Setiap akhir pekan, Dukuh Padangan makin terlihat hidup. Kegiatan gotong royong dan bersih-bersih yang dicanangkan Salim, ternyata bisa membuat warganya makin akrab. Jika begitu, Salim makin yakin jika dukuhnya bisa memenangkan lomba yang diadakan kepala desa Jatimangun.
Sejak awal pemilihan kepala desa Jatimangun, Salim telah yakin jika Muskil bisa menjadi pemimpin yang inovatif. Selain membangun pemandian umum di tiap dukuh, Kades Muskil juga bersedia mengakrabkan warganya dengan merayakan ulang tahun desa. Selama 37 tahun Salim hidup, tak pernah ia mendengar Desa Jatimangun mengadakan pesta. Padahal, bagi Salim, pesta rakyat sangat diperlukan untuk keakraban antarwarga. Tetapi di luar ekspektasi, acara yang telah lama ia idam-idamkan ternyata membuat warga tak hanya akrab, tapi juga membuat tiap dukuh makin gemar bersaing dalam kebaikan.
“Antar ke pos ronda. Itu ada pisang dan singkong goreng dari Ning Laras,” Alimah memberikan satu cerek teh panas kepada Salim yang sedari tadi hanya melihat warga lain sibuk gotong royong.
“Panjenengan bukan mandor. Semua sama di sini. Satu derajat!” Bisik-bisik Alimah yang tajam membuat Salim sedikit jengkel.
Saat menuju pos ronda, Salim mendapati Yudha dan Gayuh sedang bercakap-cakap di bawah pohon mangga. Mata Salim lantas menyapu ke sekeliling. Ia melihat warganya berkubu-kubu. Di dekat masjid, Alimah dan ibu-ibu pengajian lain tampak asyik makan pisang goreng, di pos ronda sekumpulan bapak-bapak tampak asyik menyeruput kopi sambil haha-hihi.
“Yudha, abahmu sudah pulang?” Setelah mengumpulkan keberanian, Salim memberanikan diri mendekati keponakannya, berpura-pura peduli dengan keberadaan kakak keduanya, Kiai Guruh.
“Besok baru pulang, Paklik.”
“Pergi dinas sama Kiai Malik?”
“Betul. Tapi Pakde Malik sepertinya pulang seminggu lagi. Masih ada acara di pesantren Surabaya.”
“Paham sekali ya dengan pakdemu,” bibir Salim menyunggingkan senyum meremehkan. Saat itu, Gayuh merasa kehadirannya harus segera diakhiri.
“Saya permisi,” suara lembut Gayuh membuat bulu kuduk Salim tiba-tiba berdiri. Entah mengapa. Aroma kanthil kemarin, seolah hadir kembali, dan menghipnotisnya untuk kesekian kali.
“Pacarmu?” Salim mengerling kepada Yudha.
“Mana mungkin anak kiai pacaran. Dia kerja gantiin almarhumah Ibu Gayatri.”
“Lhooo, kerja di rumah Kiai Malik?”