Sepanjang perjalanan dari Desa Panggok di Banyuwangi Tengah menuju Dukuh Padangan di Banyuwangi Utara, Yudha menyetir sepeda motornya dengan sangat pelan. Ruslam yang biasa mengajak ngobrol pun menjadi diam. Di kepala kedua pemuda itu, berputar-putar segala kemungkinan. Tiba-tiba Yudha ingin memastikan sesuatu, yang sebenarnya tak benar-benar ingin ia ketahui. Sementara Ruslam, seperti sedang menunggu datangnya hari pembalasan.
Matahari sore di Dukuh Padangan memantul-mantul anggun di pucuk-pucuk daun jati yang sebentar lagi meranggas. Sepanjang jalan membelah hutan, Yudha dan Ruslam sama-sama terbelenggu dugaan-dugaan mereka yang belum tentu.
“Aku tidak berani pulang, Yud,” Ruslam yang biasa sumringah, tiba-tiba menatap Yudha dengan berkaca-kaca.
“Semua baru dugaan, Rus. Masih simpang siur. Sepertinya kades kita juga belum tahu.”
“Kalau benar bagaimana? Bapakku dari kemarin belum pulang. Pamitnya ke Desa Panggok.”
“Sebenarnya bapakmu kerja apa, Rus?”
Wajah Ruslam makin memerah, bibirnya lantas bergetar. Saat Ruslam mencoba membuka mulut untuk bicara, mulutnya terkatup kembali ketika Gayuh muncul dari pintu belakang untuk membuang sampah. Ia mengangguk pada kedua pemuda di depannya.
“Aku pulang saja, Yud. Barangkali Bapak sudah pulang. Kamu juga jangan lupa pulang ke rumah.”
Hati Yudha tiba-tiba mencelos. Sudah seminggu ia selalu tidur di rumah Kiai Malik. Meski jarak rumahnya dan rumah Kiai Malik tidak terlalu jauh, Yudha lebih kerasan tinggal di rumah pakdenya.
Saat di rumah, Yudha merasa selalu menjadi anak yang bodoh. Segala hal yang ia lakukan tak pernah mendapat dukungan. Berbeda ketika berhadapan dengan Kiai Malik, yang selalu memberi dukungan terhadap apa yang ingin dilakukannya.
“Abahmu memang keras, Yudha. Tapi dia paling pemberani. Aku dan paklikmu, Salim, hanya berani bersekolah di sekitar Jawa Timur. Abahmu satu-satunya yang ngeyel bersekolah di luar Jawa, dan mengambil sekolah lanjutan di luar negeri. Kalau aku lihat-lihat, abahmu mirip sekali dengan kamu.” Kiai Malik memandang jauh ke pucuk-pucuk pohon jati yang mulai meranggas. Ingatannya melayang saat dia dan kedua adiknya masih sama-sama kuliah. Selisih usia yang hanya satu-dua tahun, membuat ketiganya sering berdiskusi, meski tak jarang pula berakhir dengan pergi sendiri-sendiri.
"Meski abahmu paling keras kepala soal pendidikan, kakek dan nenekmu paling tidak bisa menghadapi paklikmu. Sejak kecil Salim selalu dimanja, sampai besar juga segala kemauannya harus dituruti. Aku sebagai anak tertua, kerap mengalah untuk mereka. Makin bertambah usia, aku merasa masalahku di luar lebih rumit ketimbang ngurusi Salim dan Guruh, he-he-he. Makanya aku tenang sekali ketika mereka menemukan istri-istri salehah macam ibumu dan Alimah."
Kiai Malik beralih menatap Yudha, lalu menepuk-nepuk bahu pemuda itu.
"Di rumah terus tapi tambah kekar, he-he-he."
“Pakde, misal Abah seumuranku sekarang, dan kuliah di Jakarta, apa Abah bakal pergi ke Jakarta?” Percekcokan Yudha dan ayahnya dimulai ketika beredar kabar kericuhan di Jakarta. Sejak hari itu, Yudha mulai kerap mengunjungi pakdenya, dan mulai sering menginap agar bebas bolak-balik ke karang taruna tiap desa.
“Mungkin akan sama keras kepalanya denganmu. Tapi sepertinya tidak pergi ke Jakarta. Karena situasi saat ini, semua hal bisa terjadi di daerah mana saja. Abahmu memang pemberani, tapi dia lebih memberatkan orang tua. Membuat sebuah pilihan yang bijak adalah pendewasaan.” Penuturan Kiai Malik terus terngiang-ngiang di kepala Yudha. Rentetan kalimat itu mampu meredam amarah Yudha ketika sesekali dirinya benar-benar ingin pergi dari rumah, bertolak ke Jakarta.
Percakapan-percakapan itu adalah kali pertama Yudha lari dari rumah dan menyimpulkan bahwa Kiai Guruh memang ayahnya, tapi Kiai Malik adalah tempatnya untuk berteduh. Maka sekarang, tidak ada lagi keraguan bagi Yudha ketika dirinya ingin melakukan hal apa pun, asal tidak kembali ke Jakarta.
“Kamu ndak antar Ruslam ke rumah?” Yudha terlonjak ketika tiba-tiba Laras muncul dari pintu belakang.