Rumah Tanpa Pagar

Ayumi Hara
Chapter #4

Kerja sama

Meski sudah memasuki musim kemarau, Dukuh Padangan tetap terasa sejuk. Menjelang ulang tahun Desa Jatimangun, dukuh-dukuh di desa tersebut makin aktif berkegiatan. Sudah sejak sebulan lalu, desa di wilayah utara Banyuwangi itu tak pernah sepi kegiatan. Minimal ada gotong royong setiap akhir pekan. Pengajian dan pagelaran seni juga silih berganti diadakan.

 Sebagai ketua RW yang pernah belajar politik di kampus semasa mudanya, Salim tak tanggung-tanggung menggunakan kesempatan ini sebagai ajang unjuk gigi. Minggu pagi, warga dukuhnya serempak keluar membersihkan jalan, masjid, dan gotong royong memperbaiki rumah warga yang hampir roboh. Ketika Kades Muskil datang, Salim makin antusias.

 “Maaf ya, saya agak kesiangan. Tadi dari dukuh sebelah,” Kades Muskil menjabat erat tangan Salim.

“Sepanjang saya jalan ke sini, saya lihat dukuh ini paling bersih.”

“Wah, terima kasih, Pak Kades. Mari, duduk. Ini ada pacitan dari ibu-ibu pengajian.” Salim duduk di atas pos ronda, yang sebelumnya digunakan untuk para bujang duduk-duduk.

“Sebagian warga sudah ada yang pulang. Maklum, ada yang memang bekerja siang hari, he-he-he.” Dengan takzim, Salim mengambil teh untuk kepala desa di sampingnya.

“Silakan.”

 Muskil mengedarkan pandang. Seluruh sudut-sudut dukuh itu memang sangat rapi dan bersih. Meski kemarau menghampiri, tampak masih ada bunga-bunga yang mekar segar di depan masjid.

 “Tapi saya masih belum mendengar kegiatan kesenian di sini. Atau saya tidak diberitahu?”

 Wajah Salim seolah kehilangan darah. Matahari yang sembunyi-sembunyi di balik pohon jati, seperti tak mampu menghangatkan tubuhnya yang mendadak menggigil.

 “Bu-bu-bukan begitu, Pak Kades. Memang tidak ada—maksud saya, belum—malam ini baru akan kami rapatkan. Keponakann saya ada yang sedang sekolah sarjana, biasa mengadakan kegiatan di kampus. Saya berencana mengajak dia untuk mengadakan kegiatan seni.” 

Kades Muskil mengangguk-angguk, lantas menyeruput segelas teh yang sudah dingin. 

“Teh akan lebih nikmat kalau masih hangat.”

Sekali lagi, Salim menghela napas berat. Ia hanya bisa mengangguk dan menunduk sebagai tanda minta maaf.

“Lain kali saya bawakan termos, Pak.”

“Ha-ha-ha tidak usah. Saya hanya bercanda. Tapi untuk kegiatan seni, saya serius. Selain bersih desa dan pengajian, saya sedang menggencarkan seni budaya di desa kita. Biar bisa tampil di kabupaten Agustus nanti. Bagi dukuh yang paling aktif dan inovatif dalam berkegiatan, akan saya beri hadiah spesial.”

“Hadiah?”

“Bisa gamelan, rebana, atau apa pun yang bisa digunakan swarga.”

 Salim mengangguk paham, tapi sejenak ia mengingat hari kemarin. Setoran Markoplo yang begitu sedikit. 

“Anu … maaf, Pak Kades. Sebenarnya warga sedang cukup berhemat karena harga-harga semua naik. Bahkan kemarin, los daging saya cukup sepi. Penghasilan sedikit. Jadi … maaf sekali, Pak Kades. Mungkin hadiahnya bisa berupa uang? Yaaa tidak perlu besar-besar. Tapi warga pasti lebih suka dengan uang.”

“Ah! Saya lupa ingin memberitahu jika desa ada program baru untuk meningkatkan ekonomi warga. Kemarin saya keliling pasar, dan cukup terkejut dengan harga-harga pangan. Nah, program dari desa adalah, kami akan bantu warga yang memiliki usaha atau hasil bumi yang ingin dijual ke luar kota. Misal Pak Salim punya ternak sapi, atau hasil kayu yang ingin dijual. Saya akan usahakan untuk bisa menjual dengan harga lebih tinggi. Semacam, akan kami carikan tengkulak.”

 Sepanjang Kades Muskil menjelaskan, Salim ternganga. Ia tak menyangka memiliki seorang pemimpin yang begitu rapi memikirkan masa depan para warga. Ucapan-ucapan Kades Muskil lantas membentuk segala scenario indah dalam kepala Salim. Ia senang bukan main.

Lihat selengkapnya