terkena. Karena itu, Salim selalu berucap syukur dan senantiasa mengajak keluarga serta seluruh warga Dukuh Padangan lebih taat beribadah. Rajin ke masjid dan sering mengikuti pengajian. 

Upaya Salim tak sia-sia. Sejak ia mengajak orang-orang Padangan lebih taat beribadah, dukuh itu makin damai dan tenang. Para warga pun semakin rukun. Namun Salim merasa terancam karena hingga saat ini belum bisa menaklukkan satu kepala keluarga. Dengan cara apa dan bagaimana, Salim belum menemukan formula.

“Keluarga Sanucipto memang kolot, Pak. Bapaknya, ibunya, sama saja. Turun-menurun begitu,” ucap Alimah saat melihat Salim lelah mondar-mandir.

“Waktu pendataan KTP, mereka punya agama?” Tiba-tiba Alimah ingat soal agama di KTP.

“Sudah aku pastikan semua orang Dukuh Padangan punya agama, Bu.” Salim berpindah duduk di sebelah istrinya. “Kalau cuma buat formalitas ya ndak tahu,” lanjut Salim.

 Keresahan masih memenuhi rongga dada. Salim belum siap menerima bencana seperti akhir-akhir ini menimpa beberapa wilayah di negerinya. Dia tak ingin berpisah dari Alimah serta ketiga anaknya yang masih kecil-kecil karena kejadian mengerikan. Lelaki berkumis tipis itu bergidik ngeri.

 “Ingat! Kita hidup di pegunungan. Dekat gunung, segara, juga bukit. Harus banyak berdoa biar selamat dunia dan akhirat,” setiap acara di Padangan, Salim tak henti memberi wejangan.

“Kalau Allah murka, lenyaplah kita. Allah punya banyak benda yang sangat besar. Gunung, laut, bukit. Semua itu mengapit dukuh kita. Kalau bencana adalah murka Allah, orang beriman dan tidak, semua akan jadi korban.” 

Kata-kata terakhir Salim membuat semua pendengar mengerutkan kening, membayangkan betapa kecil dukuh mereka ketika gunung, laut, dan bukit yang mengapit saat itu tiba-tiba berhamburan menerjang. Salim senang melihat mimik wajah para pendengar. Namun seketika ia ingat cerita kemarin siang saat mampir ke warung kopi Yu Tum di dekat gapura dukuh.

 “Semua orang kenal Gayuh dan bapaknya, Kang,” ucap Markoplo usai Salim bercerita tentang Gayuh yang sering membeli ubarampe untuk sesaji.

Sampean sudah lihat belum pohon besar di tengah hutan dekat rumah Sanucipto?”

Lihat selengkapnya